bab 15

1.2K 208 15
                                    

Hai, hai...
Sorry bgt telat untuk update cerita ini huhuhu
Ada something di Real life yg emang gabisa ditinggal, aku jg Lg kurang enak badan betewe. Stay safe semua dimusim hujan sekarang 🥲

Adakah yg masih nungguin cerita ini? Hehehe
Yuk, langsung aja kita menyelam kembali dalam dunia Aldebaran Andin...

Happy reading 🙌

***


Andin dan Al sama-sama terkejut dengan tembakan yang dilepaskan Sal begitu saja. Andin syok dihadapan Aldebaran, membuat lelaki itu khawatir.

Angga dan anak buahnya segera menangkap Sal. Kalau saja tadi Angga telat satu detik, ia tak tahu apa yang akan terjadi kepada Andin dan Aldebaran. Untung saja, Angga tepat waktu. Ia bisa mengarahkan tembakan Sal ke tempat kosong sehingga tak melukai Andin ataupun Aldebaran.

"Ndin, kamu nggak apa-apa?" tanya Al sambil menepuk pipi Andin.

Andin berusaha untuk tetap pada kesadarannya. Namun, ia mendadak terkena serangan panik. Penglihatannya mengabur, sayup-sayup ia mendengar suara Aldebaran yang terus memanggilnya sampai ia tak bisa mengingat apapun lagi. Melihat Andin yang pingsan, Al segera membawa Andin ke rumah sakit.

Di perjalanan, Al berusaha untuk mengajak Andin berbicara walau perempuan itu tak merespon. Al berharap Andin bisa mengembalikan lagi kesadarannya.

Sesampainya di rumah sakit, Al menggendong tubuh Andin. Ia memanggil suster untuk segera membawa Andin ke ruang penanganan.

"Maaf, Pak, silakan tunggu diluar," ucap suster kepada Aldebaran yang hendak ikut masuk.

Al lalu duduk dikursi tunggu. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Tak berselang lama, Rosa datang bersama dengan Rendi.

"Al, gimana kondisi Andin?"  tanya Rosa.

"Dokter masih menangani Andin, Ma," jawab Al.

"Mama bener-bener nggak nyangka kalau Sal melakukan semua ini. Dia laki-laki yang baik."

Al memeluk Rosa, mencoba menenangkan mamanya itu. "Kita nggak tahu gimana isi hati seseorang, Ma," ucap Aldebaran.

Pintu UGD dibuka, dokter keluar bersamaan dengan brankar Andin yang didorong.

"Bagaimana kondisi Andin, Dok?" tanya Aldebaran khawatir.

"Pasien tidak apa-apa, hanya syok saja. Saya sudah beri obat penenang dan sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat."

***

Aldebaran tak berpaling sedikitpun dari Andin, ia selalu berada disisi perempuan itu. Aldebaran tak ingin jika Andin bangun, tak ada dirinya.

"Al, kamu harus makan," ucap Rosa menghampiri anaknya.


"Nanti ya, Ma, saya masih mau di sini."

Rosa tak bisa lagi membujuk. Jika sudah begini, Aldebaran tak akan mengubah pendiriannya. Al menenggelamkan wajahnya ditangan Andin, tak berselang lama, tangan tersebut bergerak.


"Andin," ucap Al mencoba memastikan.

Sayup-sayup mata Andin terbuka. Ia sedikit bingung kenapa berada di rumah sakit.

"Mas...," ucap Andin dengan lemas.

"Saya di sini." Aldebaran menggenggam tangan Andin.

"Kamu nggak apa-apa, Mas?"


"Yang harus kamu khawatirin itu diri kamu, bukan saya. Bisa nggak, jangan bikin saya cemas?"


Andin terkekeh melihat reaksi Aldebaran.


"Ngapain malah ketawa?" protes Aldebaran tak terima.


"Kamu kalau panik lucu."

"Saya lagi nggak menghibur kamu, Ndin."

"Iya, iya, maaf."

"Kamu ada yang sakit lagi? Mau saya panggilkan dokter?"

Andin menggeleng. "Aku udah nggak apa-apa. Oh, ya, Sal gimana?"

"Tadi Angga udah serahin Sal ke kantor polisi, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."


"Mas." Andin meraih tangan Aldebaran. "Aku tahu apa yang dilakuin Sal itu salah, tapi biar bagaimanapun dia tetap saudara kamu. Jangan benci dia, ya..., Sal mungkin cuma butuh seseorang yang bisa ngingetin dia kalau salah," ucap Andin berusaha memberikan pengertian kepada Al.

Aldebaran terdiam memikirkan perkataan Andin. Perempuan itu benar, mungkin Sal hanya butuh sosok yang bisa ia ajak bicara. Selama ini, ia tak pernah mendapat perhatian dari siapapun. Sal hanya mengandalkan belaskasihan yang secara tidak langsung membentuknya menjadi pribadi yang pendendam.

"Nanti saya coba bicara sama Sal," kata Aldebaran. Ia berusaha untuk memahami tindakan saudaranya itu.

"Makasih, ya, Mas."

***

Andin sudah diperbolehkan pulang, tapi Aldebaran memaksa untuk ia tinggal di rumahnya. Perdebatan keduanya terjadi sejak Andin meninggalkan rumah sakit hingga diperjalanan pulang. Tak ada yang mengalah, mereka sama-sama berusaha mengutarakan argumen yang berujung amarah.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Lagian di rumah juga ada papa," ucap Andin masih berusaha membujuk Aldebaran.

"Kamu bisa nurut nggak, sih, Ndin? Ini juga biar saya mudah jagain kamu."

"Ya, tapikan sama aja—"


"Andini Kharisma Putri, bisa dengerin saya, nggak?"

Andin tak bisa lagi membantah, dengan berat hati ia pun menuruti perkataan Aldebaran. Lelaki itupun tersenyum dengan kemenangannya. Ia lalu menggandeng Andin masuk ke dalam rumah.

"Eh, Mba Andin udah sembuh?" tanya Kiki ketika melihat Andin masuk ke dalam rumah.

Andin mengangguk. Aldebaran pun segera menyuruh Kiki untuk menyiapkan kamar tamu. Sambil menunggu Kiki beberes, Andin duduk di sofa.

"Saya harus balik ke kantor, kamu nggak apa-apa saya tinggal?"

"Yaudah, Mas Al ke kantor aja."

Aldebaran hendak pergi, tapi ia urungkan kembali. "Apa saya nggak usah ke kantor aja, ya, Ndin?" tanyanya meminta pendapat.

"Nggak apa-apa, Mas, ke kantor aja. Udah sana." Andin mendorong tubuh Al pelan.

"Yaudah, kami hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa panggil Kiki atau Uya." Al mengelus puncak kepala Andin.

"Iya." Andin mengangguk.

Aldebaran lalu pergi. Baru saja Andin duduk, ia dikejutkan dengan ciuman tiba-tiba dari Aldebaran.

"Mas Al, ih." Andin memukul lengan Aldebaran, membuat lelaki itu hanya tersenyum puas. "Kalau tadi ada yang lihat gimana?" protes Andin.

"Nggak apa-apa."

"Sstt..., nakal, ya, udah sana ke kantor." Andin kembali mendorong Aldebaran untuk pergi. Kali ini ia memastika jika lelaki itu benar-benar pergi.

Setelah Al pergi, Andin duduk kembali di sofa sambil memegangi bibirnya. Rona merah mulai menghiasi pipinya yang gembul itu.

"Mba Andin kenapa?" tanya Kiki yang heran melihat Andin yang senyum-senyum salah tingkah begitu.


"Nggak, nggak apa-apa."

"Yaudah, Mba, kamarnya udah siap. Yuk, Kiki bantuin beres-beres." Kiki membawakan koper Andin. Diam-diam Kiki tersenyum mengingat kejadian tak terduga yang ia lihat tadi.

Please Feel Me at EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang