Masih melek? 01.35 WIB😴
***
Zea mengurung diri di dalam kamar sejak pulang dari kampus kemarin siang. Bahkan ia sengaja mematikan ponselnya sejak kemarin karena tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Karena sekarang weekend, Zea yakin kalau Altaf pasti tidak akan ke apartemen. Lelaki itu biasanya akan pulang ke rumah orangtuanya. Dan Zea juga memilih pulang ke rumah orangtuanya.
Pintu kamar Zea diketuk, kemudian suara ibunya memanggil dengan lembut. Zea yang tengah berbaring dengan tubuh yang dibalut selimut tidak berniat untuk menyahut. Ia sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.
Mendengar ketukan di pintu sudah hilang, Zea menghela napas panjang. Mungkin sakit di lengannya kemarin tidak sebanding dengan sakit dihatinya. Bahkan Altaf sama sekali tidak mengejarnya. Hal yang jelas membuat Zea semakin merasa sedih.
Sejak kemarin wajah gadis berkerudung itu terus saja menghantui Zea. Apa kini tipe Altaf sudah berubah? Zea merasa sangat rendah saat mengingat kembali ia begitu mudah luluh sebulan ini. Bahkan mereka sudah tidur bersama sebanyak 3 kali. Dan sepertinya ini sudah waktunya ia dicampakkan.
Mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang membuat Zea memejamkan mata semakin erat. Ia tidak ingin diganggu tapi ia tidak bisa memberikan alasan jika ibunya bertanya ada apa dengannya.
"Ze, ada yang nyariin kamu di luar."
"Siapa?" Suara Zea jelas tidak bisa berbohong.
"Kamu nangis?"
"Enggak. Aku cuma pilek. Bunda keluar aja," usir Zea.
"Kamu yakin? Kalau gak enak badan kita ke dokter," tawar ibu Zea.
"Gak usah. Dibawa tidur juga bakal enakan kok."
"Terus tamunya Bunda suruh masuk apa gimana?"
"Siapa?"
"Gak tahu. Ibu-ibu."
Zea membuka mata dengan kening yang berkerut. Siapa yang mencarinya? Apalagi ini ibu-ibu. Karena Zea sejak awal yakin kalau yang datang tidak mungkin Altaf. Lelaki itu tidak tahu alamat orangtuanya.
"Coba temui dulu. Siapa tahu penting," bujuk ibu Zea.
Zea bergumam pelan, lalu perlahan bangkit dari tidurnya. Ia menatap sang ibu, lalu matanya kembali terasa perih. Zea merasa sangat bersalah. Ia gagal menjaga dirinya sendiri. Zea yakin ibu dan ayahnya pasti akan sangat kecewa.
"Hei, kenapa nangis?" tanya ibu Zea saat melihat pipi gadis itu basah.
Zea tidak bersuara. Ia hanya menatap ibunya dan air mata itu tidak bisa ia kendalikan untuk berhenti begitu saja. Zea merasa sesak. Ada yang hilang didirinya dan itu sangat ia sesali sekarang. Kenapa baru sekarang? Bukankah sebelumnya Zea tidak memikirkan resikonya?
"Pusing," isak Zea.
Ibunya mendekat dan memeluk Zea dengan sayang. Dielusnya rambut gadis itu dan menepuk punggungnya dengan lembut.
"Istirahat aja. Biar Bunda yang bilang ke tamunya buat ke sini lagi pas kamu udah sehat ya,"
Zea menggeleng. Ia memang pusing. Tapi bukan berarti tidak bisa menemui tamu itu. Zea hanya pusing memikirkan cara bagaimana berkata jujur pada orangtunya.
Setelah menangis beberapa saat, Zea akhirnya sedikit tenang. Sejak kemarin ia menahan untuk tidak terisak kencang seperti ini. Bukannya lega, Zea malah semakin merasa sesak. Tapi sekarang karena sudah menangis sekencang itu membuat Zea bisa bernapas lebih baik.
"Suruh tunggu bentar. Aku cuci muka dulu," kata Zea.
Ibunya beranjak sambil mengangguk. Ia membiarkan Zea berlalu ke kamar mandi, kemudian lebih dulu keluar untuk memberi tahu tamunya.
***
"Saya tahu ini akan sulit. Tapi saya cuma bisa minta tolong hal ini ke kamu, Zea. Saya gak mau hubungan Altaf dan Papanya jadi renggang. Kamu pasti tahu gimana keras kepalanya Altaf."
Zea menunduk memperhatikan ujung sendal yang ia gunakan. Ia duduk di taman depan rumah orangtunya. Di hadapannya seorang wanita duduk menatapnya dengan memohon.
"Saya bakal putus dengan Altaf, Tante," ujar Zea setelah terdiam cukup lama.
"Gak. Maksud saya bukan begitu. Kamu cuma perlu menghindar 1 bulan aja. Biarkan Altaf dekat dulu dengan Nabila. Kalau 1 bulan itu Altaf gak bisa lupain kamu, masih nyari-nyari kamu dan gak merespon perasaan Nabila, kalian bisa kembali bersama. Biar saya yang bicara dengan Papanya setelah itu."
Zea tersenyum pedih. Altaf dan orangtuanya sama saja. Sama-sama egois. Kalau Zea mengikuti kemauan ibu lelaki itu, lalu perasaannya bagaimana? Apa Zea ini patung yang tidak punya perasaan? Bagaimana kalau sebulan nanti Altaf benar-benar menyukai Nabila dan meninggalkannya? Sedangkan perasaan Zea masih mengharapkan lelaki itu nantinya. Zea tidak mau jatuh sakit terlalu dalam.
"Saya gak bisa. Kalau memang Tante mau Altaf dekat dengan Nabila sesuai kemauan Papanya, saya yang akan mundur. Lagipun, Tante cuma mikirin Altaf dan suami Tante. Perasaan saya gimana? Coba posisikan Tante jadi saya. Apa Tante bakalan mau ngebiarin pacar Tante dekat sama perempuan lain?"
Ibu Altaf menarik napas berat. Ia menyandarkan punggungnya sambil menatap Zea dengan pandangan bersalah.
"Lalu kamu beneran ingin putus? Saya tahu kalian pacaran setahun ini. Itu waktu yang lumayan lama bagi saya. Kamu sama Altaf belum pernah..."
Zea tersenyum kecut. Kalimat ibu Altaf memang menggantung, tapi Zea tahu ke mana arahnya.
"Tante tenang aja. Kalau saya bilang saya mundur, saya gak akan ganggu Altaf lagi apa pun yang terjadi."
"Oke, kalau itu keputusan kamu. Semoga itu yang terbaik buat kalian berdua. Sekali lagi saya tegaskan, saya gak pernah nyuruh kamu buat putus dengan Altaf. Saya hanya meminta kamu bekerja sama dengan baik-baik."
Keduanya sama-sama terdiam beberapa saat. Karena langit mulai gelap, ibu Altaf pamit undur diri. Langit sepertinya sedang memihak Zea. Ia ikut bersedih karena Zea. Dan lihatlah, langit akan menangis sebentar lagi.
Seiring kepergian ibu Altaf, air mata Zea kembali menetes. Ternyata begini akhir kisah cintanya dengan lelaki itu. Zea tidak menyangka kalau hubungan yang pernah ia impikan serius itu berakhir seperti ini.
Zea juga paham maksud ibu Altaf. Hanya saja ia tidak yakin dengan dirinya nanti. Bagaimana kalau rasa cintanya pada lelaki itu semakin besar? Zea yang akan kesulitan juga.
"Maaf karena aku gak bisa dengar penjelasan kamu. Aku tahu kamu pasti lagi bingung kemarin makanya gak jemput dan hubungin aku. Tapi aku gak mau bikin kamu jadi tambah bingung, Al. Aku gak mau kamu harus milih aku atau Papa kamu," gumam Zea dengan sedih.
Ibu Altaf sudah menceritakan semuanya. Altaf pulang malam itu karena desakan sang ayah. Pria yang selama ini Altaf panggil 'Papa' itu sudah menyiapkan pasangan untuk Altaf. Untuk masa depan Altaf sebagai pewaris tunggal.
Meski ibu Altaf tidak memihak mana pun, tapi Zea yakin ia tetap akan mempertahankan keputusan apa pun yang suaminya ambil. Demi keutuhan keluarga, kan? Apalagi ibu Altaf tipe istri yang manut kepada suami. Wanita itu sendiri yang mengatakannya.
Zea masuk ke dalam rumah. Ia bertemu ibunya yang ternyata memang menunggu di ruang tamu. Zea tersenyum dengan mata yang kembali berair.
"Bunda..."
Ibu Zea merentangkan kedua tangan menyambut tubuh sang putri yang membutuhkan pelukan. Ia mengecup rambut Zea dan membisikkan kata-kata sayang.
"Itu Ibu Altaf. Aku sama Altaf udah putus. Aku boleh tinggal di sini lagi, kan?"
"Boleh dong, Sayang. Bunda malah senang. Kamu tuh milih tinggal di apartemen malah bikin Bunda sama Ayah khawatir terus. Kalau capek nyetir sendiri ke kampus karena jauh, Bunda bakal cari sopir buat kamu."
Zea mengangguk. Memang sebaiknya ia tinggal di sini saja. Jika ia kembali ke apartemen, Altaf bisa saja mencarinya ke sana.
'Altaf, selamat tinggal,' batin Zea.
***
Putus... Gimana dong🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...