20 | Keinginan Pindah sekolah

406 66 4
                                    

Happy Reading, dan jangan lupa kasih vitamin penyemangat dengan tekan bintang di pojok bawah ^_^

***

Walaupun keadaan sekitar sudah sangat sepi dan hanya menyisakan dirinya sendiri di tempat gelap⸺minim penerangan tersebut, Revan masih belum menyerah mencari kedalam sungai dangkal⸺tempat dimana Arsen membuang ponselnya, beberapa menit lalu.

Ini sudah hampir setengah jam Revan mencari. Biarpun air disungai itu hanya setinggi pergelangan kaki, tapi keruhnya air membuatnya cukup kesulitan menemukan ponselnya kembali. Apalagi disini Revan mencari dalam keadaan marah dan hati kesal.

Ini bukan soal ponsel miliknya yang bisa dipastikan rusak karena sudah tercebur kedalam air. Tapi ini soal betapa lemah dan gobloknya Revan, karena hanya bisa diam ketika melihat Arsen membawa Maura pergi dari pandangannya.

Revan berdecak, seandainya saja tadi kedua teman Arsen tidak turut campur dengan menahan kedua tangannya. Revan pasti sudah mengejarnya sampai dapat.

Bunyi suara jangkrik terdengar nyaring, bercampur suara percikan air saat kedua tangan Revan tanpa henti merogoh masuk kedasar sungai. Erangan marahnya terdengar tiap kali ia mengeluarkan tangan dari air. Mengira ponsel yang ia dapat tapi ternyata bukan. Itu hannyalah sampah ataupun batu tidak berguna.

Revan berharap bisa menemukan handphone miliknya dan masih bisa menyelamatkan beberapa foto kenangannya bersama Maura.

Walaupun tak di pungkiri, sampai detik inipun Revan masih bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi terhadap Maura. Bagaimana mungkin Maura bisa tidak mengenalinya sama sekali.

Revan harus mencari tahu tentang ini semua.

***

sepanjang perjalanan pulang, Maura masih bisa merasakan denyut nyeri dipergelangan tangan-akibat dari tarikan Arsen saat akan mengajaknya pulang dari tempat balapan.

Maura tidak habis pikir kenapa juga Arsen menariknya sekasar itu tadi. Arsen bahkan tidak perduli dengan rasa sakit yang Maura keluhkan, dan malah terus saja menariknya kasar sampai Maura menaiki motor.

Seakan Arsen tengah marah padanya. Memangnya ia salah apa lagi sekarang?

Tak lama, motor yang mereka naiki sampai dan langsung memasuki pelataran rumah saat sang satpam membukakan pintu pagar.

Maura turun, begitu juga dengan Arsen. Entah kenapa Maura merasa sikap Arsen begitu dingin terhadapnya. Bagaimana tidak, dari semenjak perjalanan pulang smapai sekarang, cowok itu tidak berbicara sepatah kata pun.

Arsen membuka pintu. Maura mengekorinya dari belakang karena memang letak kamar mereka berada di lantai atas.

Keadaan rumah nampak sepi. Bisa di pastikan jika penghuni rumah masih tertidur lelap. Maura bersykur akan hal itu, ia tidak perlu repot menjelaskan kenapa ia bisa keluar selarut ini bersama Arsen.

Tapi, luka di wajah Arsen... bagaimana nanti ia akan menjelaskannya?

"Lo percaya apa yang si brengsek itu katakan?" Arsen tiba-tiba bersuara, ketika keduanya sampai di depan pintu kamar masing-masing.

Raut wajah Maura nampak tidak mengerti. Tangannya terhenti memutar knop pintu.

"Soal si Revan yang bilang lo itu ceweknya." Arsen sedikit memperjelas.

"Emm.. a-aku---"

"Jauhin dia! dan jangan pernah coba cari info apapun tentang dia."

"Kenapa?"

"Kenapa?? lo masih nanya juga kenapa?! dia itu musuh gue. Cuman cewek tolol dan gampang di jebak aja yang percaya omongan si bangsat itu!"

"Tapi, bukan dia pelakunya."

"Dia atau bukan. Yang jelas lo harus jauhin dia, titik!" Rasa kesal di hati membuat Arsen segera memutar knop pintu kamar-untuk segera masuk.

"Arsen..." Panggil Maura, membuat langkah cowok itu terhenti.

"Apa lagi?"

"Mau aku bantu obatin luka di wajah kamu?"

"Gak perlu. Gue bisa sendiri!"

Brakk!

Maura sampai berjingkat kaget saat Arsen menutup pintu dengan sedikit kasar. "Kenapa dia jadi marah-marah begitu sih?!"

Didalam kamar, Arsen teringat mengenai sketsa wajah yang ia temukan di kamar Maura waktu itu. kalau tidak salah Arsen memang sengaja mengambil buku gambar itu dan menyimpannya di dalam laci nakas-saking penasarannya Arsen dengan orang yang di gambar tersebut.

"Jadi, laki-laki di gambar ini benar-benar Revan?!" Arsen pikir waktu itu dirinya hanya asal menebak karena mirip. Tidak di sangka mereka rupanya saling kenal bahkan berhubungan sebagai pasangan.

Krekk!

Arsen merobek selembar kertas di gambar itu, lalu meremasnya kuat-kuat dan melemparnya masuk kedalam tong sampah.

***

Keesokan paginya, Arsen yang sedang menenggak jus buah dan akan bersiap pergi ke sekolah. sudah di cecar sang ibu dengan luka lebam di wajahnya.

"Arsen, udah berapa kali mama bilang, jangan suka berantem. Kenapa sih di bilangin gak pernah ngerti. Heran."

"Semalam keluar rumah jam berapa? Mama pikir kamu udah bobok ganteng di kamar. Gak taunya malah nyari perkara diluar sana sampai kayak gini. Mau jadi jagoan? Iya??"

Tapi untungnya Arsen tidak perlu berlama-lama mendengar omelan ibunya, karena tidak lama setelah itu, Maura datang dan bilang jika hari ini mereka ada upacara pagi.

Tentu saja hal itu hanyalah sebuah alasan yang dibuat Maura.

Mau bagaimana lagi, Maura juga tidak tega melihat Arsen di omeli seperti itu oleh ibunya.

Apalagi disini, ia tidak bisa memberi penjelasana apapun, karena Arsen melarangnya berbicara dan memberitahu apa yang terjadi semalam.

"Arsen, kamu beneran nggak papa?" Maura bertanya, saat mereka berdua sudah sampai di parkiran sekolah dan turun. Sejujurnya, Maura sangat mengkhawatirkan keadaan Arsen saat ini. dengan luka-luka seperti itu, harusnya Arsen tetap berada dirumahnya. "Aku.. khawatir sama keadaan kamu. kamu udah obatin luka kamu kan semalam?"

Bukannya menjawab pertanyaan Maura, Arsen justru hanya diam sambil berjalan pergi begitu saja meninggalkan gadis itu.

Maura yang kebingungan, jelas mempertanyakan sikap Arsen yang tiba-tiba dingin seperti ini. dia lalu memutuskan untuk menyamai langkah kaki cowok itu, sambil memanggilnya. "Ar---"

"Arsen! Loh, muka kamu kenapa? kamu berantem lagi?" Tiba-tiba Cristy datang sambil melingkari lengan tangan Arsen seperti biasanya. "Ya ampun.. ini udah kamu obatin belum sih?!" Cristy menanyakan itu dengan menyentuh dagu Arsen-penuh rasa kekhawatiran.

Terlihat di belakang sana, Maura hanya diam memperhatikan mereka yang terus berjalan-tanpa memperdulikan keberadaan dirinya sama sekali.

Napas beratnya berhembus. Rasa-rasanya semalam Arsen masih menunjukkan sikap perduli terhadapnya. Arsen bahkan rela berkelahi hanya demi Maura. Lalu... kenapa lagi dengan sikap dinginnya itu sekarang?

Sementara diluar gerbang, Maura sama sekali tidak tahu jika disana telah ada satu orang cowok yang terus saja memperhatikannya.

Menatap lurus punggung gadis itu, dengan tatapan yang amat sangat menyedihkan.

Bahkan suara panggilan telfon dari sang mama, tidak serta merta dapat mengalihkan pandangan Revan dari Maura, ketika mengangkatnya.

"Revan, kamu dimana sekarang? Kamu kan lagi sakit. Harusnya kamu dengerin omongan mama buat diem dirumah. Pokoknya mama gak mau tau. Kamu pulang sekarang juga!"

Hening....

"Revan, kamu denger kan mama ngomong apa barusan?! pulang!"

Bukannya langsung mengiyakan dan menuruti perkataan sang mama. Revan justru mengatakan hal lain, yang membuat mamanya cukup terkejut.

"Ma, kalau boleh. Revan pengen pindah sekolah dalam waktu dekat."

***

BERSAMBUNG

06-11-2020

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang