41

183 19 0
                                    

"Maura!" Nala berteriak menghampiri dengan langkah cepat.

Melihat itu, Maura buru-buru melepas genggaman tangan Revan. Mundur selangkah--menjaga jarak aman darinya.

Raut wajah Revan yang tadinya hangat, seketika berubah dingin seiring kedatangan Nala ditengah mereka.

"Wah, kalian barengan kesekolah kok gak ngajak-ngajak?! kesel deh! Lain kali kalau kalian barengan lagi, ajakin gue juga dong!" Nala yang baru saja menghampiri seketika melingkari lengan Maura, memprotes.

Disini Revan tidak menanggapi dan hanya tersenyum sinis. Ia lalu berpamitan pada Maura untuk pergi memasuki kelas lebih dulu.

Maura mengiyakan dengan canggung.

Nala melipat kedua tangan di dada, "Si Revan kenapa sih, jutek banget sama gue?! padahal tadi pas sama lo kelihatan hangat banget. Jangan-jangan kalian..."

"Jangan-jangan apa?? gak usah ngaco deh!" Potong Maura dengan cepat. "Udah, ayo masuk kelas!" Maura berjalan dengan tangan terselip di lengan Nala.

Mau tidak mau Nala pun ikut melangkahkan kakinya dengan malas.

"Tapi serius deh, kalian berdua gak ada apa-apa kan?"

Bukannya menjawab, Maura justru balik bertanya pada Nala. "Kamu ini sebenarnya emang serius nanya, atau cuman sekedar nanya?"

"Serius Ra! gue serius!!" ujarnya setengah nge-gas.

Suara Nala bahkan sanggup membuat suasana koridor yang tadinya berisik mendadak berubah senyap, bersamaan dengan beberapa pasang mata yang sudah teralih menatap keduanya penuh tanya.

Sontak saja hal itu membuat keduanya tersenyum canggung--merasa tak enak. Disini Maura buru-buru menarik Nala ke sebuah sudut yang agaknya sedikit sepi dari lalu lalang murid lain, dan segera bertanya, "Sebenarnya ada apa, La? Coba ngomong jujur sama aku?"

"Emm.. itu.." Nala terlihat ragu mau mengatakannya apa tidak.

"Kalau kamu nggak ngomong, aku mana ngerti arah pembicaraan kamu tadi."

"Tapi janji jangan bilang siapa-siapa ya?"

Maura mengangguk pasti.

"Kayaknya gue..."

Maura menunggu lanjutan kalimat Nala dengan penasaran.

"Gak cuman sekedar suka sama Revan."

"Hah?!"

"Iya, Ra. Kayaknya gue udah jatuh cinta banget sama dia."

Maura masih memasang wajah tak percayanya. "kamu.. serius?"

Nala mengangguk. "Gimana ini Ra, gue bahkan gak bisa bayangin kalau sampai dia tiba-tiba jadian sama orang lain. Bantuin gue dong, Ra.." rengeknya.

"Bantuin apa?"

"Ya.. buat deket sama Revan. Kan selama ini yang gue liat, cewek yang deket sama dia itu ya cuman elo. Ya ya.. pleasee..."

"Se-sebenarnya.. a-aku gak terlalu deket juga sih sama dia."

"Maura..." rengekan Nala kian semakin menjadi. Melingkari lengan Maura layaknya anak kecil minta di belikan permen.

"Iya, iya. Aku coba usahain supaya kalian bisa deket."

Nala yang mendengar itu, tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Ia langsung memeluk Maura dengan erat, "Aaaaa!! Makacii! Lo emang temen gue yang paling baik di seantero negeri lah pokoknya."

Dipeluk seperti itu, Maura hanya diam. Ia mendadak teringat kejadian beberapa hari lalu ketika dirumah Revan. Saat dimana cowok itu menunjukkan beberapa foto yang menjelaskan seperti apa hubungannya dengan Revan dimasa lalu--disaat Maura belum kehilangan ingatannya.

**

Ia terdiam menatapi layar ponsel dengan kedua rahang mengetat menahan emosi.

Baru saja Arsen menerima satu video serta beberapa foto dari Galang, mengenai Maura dan juga Revan yang tengah berangkat sekolah bersama sambil berboncengan motor.

Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa Maura mengabaikan larangannya?! Ketika ia sudah berkali-kali mengingatkan agar Maura menjauh dari Revan.

Maura bahkan tidak menjenguknya sama sekali dirumah sakit.

"Jadi ini alasannya dia gak datang kesini buat jengukin gue." Kesal Arsen berbicara sendiri. Pandangannya tak lepas dari layar ponsel--menatapi foto-foto itu dengan emosi tertahan di ubun-ubun.

Arsen bahkan tidak menyadari seseorang telah masuk ke ruangan tempatnya dirawat sembari menyahuti ucapannya barusan, "Siapa yang kamu maksud?"

Sontak pertanyaan itu membuat Arsen terkejut bukan main, "Mama bisa gak masuknya kasih salam, atau gak ketuk pintu dulu?"

"Mama pikir kamu tadi masih tidur. Eh, gak taunya lagi ngomong sendiri." Gadis mengabaikan wajah marah anaknya dan memilih membuka rantang berisi makanan, yang sengaja di bawanya dari rumah. "Nih, mama tadi kesini sekalian bawain kamu makanan rumah buat sarapan. Biar kamu gak ngeluh mulu sama makanan rumah sakit."

Raut wajah Arsen yang tadinya kesal, seketika berubah saat mencium aroma lezat dari makanan yang langsung memenuhi ruangan.

Arsen yang dalam posisi duduk bersandar di atas ranjang dengan kedua kaki diluruskan itupun, segera meletakkan hape dan mengambil alih rantang itu untuk segera memakannya.

"Gimana? Enak kan masakan mama?" Gadis bertanya disela makan anaknya.

Arsen mengangguki lalu kemudian menambahkan, "Lebih enak lagi kalau makannya gak dirumah sakit."

"Dokter masih belum bolehin kamu pulang dulu."

Gadis mengerti jika anaknya sudah tidak betah berlama-lama tinggal dirumah sakit tersebut. Ya.. mau bagaimana lagi, dokter yang merawatnya juga belum mengizinkannya pulang untuk saat ini. Walaupun disisi lain Arsen merasa yakin jika dirinya baik-baik saja. Tetap saja ibunya itu akan lebih memilih mendengar perkataan sang dokter ketimbang dirinya.

"Terus kapan boleh pulangnya?"

"Ya nanti, kalau udah beneran sembuh."

"kelamaan, keburu Arsen mati gabut disini." cetusnya seenak jidat disela makannya.

"Hush! Ngomongnya jangan ngaco begitu. Nggak baik!" tegur sang Mama dengan wajah serius.

Arsen bernapas berat. Mendadak selera makannya jadi hilang. Apalagi ketika isi kepalanya dengan ngawur membayangkan akan sejauh apa perkembangan hubungan kedekatan antara Revan dan Maura nanti, selama ia berada dirumah sakit tersebut.

Ditambah lagi Arsen mengetahui pasti, jika Revan tengah berusaha keras untuk mengembalikan ingatan Maura yang sempat hilang.

Ini tidak boleh terjadi.

"Mereka berdua harus tetap jadi orang asing."

"Dan gue berharap.. ingatan Maura gak akan pernah kembali selamanya."

BERSAMBUNG

Selesai diketik pada :
7 AGUSTUS 2022

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang