bab 13

1.4K 219 19
                                    

Hai, readersku...
I'm back! Hehehe
Jarang-jarang aku langsung update begini 😁
Mau makasih dulu sama akun KagaRui5  yang bikin inspirasiku satset karena komentarnya hihihi...
Pas bacain komentar2 kalian tiba-tiba aku langsung dapat ide dan pencerahan buat ngelanjutin part ini.

Makasih yang udah nyempetin corat-coret dikolom komentar, Krn itu membantu sekali.

Oke, langsung aja cus ke bagian selanjutnya...
Happy reading 🙌

💓💓💓💓

Aldebaran terdiam sejenak, apakah ia harus jujur kepada Andin atau tetap menyimpannya. Selama ini, Aldebaran tak pernah menceritakan apapun kepada orang lain kecuali Angga.

"Mas, mau ngomong apa?* tanya Andin menyadarkan Aldebaran dalam lamunannya.

"Kita bicara di ruang kerja saya." Aldebaran membuka pintu kamar dan keluar. Andin pun mengekorinya dari belakang.

Kiki yang melihat Aldebaran dan Andin keluar dari kamar bersamaan menyunggingkan senyumnya. Ia berpikir jika Al dan Andin telah baikan.

"Kamu kenapa, Ki?" tanya Rosa ketika melihat Kiki senyum-senyum.

"Eh, Bu Rosa, itu kayaknya mba Andin sama mas Al udah baikan, deh," jawab Kiki.

"Kamu yakin?"

"Iya, Buk. Tadi nih, ya, Kiki lihat mba Andin ngikutin mas Al sambil senyum-senyum."

"Baguslah kalau mereka sudah baikan." Rosa senang mendengarnya, hal itu berarti memang Andin mampu menghadapi Aldebaran.

Ketika sampai di ruang kerja, Aldebaran langsung membuka laptopnya, mencari sebuah berkas. Andin yang penasaran pun ikut melihat berkas apa yang dicari Aldebaran.

"Kamu lihat Vidio ini, abis itu kamu bisa menyimpulkan kenapa saya begitu membenci Sal," ucap Aldebaran menunjukkan sebuah rekaman CCTV.

Andin melihat Vidio tersebut dengan seksama. Ia terkejut dengan apa yang dilakukan Sal dalam Vidio tersebut.

"Jadi...." Andin menggantungkan kalimatnya.

"Alasan saya membenci Sal bukan karena saya tidak terima jika ia adalah anak diluar nikah dari papa saya, tapi ia juga ikut andil dalam kematian papa," jelas Aldebaran.

Satu fakta mengejutkan yang tidak orang lain tahu, bahkan Sal tidak menyadari. Semua orang mengira Aldebaran marah hanya tak terima dengan status Sal. Namun ternyata ada kenyataan yang lebih menyakitkan lagi.

"Saya juga merahasiakan ini dari mama karena saya nggak mau mama terluka." Aldebaran menghela napas. "Saya nggak masalah orang-orang bilang kalau saya jahat, saya iri dan sebagainya. Namun fakta ini tidak akan pernah mengubah kenyataan kalau Sal telah membunuh papanya sendiri, yang juga papa saya," lanjut Al.

Andin tak mampu berkata lagi. Selama ini ia telah salah menuduh. Ia hanya mendengar cerita dari Sal tanpa menanyakan cerita dari sudut pandang Aldebaran. Laki-laki itu ternyata menyimpan lukanya sendiri selama bertahun-tahun.

"Malam kamu pergi dari rumah ini, saya sebenarnya ingin cerita, tapi saya rasa percuma ketika kamu tak mempercayai saya."

"Maaf, Mas." Hanya kata itu yang mampu Andin ucapkan. Perasaan bersalah kini menyerang dirinya.

"Saya nggak menyalahkan kamu. Wajar kamu bersikap seperti itu, kamu baru mengenal Sal."

"Apa Sal tahu soal ini, Mas?"

Aldebaran menggeleng. "Ia nggak pernah tahu kalau saya melihatnya waktu itu."

Aldebaran menjelaskan jika pada saat itu, Sal marah kepada papanya karena kerap dibandingkan dengan Aldebaran. Bahkan lelaki itu ingin segera diakui oleh papanya. Namun pada saat itu kondisinya terlalu rumit dengan status Sal yang hanya anak diluar nikah. Alasan lain Aldebaran sering bertengkar dengan papanya juga karena mendebatkan masalah tersebut. Awalnya ia menerima kehadiran Sal dikeluargannya, tapi setelah mengetahui jika Sal yang menyabotase mobil papanya hingga kecelakaan, Aldebaran begitu murka. Ia terus menyalahkan Sal hingga mengusir lelaki tersebut. Namun Aldebaran tak pernah menyebut satu katapun perihal kasus kematian ayahnya. Bahkan rekaman CCTV di rumahnya waktu itupun sengaja ia sembunyikan.

"Kenapa kamu nggak kasih tahu Sal aja, Mas?" tanya Andin yang tak mengerti dengan tindakan Aldebaran.

"Saya masih punya perasaan, Ndin. Saya juga nggak mau mama semakin hancur. Mengetahui papa meninggal aja udah buat mama hampir putus asa, gimana kalau sampai dia tahu anak tirinya yang selama ini ia sayangi justru telah ngebunuh suaminya? Saya nggak bisa lihat mama semakin terpuruk." Mata Aldebaran memerah menahan isakan dan amarah.

Melihat Aldebaran yang berjuang sendirian membuat Andin semakin merasa bersalah. Ia lalu memeluk lelaki tersebut, memberikan ketenangan.

"Maafin aku ya, Mas. Aku nggak tahu perjuangan kamu untuk ngejaga Tante Rosa sebegitunya."

Aldebaran memejamkan mata, merasakan dekapan Andin yang membuat pikirannya tenang.

"Jangan pernah tinggalin saya, ndin," ucap Aldebaran.

"Aku akan selalu di samping kamu, Mas."

Aldebaran menghapus sisa air mata yang menerobos keluar. Ia tak mau terlihat lemah di depan Andin, gengsinya masih terlalu tinggi. Aldebaran lalu menarik Andin ke pangkuannya, merengkuh tubuh mungil itu.

"Ada satu lagi yang mau saya katakan sama kamu," kata Aldebaran.

"Apa?" tanya Andin. Tangannya sudah melihkar di leher Aldebaran.

"I love you, Andini Kharisma Putri."

Andin terkejut dengan pengakuan Aldebaran yang terkesan blak-blakan. Ia tak menyangka jika Al menaruh hati pada dirinya.

"Kok diem?" tanya Al.

Andin menangkup pipi Al dan mengelusnya dengan perlahan. "I love you too, Aldebaran Alfahri," balas Andin.

Aldebaran tak mampu menyembunyikan senyumnya. Ternyata perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Ia lalu mengecup kening Andin, lalu berpindah ke hidung hingga bibir, membuat Andin tertawa geli.

***

Pagi sudah kembali menyapa, tapi Andin masih enggan untuk bangun dari tidurnya. Sayup-sayup ia merasakan sesuatu bermain di wajahnya. Andin membuka mata dan terkejut melihat Aldebaran di sampingnya.

"Mas Al?" tanya Andin heran. Ia melihat sekeliling ruangan, dan berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Andin membelalakkan mata ketika mengingatnya dan menatap Aldebaran dengan segan. Andin merutuki dirinya, bisa-bisanya ia terbawa suasana dan berakhir ketiduran di ruang kerja Aldebaran. Untung saja sofa ruang kerja Al cukup lebar sebagai tempat tidur.

"Nggak usah mikir yang macem-macem, saya cuma cium kamu doang," kata Aldebaran sambil membenarkan kancing kemejanya yang terbuka.

"Mas Al, ih," gerutu Andin sambil melempar Aldebaran dengan bantal.

"Emangnya kamu berharap saya melakukan apa?"

Bukannya menjawab, Andin bangkit dan membenarkan pakaiannya. Ia lalu keluar dari ruang kerja Al diikuti oleh sang pemiliknya.

"Mas Al bisa diam, nggak," ucap Andin kesal ketika Aldebaran terus menggodanya. Bahkan ketika membuka pintu, mereka berdua pun berebut dan berakhir dengan saling terhuyung.

Kiki yang kebetulan sedang membereskan meja di dekat ruang kerja Aldebaran pun heran. Ia membulatkan mata saat melihat Andin dan Al keluar dari ruangan tersebut secara bersamaan, dengan kondisi yang sedikit berantakan.

"Mas Al sama Mba Andin abis ngapain?" tanya Kiki lantang.

Andin yang mendengar ucapan Kiki sampai menutup mata saking kagetnya. "Kiki bisa pelan-pelan, nggak, ngomongnya...," ucap Andin mengoreksi.

"Hehe, maaf Mba Andin, abisnya Kiki kaget."

"Ngapain kamu di sini?" tanya Aldebaran ketus.

"Ya, lagi bersih-bersih lah, Mas Al. Masa Kiki lagi masak." Kiki membela diri. "Mba Andin semalam belum pulang?" tanyanya lagi.

"Bukan urusan kamu." Kali ini Aldebaran yang menjawab.

Kiki menatap Andin dan Al dengan curiga. Ia lalu menahan tawa ketika memikirkan sesuatu.

"Ngapain kayak gitu?"

"Nggak, nggak ngapa-ngapain Mas Al. Yaudah, Kiki ke dapur dulu, ya," ucap Kiki lalu pergi dengan senyum sumringahnya. "Bentar lagi ada yang produksi, nih," gumam Kiki sambil tertawa sendiri.

Please Feel Me at EaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang