21. Truth

115 14 1
                                    


Karena tidak sabar mendengar penjelasan dari Juan, gua menyingkap baju pasien yang dia kenakan. Gua bener-bener melongo saat ngeliat badannya penuh dengan lebam. Betul penjelasan dari dokter tadi, luka lebamnya bukan hanya yang baru-baru saja tapi ada juga beberapa yang udah mau sembuh atau pudar.

Gua mengusap muka frustasi. "Sejak kapan?"

"Dari pertama masuk."

Shit. Selama itu dan gua baru tahu sekarang. Kakak macam apa gua ini? Gua sama sekali enggak peka kalau Juan menderita di sekolah. Gua mengingat-ingat lagi mengenai Juan yang beberapa kali meminta untuk pindah sekolah, dengan bodohnya sampai tadi pagi gua masih menganggap kalau Juan ingin pindah sekolah karena kesulitan mengejar kurikulum di sana. Lalu ada kejanggalan-kejanggalan lainnya, seperti Juan minta berangkat pagi karena mau piket sedangkan gua tahu kalau dari dulu tidak pernah dibuat jadwal piket untuk murid NUSA.

Terakhir adalah tadi pagi dimana Juan bersikeras enggak mau masuk sekolah. Jadi, Juan enggak mau sekolah bukan karena takut ada ujian, tapi karena lingkungannya yang bangsat. Sialan, gua jadi emosi begini.

"Kenapa enggak pernah cerita?" tanya gua dengan suara bergetar berusaha menahan semua emosi yang bergerumul di dada.

"Gua udah sering minta pindah sekolah." Juan membuang muka dari gua.

"Lu cuman bilang mau pindah sekolah doang tapi enggak pernah bilang alesannya. Gua mana tahu kalau lu di-bully, Ju..."

"Gua bukannya enggak bilang, gua udah bilang ke guru tapi mereka sendiri yang bilang kalau semua itu berasal dari kelakukan gua juga." Setetes air mata meluncur dari mata Juan.

Bangsat emang guru-guru. Guru mana yang berani bilang gitu ke murid yang ngadu kalau dia di-bully. Kenapa jadi korbannya yang disalahkan. Gua udah bener-bener enggak paham lagi. Gua harus bilang ke Papa perihal ini.

"Istirahat aja. Gua diskusiin ini ke Papa nanti." Gua mengelus kepala Juan menyuruhnya tidur lagi. Kondisinya belum baik.

Gua keluar dari ruang rawat Juan untuk menelepon Papa tapi ternyata sosoknya muncul dari ujung koridor. Kebetulan sekali.

"Mana Juan?" tanya Papa setelah sampai di hadapan gua. "Tadi Papa habis dari sekolah kamu. Katanya adik kamu berantem sama anak-anak kelasnya."

Wow, si beruang besar tampak emosi sekali. Apa yang terjadi di sekolah tadi.

"Juan lagi istirahat, Pa. Ngomong sama Je aja dulu di sini."

Gua menarik (lebih tepatnya menggeret) badan Papa untuk duduk di kursi yang disediakan di setiap lorong.

"Adik kamu itu betul-betul banyak banget bikin perkara. Baru masuk aja udah berantem, mau jadi apa dia?"

Sudah kuduga Papa hanya akan melihat dari satu sisi saja tanpa mau mendengar penjelasan dulu. Persis seperti apa yang selalu Papa lakukan pada gua dulu.

"Juan cuman bela diri, Pa." Papa tampak mau berbicara lagi sebelum aku memotongnya. "Papa bayangin aja kalau memang Juan yang ngajak berantem, enggak mungkin Juan yang dapet luka paling parah. Udah gitu kenapa yang lain malah cuman luka biasa-biasa aja? Juan itu atlet taekwondo, Pa, kalau Juan mau pukul sampai babak belur juga bisa. Tapi masalahnya lawan Juan enggak cuman satu. Sampai 5 orang kalau Je enggak salah, ini namanya apa kalau bukan dikeroyok?"

"Kalau emang begitu atas dasar alasan apa mereka berantem?"

Nice, untungnya Papa bisa diajak diskusi sekarang.

"Juan di-bully, Pa. Sejak awal Juan masuk ke NUSA. Juan emang enggak pernah cerita mungkin dia diancem atau gimana Je enggak paham, Juan belum cerita lebih lanjut. Buktinya Papa bisa lihat sendiri gimana badan Juan, banyak lebam-lebam di tempat yang enggak terlihat. Terakhir, Juan sering banget minta pindah sekolah. Apalagi kalau bukan karena dia di-bully?"

Papa tampak terdiam untuk mencerna semua apa yang gua jelaskan. Semoga Papa bisa paham. Walaupun Papa memang bukanlah sosok yang sempurna, tapi gua yakin dia tetep sayang sama anak-anaknya. Kalau enggak, enggak mungkin Juan bisa tinggal sama kami lagi di saat Neneknya pun menolak.

"Nanti Papa coba omongin lagi sama pihak sekolah."

Begitulah keputusan Papa pada akhirnya. Yang harus gua lakukan sekarang adalah membuat Juan menceritakan semuanya agar prosesnya juga bisa berjalan dengan baik.

Jadilah sekarang gua, Papa, dan Juan sedang berbicara dengan serius malamnya.

"Ceritain semuanya," ucap Papa dengan tegas pada Juan yang terduduk di ranjang pesakitan.

Tangan Juan meremat selimut dengan kencang. Gua tahu ini bukanlah hal yang mudah bagi dia, pasti ada trauma yang dia rasakan. Melihatnya membuat gua meraih tangan Juan satunya dan menggenggamnya, berusaha menyalurkan kekuatan.

"Juan enggak tahu. Hari pertama Juan sekolah mereka juga udah enggak suka sama Juan. Awalnya cuman Rizki yang enggak suka sama Juan karena gara-gara Juan dia jadi jarang dipuji sama Pak Khairus pelatih taekwondo Juan. Terus enggak tahu kenapa geng Rizki jadi musuhin Juan semua..." Juan menarik napas untuk menenangkan dirinya.

Gua bisa melihat kalau Juan sampai gemetar untuk bercerita perihal ini. Lihat aja lu Rizki, abis lu kalo ketemu gua.

"Kamu diapain aja sama mereka?' tanya Papa.

"Juan disuruh bawain sama beresin barang mereka, kerjain tugas mereka terus kalau salah dimarahin, masih banyak lagi."

Kasihan banget adek gua. Baru pindah malah di-bully, beda banget sama Azka yang baru pindah malah dipuja-puja cewek satu kelas. Padahal imutan adek gua kemana-mana.

"Juan juga tadi bilang udah sempet bilang ke guru tapi guru malah nyalahin Juan balik," tambah gua.

"Semuanya dilakuin di lingkungan sekolah?" Juan mengangguk sebagai jawaban. "Oke, biar Papa yang urus semuanya nanti. Sementara kamu enggak usah masuk sekolah dulu sampai semuanya selesai."

Papa hendak pergi tapi lengannya ditahan Juan. "Juan enggak mau sekolah di situ lagi," cicitnya.

"Kita lihat nanti." Papa mengelus rambut Juan sejenak lalu berlalu.

Setelah kepergian Papa, aku mengusap-usap punggung Juan yang terlihat tertekan setelah menceritakan semuanya.

"Tidur lagi aja," ucapku sambil menurunkan tempat tidur Juan ke semula.

Juan memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Saat gua ingin meninggalkan Juan sebentar, tangan gua ditahan oleh Juan.

"Jangan pergi. Temenin gua. Enggak mau sendiri."

Sedih juga gua dengernya. Jadilah gua duduk lagi di kursi samping tempat tidurnya yang tadi diduduki Papa. Melihat wajah Juan yang tertidur membuatku semakin merasa bersalah. Entah kenapa Juan terlihat lebih banyak menanggung beban dibanding membaginya ke gua. Padahal gua sudah bilang ke gua untuk selalu menceritakan apapun masalahnya ke gua. Gua harus gimana Ju, biar lu mau bagi beban lu sedikit ke gua?


--- 


Jakarta, 17  Oktober 2022

(2) Jemari Je (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang