5. Menjadi Seorang Kakak

171 16 0
                                    


Hari ini hari Jumat dan gua masih kepikiran sama Juan yang tiap hari kelihatan sedih karena enggak bisa ikut camp klub taekwondo. Gua kemarin baru memastikan kalau Juan memang anggota klub taekwondo, gua mengintip latihan klub taekwondo SMP NUSA kemarin. Dan gua lihat Juan keren banget. Sumpah, gua enggak bohong, adik gua walau imut-imut gitu selalu menang kalo lagi adu jotos gitu. Jujur gua enggak tahu apa namanya itu, jadi maafin, yah.

Karena gua merasa sayang banget kalau Juan enggak direstuin Papa buat ikutan camp. Kini gua sedang menghadap pelatih klub taekwondo SMP NUSA.

"Permisi, Pak," sapa gua sambil menghampiri pelatih bernama Pak Khairus yang sedang sibuk dengan kertas-kertas. Pak Khairus memandang gua dengan heran. "Saya Je, kakaknya Juan," jelas gua.

Pak Khairus langsung mengangguk paham saat mendengar nama 'Juan'. "Oh iya, ada apa?" tanya beliau langsung ke inti.

"Jadi begini, Pak. Saya dengar klub taekwondo akan mengadakan camp pada hari Sabtu dan Minggu besok."

"Ya, betul. Tapi sayang sekali Juan tidak bisa ikut. Saat saya tanya alasannya dia hanya diam. Apa kamu tahu alasannya?" Pak Khairus terlihat serius.

"Jadi di formulir yang diberikan itu harus ada tanda tangan dari orangtua. Sementara Mama kami sudah tiada dan Papa kami sibuk kerja. Saudara juga tidak ada yang dekat. Jadi, apa boleh saya yang menandatanganinya sebagai kakak dari Juan?. Juan sebenarnya sangat ingin ikut," jelas gua panjang lebar.

"Boleh saja. Asalkan Papa kalian sudah memberikan izin."

Kali ini gua harus berbohong demi Juan. "Sudah, Pak. Papa kami menyuruh saya untuk meminta ijin kepada Bapak agar saya bisa menandatangani formulir itu." Juan lu pokoknya harus bersyukur punya Abang kaya gua.

"Oh, kalau begitu silakan. Saya jujur melihat ada banyak sekali bakat dari adik kamu. Jadi sangat sayang kalau dia melewati camp ini."

Gua tersenyum senang saat misi gua berhasil. Langsung saja gua menyerahkan formulir yang sudah gua tanda tangani kemarin. Setelah makan malam waktu itu, gua melihat Juan membuangnya ke tempat sampah dengan meremasnya. Untung gua langsung memungutnya dan dengan bantuan Bu Asih menyetrikan kertas ini agar terlihat tidak terlalu kusut.

"Ini, Pak. Maaf lecek, kemarin tidak sengaja ketumpuk-tumpuk sama buku." Gua menyerahkan formulir tersebut ke Pak Khairus. Pak Khairus menerimanya dengan senang dan berterimakasih pada gua. Gua keluar dari ruangan Pak Khairus dengan senyum lebar.

"Ngapain lu ke ruangan Pak Khairus?" Gua meloncat kaget saat melihat Juan ada di depan pintu ruangan Pak Khairus.

"Astaga, Ju! Untung gua enggak ada riwayat jantung." Gua mengelus dada.

"Lu ngapain?" tanya Juan nyolot.

"Coba tebak ngapain?" ledek gua pada Juan. Tapi gua menyerah karena ditatap tajam begitu. "Iya, deh. Lu mending cepet pulang terus siapain keperluan camp taekwondo buat dua hari besok," ucap gua sambil berlalu.

"Maksudnya?" Juan menyusul gua. "Gua yang tanda tangan formulir lu," ucap gua pongah.

Juan tampak tidak percaya. "Tapi, kan cuman boleh orangtua yang tanda tangan."

"Gua punya koneksi orang dalam. Udah pokoknya kalo enggak percaya lu tanya aja sama pelatih lu itu." Gua meninggalkan Juan yang masih melongo di lorong.

---

Hari ini gua lagi seneng karena bisa ngebantuin Juan. Jadi ini yang namanya jadi Kakak. Gua jadi inget dulu waktu gua masih kecil selalu minta adik laki-laki ke Mama. Waktu Juan lahir gua juga seneng banget. Tapi sayang, Juan harus tinggal sama Kakek dan Nenek waktu itu. Makanya waktu dia dateng lagi ke sini gua janji sama diri gua sendiri bakalan lakuin apapun buat dia.

Tok! Tok!

Siapa malem-malem begini ngetuk pintu gua? Jangan-jangan dedemit lagi. Gua langsung berniat untuk bersembunyi di balik selimut.

"Ini gua Juan. Bukan setan." Itu anak ternyata. "Masuk," jawab gua. Juan membuka pintu dan gua melihat dia mengenakan kaus kuning dan celana pendek warna putih. Kayak anak ayam, hahaha. Tentu saja hanya gua sebutkan dalam hati kalau masih mau hidup. Karena Juan diam aja di pintu gua jadi bingung.

"Kenapa?" tanya gua.

"Buat yang tadi...." Gua menaik-turunkan alis sambil menunggu jawaban dia. Sebenernya gua udah tahu dia mau ngomong apa. Tapi gua mau denger langsung dari mulutnya. "Makasih." Akhirnya gua bisa mendengar kata itu keluar dari mulut dia. Selama ini dia cuman minta tolong buatin mi instan tanpa bilang 'makasih' udah ngacir aja.

"Anytime. Besok berangkat jam berapa?" tanya gua.

"Jam 6 pagi harus udah di sekolah."

"Sama Mang Iip aja." Dibalas anggukan oleh Juan. "Udah sana istirahat. Di sana jangan bandel." Gua kenapa kaya mirip Bapaknya, sih?

"Kalo Papa tahu gimana?" Raut wajah cemas terlukis di sana.

"Papa udah berangkat lagi enggak tahu kemana tadi siang. Pulangnya lagi kapan-kapan kalo inget," jawab gua jujur. "Enggak usah bingung. Entar gua yang jelasin ke Papa. Lagian taewondo itu olahraga yang bagus. Kenapa dipermasalahin sampe segitunya," gerutu gua yang tidak setuju dengan ucapan Papa tempo hari.

Juan hanya mengangguk dan hilang di balik pintu. Keesokan paginya gua bisa denger suara mobil keluar rumah.

---

Hari Minggu paginya gua lagi makan sereal sambil nonton kartun Doraemon di TV. Hari libur gua enggak ada yang spesial, gua kemarin ke rumah Azka buat ketemu Bang Mahen. Bang Mahen itu kuliah jurusan musik jadi gua suka aja kalo ngobrol sama dia. Gua suka gitaran bareng dan iseng aransemen lagu. Sementara si Azka main sama buntelan bulunya yang entah kenapa sekarang udah setinggi tulang kering. Perasaan dulu masih kecil imut-imut gitu. Gua pamit pulang waktu udah malem, sempet makan malem bareng sama Papanya Azka. Gua agak iri kalo liat keluarganya Azka yang hangat.

Tanpa sadar gua memegang lengan kanan gua. Ada bekas luka yang tidak bisa hilang di situ. Gua langsung mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang barusan terlintas di kepala gua. Enggak, Je, semuanya udah baik-baik aja. Enggak ada yang perlu ditakutin lagi sekarang.

Gua mencuci bekas mangkuk sereal dan masuk ke kamar. Berniat untuk tidur lagi. Gua mengambil ponsel dan ada 5 panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Paling penipuan. Baru gua menaruh ponsel dan hendak tertidur, masuk lagi telepon dari nomor itu. Setelah berpikir sebentar gua mengangkatnya.

"Halo," sapa orang di seberang. Tunggu gua kayaknya kenal suara ini. "Saya Khairus pelatih taekwondo Juan. Apakah benar ini nomor Je?" Betul, ini suara Pak Khairus.

"Iyah betul, Pak. Saya Je, apa terjadi sesuatu?" tanya gua khawatir.

"Saat sedang melakukan pelatihan, Juan pingsan. Sempat ditangani oleh tim medis klub kami. Tapi setelah sadar Juan tambah parah, dia bahkan terlihat kesulitan bernapas, jadi kami bawa ke rumah sakit untuk penanganan. Sekarang Juan ada di IGD rumah sakit NUSA, apa Papa kamu bisa kemari?"

Oh, sial. Ada apa dengan Juan.

"Papa kami sedang keluar kota. Tapi saya akan susul ke sana sekarang juga. Terima kasih sudah menghubungi, Pak."

Setelahnya gua langsung turun ke bawah dan meneriaki Mang Iip untuk mengatar ke rumah sakit NUSA. Gua benar-benar khawatir sekarang. Semoga Juan enggak kenapa-napa.

---

Jakarta, 13 Agustus 2022

(2) Jemari Je (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang