"Juan!" panggil gua sambil membuka pintu rumah. Gua menenteng sebuah plastik yang berisik dus donat. Dari awal datang ke rumah ini gua perhatiin Juan suka makan makanan yang manis. Gua selalu lihat dia nyimpen beberapa batang cokelat di kulkas, beberapa bungkus es krim di freezer, dan permen di kantung bajunya. Makanya gua tadi mampir dulu ke toko donat. Bisa dibilang salah satu usaha untuk membangun hubungan persaudaraan yang normal. Gua harus mulai dari sekarang sebelum semuanya terlambat.
Gua tidak melihat kehadiran dia di lantai satu rumah. Mungkin dia di kamar, tadi pagi demamnya naik lagi. Tanpa mengetuk pintu, gua masuk ke dalam kamar Juan. Juan sedang tiduran di kasur sambil memainkan ponsel. Di nakas sebelah kasurnya terletak mangkuk berisi bubur yang belum habis. Pasti Bu Asih yang memasaknya tadi.
"Apa?" tanya nyolot seperti biasa. "Kok, enggak ketuk pintu dulu?"
"Gua udah teriak-teriak dari bawah tadi. Karena lu enggak nyaut jadi gua masuk aja. Gimana udah enakan?" tanya gua sambil mengambil termometer digital yang ada di nakas dan memasukkannya ke telinga Juan. 37, 2 derajar. Syukurlah, demamnya sudah tidak ada.
"Udah enggak demam. Ini kenapa buburnya enggak diabisin?" Gua menarik kursi meja belajar dan duduk menghadap Juan di kasur.
"Enggak suka," jawabnya acuh sambil masih terus bermain game di ponselnya.
"Gua bawain donat." Gua meletakkan dus yang berisi beberapa donat di hadapannya. Mendengar kata 'donat', Juan langsung memalingkan tatapannya dari ponsel yang sedaritadi menjadi fokus utamanya. Gua bisa melihat kalau matanya berbinar sambil membuka dus donat. Juan mengambil satu dan langsung memakannya tanpa ragu. Gua yang melihatnya tersenyum bangga. Gua berasa jadi bapak yang abis pulang kerja dan bawa makanan buat anaknya.
"Besok boleh sekolah lagi," tutur gua sambil melangkah keluar kamar Juan.
Saat akan menutup pintu gua mendengar suara pelan Juan.
"Makasih."
Rasanya gua mau loncat-loncat seneng sekarang juga. Gua enggak pernah dengar Juan bilang makasih dengan nada suara yang setulus ini. Karena gua jaga image, gua memilih memasang muka biasa-biasa saja.
"Anytime," jawab gua.
Saat sampai kamar gua langsung meloncat ke kasur kegirangan. Suara Juan mengatakan 'makasih' terus terngiang-ngiang di kuping gua. Jadi gini rasanya punya adik? Kalo tahu begini kenapa enggak dari awal Juan dateng ke rumah ini? Entahlah yang sekarang gua harus lakukan adalah membangun hubungan persaudaraan dengan Juan. Gua akhirnya tertidur saat sedang memikirkan hal apa yang mau gua lakuin selanjutnya sama Juan.
---
PRANG!
Gua bangun karena kaget mendengar suara barang pecah. Apa yang terjadi? Pikiran gua langsung mengarah ke Juan, makanya gua langsung berlari keluar dan menghampiri kamar Juan.
"SIAPA YANG BERI IZIN KAMU UNTUK DATANG KE RUMAH NENEK, HAH?!?"
Suara Papa. Itu suara Papa. Pintu kamar Juan terbuka lebar. Di sana gua melihat Papa yang sedang berdiri murka di hadapan Juan yang terduduk di lantai. Gua melihat pecahan gelas di sudut kamar. Sepertinya itu sumber suara barang pecah tadi. Apa yang terjadi?
"MASIH UNTUNG SAYA MAU NAMPUNG KAMU DI SINI SETELAH APA YANG KAMU PERBUAT!"
Gua sama sekali enggak ngerti Papa bilang apa. Juan menundukkan kepalanya dalam-dalam dan badannya tersentak kaget setiap Papa berteriak. Gua pengen banget peluk Juan saat ini juga. Tapi entah kenapa badan gua malah mundur perlahan dan menjauh dari kamar Juan. Enggak cuman Juan yang ketakutan sekarang, gua juga. Memori-memori lama mulai berdatangan di benak gua. Saat tangan Papa terangkat untuk menampar Juan, gua langsung berlari dan masuk ke kamar. Gua bisa mendengar seberapa keras tamparan itu dilayangkan pada Juan.
Air mata gua entah sejak kapan turun dan membahasi pipi gua. Pengecut. Bisa-bisanya gua diem aja saat Juan butuh gua. Maaf Juan, gua enggak bisa lindungin lu. Gua menenggelamkan kepala di lipatan tangan. Berusaha mengalihkan fokus dari suara marah Papa yang masih terdengar di balik pintu. Gua meremas lengan kanan gua.
Saat suara-suara di luar sana tidak terdengar, gua mulai bernapas dengan teratur. Gua ingin melihat kondisi Juan di kamarnya, tapi sayang gua kalah dengan ketakutan gua. Gua selalu kalah sama ketakutan ini.
Gua menuju ke kamar mandi dan mengusap wajah gua dengan air di wastafel. Setelahnya gua melihat pantulan wajah gua yang pucat di cermin. Gua tertawa miris dan menggulung lengan kemeja seragam yang belum gua ganti dari siang. Terlihat beberapa bekas luka di sana. Luka yang sakitnya sudah tidak terasa lagi di fisik tapi masih membekas di hati. Luka yang selamanya akan selalu ada bersama dengan gua dan enggak akan pernah bisa sembuh.
---
Jakarta, 27 Agustus 2022
Hampir lupa kalau hari ini jadwal update
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...