3. Dia Juan

237 19 0
                                    


Sial! Hari ini gua kesiangan karena semalem keasikan mabar sama Azka dan Kevin. Gua buru-buru mandi kemudian menuruni tangga yang terasa tidak ada habisnya sambil memasang dasi.

"Mas, sarapan dulu!" Gua bias mendengar Bu Asih yang berteriak dari arah dapur. "Aku hari ini enggak sempet sarapan, Bu. Maaf, yah!" Gua berteriak sambil memasang sepatu di teras.

Untung saja saat gua keluar, Mang Iip sudah siap di belakang kemudi mobil. Tanpa banyak berpikir gua langsung masuk ke kursi penumpang.

"Ayo buruan, Mang. Aku udah telat. Anjir siapa lu?!?" Gua hendak menaruh tas di kursi samping terkejut saat melihat makhluk kecil yang sedang memeloti gua dengan galak. Oh iya, dia adik gua, Juan. Gua sampai lupa kalo kemarin adik gua dateng ke rumah ini.

"Lu lama banget. Ini hari pertama gua sekolah kalo sampe telat hancur udah first impression gua," omelnya.

"Gua lupa kalo ada lu di rumah. Lagian gua juga enggak tahu kalo lu mau berangkat bareng gua. Kan, mobil ada banyak di garasi, kenapa ikut gua, sih?" bela gua.

"Maaf, Mas Je. Kemarin kata Bapak, Mas Juan berangkatnya bareng sama Mas Je," Mang Iip yang sedang menyetir ikut menimpali.

Gua hanya bisa menghela napas kasar sambil berharap kalau tidak telat. Sebenarnya masih ada 40 menit lagi sebelum jam masuk, tapi tahu sendiri kalau pagi ibukota macetnya kaya apa.

Gua menatap Juan yang berpakaian seragam sama dengan milik gua. Bedanya dia mengenakan dasi berwarna biru yang berarti dia berada di SMP.

"Kelas berapa, sih lu?" tanya gua kepo.

"8," jawabnya singkat. Loh, bukannya dia 3 tahun di bawah gua, apa dia masuk sekolah kecepetan? Seolah paham dengan raut muka gua, Juan melanjutkan ucapannya. "Gua loncat kelas karena otak gua jenius. Enggak usah sampe kaget banget liat orang jenius kaya gua," pongahnya.

Menyebalkan. Walaupun fisiknya kecil dan menggemaskan, Juan ini memiliki mulut yang pedas. "Enggak biasa aja, tuh. Temen gua si Azka juga loncat kelas gua b aja." Perkataan gua tidak ditanggapi oleh Juan karena kami mulai masuk ke dalam area sekolah. Juan tampak terkagum-kagum melihat sekolah barunya. Memangnya dia sebelumnya sekolah dimana, sih? Di negeri, kah?

Saat sampai di lobby, Je turun terlebih dahulu diikuti oleh Juan di belakangnya. Juan tampak mengucapkan terima kasih kepada Mang Iip. Saat Je melakukan absen dengan menempelkan ID Card-nya, Juan ingin mengikutinya tapi sudah dicegah dengan Je.

"Yang ini buat anak SMA. Lu di sebelah sana." Je menunjukkan tempatnya pada Juan. Je bahkan menunggui Juan sampai selesai absen.

"Ngapain ngikutin?" tanya Juan judes. Ya ampun, padahal niat gua baik biar adik gua ini enggak ilang. Gua tahu Juan pasti bakalan bingung buat menjelajahi NUSA yang luas ini.

"Gua anterin lu ke ruang TU. Nanti lu nyasar," Tanpa menunggu jawaban Juan, gua memimpin jalan. Juan sepertinya membuntuti gua dengan tenang.

"Ini ruangannya. Nanti ke kelasnya bisa sendiri, kan? Apa mau ditungguin sampe tahu kelasnya dimana?" gua dengan baik hati menawarkan jasa.

"Enggak usah, aku bukan anak kecil," tolak Juan dengan ketus. Enggak sadar diri kayanya dia? Jelas-jelas dia masih kecil. Gua mengangkat bahu dan berjalan menuju kelas yang 5 menit lagi akan mulai.

---

Saat jam istirahat, seperti biasa gua, Azka, dan Kevin nongkrong di ruang pribadi yang sebenarnya adalah studio musik ini. Sambil memakan roti yang kami beli di kantin, kami mengobrol santai. Sebenarnya untuk makan siang, semua siswa NUSA mendapatkan jatah makan, tapi kami bertiga jarang mengambilnya karena tidak mau berdesak-desakkan di sana.

(2) Jemari Je (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang