Sekitar dini hari gua yang tadinya lagi tidur terbangun karena suara Juan yang mengigau. Dengan langkah gontai gua menyibak gorden pemisah antara ranjang pasien dan sofa yang tadi gua tiduri.
"Ehmmm... enggak... maaf..." racau Juan dalam tidurnya.
Gua mengusap-usap keningnya yang sudah dibasahi oleh keringat. Gua tersenyum miris melihat bagaimana kondisi Juan sekarang, muka yang dipenuhi lebam, hidung yang dipasang nasal kanula karena tadi asmanya kambuh, dan beberapa lebam lagi yang ada di badannya, terakhir tentu saja mental anak ini. Daritadi gua tidak berhenti berandai-andai, andai gua tahu lebih awal kalau Juan jadi korban bully di sekolah, andai gua bisa lebih awal mengajak Juan untuk tinggal di rumah, dan andai gua dan Juan bisa sedekat saudara pada umumnya.
"Mmmhhh, Je...." Juan membuka matanya. Dia terbangun sepertinya.
"Apa?" tanya gua dengan tangan yang masih terus mengusap dahinya.
"Mau punya kucing."
Eh, apa? Apa gua enggak salah denger. Ini anak mengigau kayaknya. Gua bisa merasakan kalau dahinya panas.
"Tidur dulu." Kini gua menepuk-nepuk dadanya agar Juan bisa kembali tertidur dengan nyenyak karena jujur gua juga butuh tidur sekarang.
"Mau kucing, yah?" Juan menatap gua dengan matanya yang setengah terbuka. Walau hanya setengah terbuka, gua bisa melihat binar di matanya. Apakah Juan sungguhan ingin punya kucing.
"Iya, besok beli," jawabku pada akhirnya. Biarlah aku mengiyakan saja sekarang, toh Juan hanya mengigau. Besok juga sudah lupa. Setelah Juan bisa tertidur gua kembali ke sofa dan memejamkan mata.
---
Ternyata permintaan Juan yang ingin punya kucing itu bukan hanya igauan semata. Buktinya pagi ini saat baru saja bangun tidur, Juan langsung menagih kucing pada gua.
"Seriusan emang?" Gua bertanya entah yang keberapa kali.
Juan mengangguk mantap. "Iya, serius. Gua mau kucing." Juan menatap gua dengan sorot mata yang seolah-olah mengatakan kalau dia serius ingin punya kucing.
Gua menggelengkan kepala sambil memijat pelipis, sungguh kelakuan Juan ini memang tidak terduga, ada-ada saja, dan yang terakhir membuat gua pusing.
"Gua alergi bulu kucing kalau lu enggak tahu."
Ya, gua punya alergi bulu kucing dan alerginya parah. Mata gua bahkan sampai tidak bisa dibuka kalau gua habis memegang kucing. Awalnya gua enggak tahu kalau punya alergi ini, gua lagi main sama kucing punya temen gua, pulangnya mata gua beler, perih, gatel, dan enggak bisa dibuka, gua enggak ngada-ngada tapi gua sampai ke IGD waktu itu. Jadilah gua agak trauma kalau harus berurusan sama kucing.
"Mau kucing," ucap Juan bersisikukuh. Memang Juan ini tidak punya hati, setelah gua bilang kalau gua punya alergi kucing, dia masih bersikeras untuk punya. Adik macam apa lu ini?
"Kenapa enggak anjing aja? Kan, lebih lucu bisa diajak main. Kucing, mah, kerjaannya tidur doang sama makan, enggak asik," bujuk gua. Kalau anjing gua enggak masalah, gua suka anjing, dan gua juga suka kepengen kalau lihat anjingnya Kevin sama Azka.
Juan menggeleng. Ya ampun keras kepala sekali anak satu ini. "Mau kucing titik." Juan membalikkan badannya memunggungi gua. Ngambek anaknya.
Setelah tinggal dengan Juan selama beberapa saat gua emang tahu banget tabiat Juan yang bakalan langsung ngambek kalau ada satu keinginannya yang enggak dipenuhi. Mungkin dulu waktu tinggal sama Kakek dan Nenek dia selalu dapet apa yang dia mau.
Gua memilih membiarkan Juan dan asyik bermain game di ponsel. Biarlah anak satu itu yang sebenarnya mirip kucing juga ngambek sampai puas. Mungkin karena lagi sakit anak ini jadi banyak maunya. Gua melanjutkan rebaha sambil bermain game, hari ini Sabtu, jadi gua libur dan bisa jagain Juan di sini.
Tok tok tok
Pintu kamar Juan diketuk. Gua keluar untuk melihat siapa yang datang. Ternyata jatah sarapan yang datang. Sekarang memang masih pukul 7 pagi. Gua mengambilnya dan mengucapkan terima kasih lalu menghampiri ranjang Juan. Memasang meja portable yang jadi satu dengan kasur. Lalu meletakkan nampan berisi sarapan di situ.
"Heh, makan dulu." Gua menoel-noel bahu Juan yang masih dalam posisi menghadap ke tembok.
Juan melihat sekilas menu sarapan lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak mau."
Udah gua duga Juan bakalan menolak makanan ini. Memang tidak menarik, bubur, sayur capcay, dan juga telur rebus yang dimasak kecap. Gua juga ogah kalau disuruh makan itu semua. Tapi Juan mau enggak mau harus makan.
"Enggak bisa, harus dimakan. Nanti enggak sembuh-sembuh," bujuk gua sambil menekan tombol di kasurnya, mengubah posisi ranjangnya menjadi setengah duduk.
Juan mendesah kesal saat kasurnya menjadi dalam posisi duduk. Dia cemberut sambil melihat ke arah gua dengan tatapan membunuh. Gua bodo amat ditatap begitu enggak takut. Dia lebih keliatan kayak kucing yang marah.
Gua menyendokkan sedikit bubur dan lauknya, lalu mengarahkan ke mulut Juan. Kalau dia enggak mau makan, biar gua yang sumpelin ke mulutnya.
"Aaaa.." pinta gua.
Juan membuang muka dan hampir membuat sendok yang gua pegang terjatuh.
"Ishh, susah banget dibilangin," ucap gua dengan sebal.
"Enggak mau."
"Lima sendok aja," ucap gua sambil membenarkan nasal kanulanya yang bergeser. Juan masih menutup mulutnya dengan rapat walau gua memegang sendok dengan lama di depan mulutnya.
"Pegel tangan gua, Ju," eluh gua.
Pengen rasanya gua buka paksa itu mulut, lalu gua jejelin semua makanannya. Tapi yang ada adek gua nanti malah mati keselek.
"Kuenya aja," ucap Juan sambil melihat sepotong kue bronis yang memang tersedia di sana sebagai dessert.
Gua menghela napas panjang. "Oke, tapi sama pisangnya juga."
"Eng-"
"Ya udah, kuenya juga enggak boleh." Gua meminggirkan kue bronis itu dari hadapan Juan.
"Iya, iya, sama pisangnya," jawab Juan sambil cemberut.
Gua tersenyum senang saat hasilnya menang juga dari sikap Juan yang keras kepala.
"Makan pisangnya dulu sampai abis baru boleh makan bronis." Gua menyodorkan pisang yang sudah gua kupas kulitnya setengah.
Juan mengambilnya dan memakan dengan pelan.
"Lu tahu enggak lu mirip sama siapa?" tanya gua.
"Siapa?" tanya Juan balik.
"Mirip monyet. Kan, lagi makan pisang." Gua tertawa ngakak setelahnya, puas sekali mengatai Juan seperti ini. Tapi kebahagiaan gua tidak berlangsung lama, karena Juan menabok gua dengan kulit pisang.
"Rasain," ucapnya.
Gua sampai lupa kalau adik gua ini jelmaan iblis.
---
Langsung scroll aja, aku double update hehe ><
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...