bab 5

1.1K 178 13
                                    

Andin mencoba menelfon Riza, tapi tak ada jawaban. Ia sudah tak bisa menunggu lagi. Hari sudah larut dan jalanan semakin sepi. Dengan was-was, Andin berjalan menuju halte bus yang tak jauh dari kantornya. Andin duduk menunggu bus rute terakhir yang akan datang. Namun tiba-tiba seseorang menghampirinya.

"Sendirian aja, Neng," ucap orang tersebut. Andin mundur menghindari sentuhan dari lelaki tersebut.

"Sombong amat, sih." Lelaki asing itu terus mengganggu Andin.

"Pergi saya bilang," teriak Andin.

"Eits..., jangan galak-galak dong, cantik."

Dengan perasaan takut, Andin memutuskan untuk pergi dari halte bus tersebut. Ia terus berlari mencari pertolongan atau tempat persembunyian. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan lelaki tadi tak mengejarnya lagi.

Andin bersembunyi di balik tumpukan kardus yang terletak di sebelah cafe. Ia menutup telinganya dengan rapat-rapat. Andin berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tiba-tiba seseorang kembali menyentuh pundaknya. Reflek, Andin berteriak.

"Aaaa....," teriak Andin. Tubuhnya sudah gemetaran, dan ia tak mampu membuka matanya.

"Hei, tenang! Saya bukan orang jahat," ucap seseorang.

Andin lalu membuka mata dan mendapati seorang laki-laki dengan tas ransel di pundaknya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya lelaki tersebut.

Andin berdiri dan merapikan rambutnya. Ia menghela napas kasar. "Nggak apa-apa," jawabnya.

"Sini, duduk dulu." Laki-laki tersebut menuntun Andin untuk duduk, kemudian memberikan air mineral yang ia ambil dari dalam tasnya.

Andin ragu untuk mengambil minuman tersebut, takut-takut ada sesuatu di dalamnya. Menyadari hal tersebut, lelaki itu tertawa.

"Saya nggak ngasih apa-apa, kok, ke minumannya."

Alhasil Andin pun mengambil air mineral dan meminumnya. Rasa takutnya sedikit sirna. "Makasih," ucap Andin.

"Kamu mau ke mana?"

"Tadi mau pulang, tapi di halte bus ada orang iseng."

"Oh, ya, sampai lupa belum kenalan. Nama saya Sal," ucap laki-laki bernama Sal itu.

Sal Pradipa, seorang pemilik cafe yang terkenal dengan senyumannya yang memikat. Tak heran jika cafenya selalu ramai oleh muda-mudi yang hanya ingin memandang paras rupawan Sal.

"Saya Andin."

"Oke, Andin, di sini emang kadang rawan sih..., Jadi, kalau kamu nggak keberatan, apa boleh saya antar kamu pulang?" tanya Sal memberi saran. "Saya nggak ada maksud apa-apa, kok."

Andin berpikir sejenak. Mungkin ada baiknya memang ia menerima tawaran dari Sal. Lagipula lelaki tersebut terlihat baik dan bukan tipe berandalan. Semoga saja kali ini Andin beruntung.

"Kalau nggak ngerepotin," balas Andin.

Sal lalu mengambil mobilnya. Ia pun mengantarkan Andin ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Andin turun dan berterima kasih kepada Sal.

"Makasih, ya, Sal, lain kali kalau ada waktu aku suruh kamu mampir," kata Andin.

Sal tertawa. "Oke, oke..., jadi kita temenan, nih?"

"Boleh."

"Yaudah, aku pamit dulu, ya..., nggak enak kalau ada yang lihat."

Tidak susah untuk bergaul dengan Sal. Beberapa obrolan mereka di dalam mobil tadi cukup mampu mencairkan suasana.

Please Feel Me at EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang