Begitu sampai di UKS gua terkejut melihat penampilan Juan yang sudah babak belur. Di bagian wajahnya saja terdapat banyak lebam, yaitu di pelipis, tulang pipi, dan sudut bibir. Belum lagi dengan seragamnya yang penuh dengan debu. Gua bisa lihat dengan jelas kalau ada jejak sepatu di sana.
"Apa yang terjadi?" tanyaku pada beberapa guru dan satu orang penjaga UKS yang sedang mengobati Juan.
"Juan terlibat perkelahian tadi di kelasnya," ucap seorang guru yang ber-name tag Sri Wahyuni. Kalau gua tidak salah, dia adalah guru Bahasa Indonesia waktu gua SMP. Apa dia wali kelas Juan.
"Sama siapa aja, Bu? Dimana lawannya? Kenapa cuman ada Juan di sini?" Gua memberondong guru tersebut dengan banyak pertanyaan.
Tidak masuk akal saja saat melihat hanya Juan yang ada di UKS, dimana lawannya? Apakah lawannya tidak memiliki luka yang parah seperti Juan? Kalau begitu ini namanya pengeroyokan.
"Lawannya ada lima orang teman sekelasnya."
"Apa? Kalau begitu namanya bukan perkelahian, bu, tapi pengeroyokan. Pantas saja Juan sampai babak belur begini." Jujur gua emosi mendengar pernjelasan santai dari guru tersebut.
Aku memandangi Juan yang sepertinya sudah lemas dan tidak bisa berpikir lagi. Dia hanya meringis saat beberapa kali diobati oleh guru UKS. Walaupun Juan adalah atlet taekwondo, kalau lawannya lima orang sekaligus, tentu saja dia kalah, dia bukan Jackie Chen.
"Mana aja yang sakit?" Aku menghampiri Juan lebih dekat.
"Lukanya terlalu banyak. Habis pertolongan pertama ini, Juan harus dibawa ke rumah sakit. Takutnya ada luka dalam," tutur guru penjaga UKS.
Betul apa pemikiran gua. Yang terpenting sekarang adalah kondisi Juan. Jadilah gua menelepon Mang Iip untuk segera datang kemari. Untung saja katanya dia emang sedang berada di sekitar sini untuk servis mobil, sebentar lagi mobilnya selesai diservis dan bisa langsung meluncur kemari.
"Dimana anak-anak yang lainnya, Bu?" Aku jujur geregetan dengan Bu Sri yang tampak tenang-tenang saja padahal salah satu anak muridnya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
"Mereka sudah dibawa ke ruang konseling untuk ditanya lebih lanjut. Saya mau ke sana dulu. Kamu lebih baik temani adikmu saja. Hasilnya nanti kami akan panggil orangtua Juan."
Ada perasaan tidak senang saat mendengar kata akan memanggil orangtua kami. Tapi ini memang yang terbaik, Papa harus tahu kalau anaknya dikeroyok di sekolah. Walau aku belum tahu lebih lanjutnya bagaimana.
---
Rasanya seperti berada di awang-awang saat aku menunggu Juan ditangani lebih lanjut di IGD. Sekitar 30 menit lalu kami sampai di IGD. Saat dalam perjalanan tadi, kondisi Juan benar-benar memprihatinkan. Dia terlihat menahan sakit di bagian perutnya, aku menyingkap seragamnya dan terkejut saat melihat ada banyak lebam di sana. Belum lagi dengan asmanya yang tadi kambuh saat perjalanan, mungkin tadi dadanya ikut terbentu sesuatu.
"Setelah menjalani rontgen dan tidak ditemukan adanya luka dalam. Tapi di sekujur tubuhnya banyak sekali luka lebam akibat benturan dari luar. Jika dilihat dari bajunya yang terdapat bekas sepatu, sepertinya adik kamu ditendang atau bahkan diinjak. Selain itu asmanya kambuh dan sudah kami tangani. Dibandingkan dengan luka fisik, saya lebih khawatir adanya luka psikis. Sepertinya kejadian ini bukan hanya sekali dua kali jika dilihat dari ada beberapa lebam yang sudah memudar. Sebaiknya konsultasikan dengan guru dan orangtua kamu."
Perkataan dokter tadi terus-terusan berputar di kepala gua. Kenapa dokter mengkhawatirkan kondisi psikis Juan? Bukannya lebam-lebam itu berasal dari lomba atau latihan taekwondo-nya?
Pokoknya yang pertama gua tunggu sampai Juan sadar dulu.
Eh, tunggu. Kayaknya ada yang salah.
Gua melirik jam dan melihat kalau sekarang masih pukul 11 siang, itu artinya gua seharusnya masih berada di sekolah. Duh, walau sudah diijinin sama wali kelas Juan tadi tapi tetap saja gua belum bilang sama sekali ke Azka atau Kevin buat ijinin gua. Gua mengeluarkan ponsel. Awalnya gua mau mengirimkan pesan pada Kevin tapi gua inget Kevin lagi dalam suasana hati yang buruk. Mendingan gua chat Azka aja.
Azka (bukan) Corbuzier
Ka
Ka
Gua lupa sumpah
Ijinin gua ke setiap guru yang masuk,
kalau gua ijin nemenin adek gua di rumah sakit.
Udah, Je.
Tadi Aci dateng trus nitip surat ijin kamu ke aku.
Aci ngasih ke lu di kelas langsung?
Iya, kenapa?
Temen lu yang itu enggak cemburu?
Enggak tahu
Tapi punggung aku rasanya kayak ditusuk-tusuk
Kayaknya dia lagi liatin aku pake tatapan setajam silet.
Oke
Bagus
Cepet baikan dah
Oke.
Bagus, baru ditinggal gua belum ada berapa jam kayaknya nanti bakalan ada perang dunia kedua antara Kevin dan Azka.
"Ehm..."
Gua tersadar saat mendengar suara Juan yang sudah sadar. Gua mendekati brankar dan melihat Juan yang sudah membuka mata. Dia mengernyitkan dahinya, sepertinya semua tubuhnya sakit.
"Sakit semua, yah?" tanya gua pelan.
Juan melihat ke arah gua dengan mata berkaca-kaca.
"Juan enggak mau sekolah lagi. Mereka semua jahat." Tangisan Juan tumpah setelahnya.
Gua panik karena tidak paham apa yang dia katakan. Siapa yang jahat?
"Siapa yang jahat?" Gua mengelus-elus lengannya.
"Semua. Sakit. Juan dipukul setiap hari..."
"Apa?! Setiap hari?"
Gua sampai berdiri saking enggak terimanya. Siapa yang udah berani pukulin adek gua, setiap hari lagi. Cari mati kayaknya mereka sama Je. Dan yang terpenting kalau dipukuli setiap hari bukannya namanya bullying?
---
Banyumas, 15 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...