bab 3

1.2K 198 14
                                    

Sesampainya di kantor, Andin sempat menjadi pusat perhatian. Sebab yang rekan-rekannya tahu, Andin tak pernah cerita jika ia memiliki mobil atau semacamnya, kehidupannya pun terbatas lantaran ia memang harus banting tulang untuk biaya operasi papanya.

"Dianterin siapa, Ndin?" tanya Mirna menghampiri Andin yang baru tiba diruangannya.

"Mobil kantor," jawab Andin asal.

"Sejak kapan kantor nyediain mobil begitu?" Mirna semakin curiga.

"Mir, kebijakan kantor kita sekarang tuh, baru, makanya rajin cek grup deh." Andin berusaha mencari alasan yang masuk akal.

"Emang iya, ya?"

"Udah sana balik kerja. Nanti kalau pak Al datang bisa kena omel," ucap Andin memperingati.

Mirna pun kembali ke mejanya. Andin menghela napas lega, paling tidak sahabatnya itu tak terlalu curiga. Andin hanya belum siap untuk cerita kepada Mirna. Ia masih mencari waktu yang tepat untuk berbagi masalah dengan sahabatnya itu.

Andin lalu mengecek email yang akan dikirim ke bagian penelitian. Ia harus segera menyelesaikan proposal tentang produk yang diminta Aldebaran. Saat ia hendak pergi ke ruang rapat, ponselnya berbunyi. Ternyata pihak rumah sakit menghubunginya perihal kondisi papanya.

Dengan buru-buru, Andin pergi ke rumah sakit tanpa berpamitan ke siapapun. Mirna yang melihat Andin tampak panik pun merasa cemas.

"Andin kenapa, ya?" gumamnya. Ia lalu mencoba menghubungi Andin, tapi tak ada jawaban dari perempuan itu.

Tiba-tiba Aldebaran menghampirinya, menanyakan keberadaan Andin. Mirna yang tak tahu ke mana perginya Andin hanya mampu menjawab seadanya, jika sudah seperti ini pasti ada kaitannya dengan om Surya, papa Andin.

***

Dokter mengatakan jika kondisi Surya sempat drop. Lelaki tersebut harus segera mendapat tindakan operasi agar mampu bertahan hidup. Namun, Andin belum memiliki biaya. Apalagi ia baru menjalankan hubungan kontrak dengan Aldebaran.

"Lakukan operasi segera, Dok," ucap seseorang mengagetkan Andin dan dokter tersebut. Aldebaran muncul dengan wibawanya.

"Baik, saya akan proses prosedurnya," balas dokter tersebut.

"Mas Al nggak perlu ngelakuin semua itu," kata Andin segan.

"Kamu calon istri saya, dan saya nggak akan biarin apapun mengganggu pikiran kamu." Aldebaran mengelus pundak Andin. Ia lalu pergi untuk mengurus administrasi yang dibutuhkan.

Andin tak menyangka jika Aldebaran masih punya sisi kemanusiaan. Namun, ia kembali disadarkan jika yang Al lakukan hanya semata kontrak yang mereka jalani.

Setelah menunggu, Surya akhirnya dipindahkan ke ruang operasi. Andin dan Aldebaran hanya mampu menunggu di depan.

"Ndin, kamu bisa duduk nggak?" Aldebaran menginterupsi.

"Aku khawatir sama papa," kata Andin.

"Saya tahu kamu khawatir sama om Surya, tapi saya ngeliatnya pusing."

Andin akhirnya menurut dan duduk di samping Aldebaran. Hampir tiga jam berlalu dan belum ada tanda-tanda operasi selesai. Andin semakin cemas. Aldebaran yang melihat Andin belum tenang kemudian menggenggam tangan perempuan itu.

"Percaya sama saya, papa kamu pasti baik-baik saja," ucap Al mencoba menenangkan.

Andin hanya mengangguk. Ia merasa tenang ketika Aldebaran mengucapkan kalimat tersebut. Selama ini, Andin selalu berjuang sendirian, tapi kini ia memiliki sosok seperti Aldebaran membuatnya sedikit lega.

Enam jam telah berlalu, operasi Surya akhirnya selesai. Namun Andin tengah tertidur lelap bersandar pada bahu Aldebaran. Bagi Al, ia tak pernah melakukan hal semacam ini. Dengan perlahan, ia memindahkan kepala Andin, lalu menemui dokter yang keluar dari ruang operasi.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Al.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Namun kita masih harus mengobservasi pasien guna memastikan efek samping dari operasi tersebut. Juga, untuk memantau agar kita bisa melakukan operasi tahap kedua," jelas dokter.

Aldebaran mengangguk, kemudian membiarkan dokter dan perawat untuk memindahkan Surya ke ruang rawatnya.

"Ndin, bangun," ucap Aldebaran pelan.

Andin menggeliat. Ia melihat lampu di atas pintu sudah mati. "Operasi papa gimana, Mas?" tanya Andin khawatir.

"Om Surya sudah dipindahkan, operasinya berhasil," jawab Al.

"Syukurlah." Andin merasa lega mendengarnya. Ia dan Al kemudian menyusul ke kamar inap Surya.

***

Andin merapikan selimut papanya. Walau Aldebaran sudah melarangnya untuk pergi ke kantor hari ini, tapi Andin tetap pada pendiriannya. Melihat kondisi papanya yang sudah stabil membuatnya sedikit tenang dan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.

"Andin, kenapa kamu masuk hari ini?" tanya Aldebaran ketika melihat Andin keluar dari ruang rapat.

"Saya masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak," jawab Andin.

"Ikut ke ruangan saya." Aldebaran berlalu dari hadapan Andin. Perempuan itu pun menghela napas.

Beberapa pasang mata sudah memantau Andin dari balik kabinet masing-masing, ada juga yang berbisik mempertanyakan bosnya itu yang memanggil Andin. Sebagian berasumsi bahwa Andin akan mendapat masalah kali ini.

Andin dengan ragu masuk ke ruangan Aldebaran. "Ada apa, ya, Pak?"

"Saya kan bilang kamu hari ini ambil cuti," ucap Aldebaran sambil berkacak pinggang di hadapan Andin.

"Kondisi papa saya sudah membaik, Pak. Jadi, saya bisa tenang meninggalkannya. Lagipula ada suster yang akan menjaga."

Aldebaran maju dua langkah, mengunci Andin diantara meja kerjanya. "Kalau kita lagi berdua, bisa jangan panggil saya dengan sebutan 'pak'?"

Andin menelan ludahnya dengan susah payah. "I-iya, Mas..., Mas Al," balas Andin. Aldebaran semakin mendekatkan wajahnya, membuat Andin sedikit berpaling.

"Kirim laporan ini ke bagian administrasi," ucap Al sambil menyerahkan map yang ia ambil barusan. Andin pun bernapas lega. "Kenapa kamu?" tanya Al.

"Ng..., nggak, Mas, eh Pak Al. Eh...." Andin bingung sendiri.

"Yasudah, sana." Aldebaran menyuruh Andin untuk keluar. Setelah Andin pergi, tanpa sadar Aldebaran menyunggingkan senyumnya.

Please Feel Me at EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang