Setelah pembicaraan gua dengan Juan di restoran tempo hari, Juan menjadi lebih terbuka kepada gua. Seperti misalnya menanyakan pelajaran yang tidak dimengertinya.
"Ajarin ini," Juan memberikan buku cetak matematikanya kepada gua yang sedang rebahan di sofa ruang tengah sambil memainkan play station. Gua mem-pause game yang sedang berlangsung dan mengubah posisi menjadi duduk.
"Yang ini?" tanya gua sambil menunjuk bab materi di buku cetak. Juan menjawab dengan anggukan kepala. Materi yang ditanyakan Juan yaitu mengenai FPB dan KPK dalam bentuk aljabar.
Gua ikut duduk di karpet sebelah Juan. Juan sudah membuka buku tulisnya dan menggenggam pensil, menunggu gua menjelaskan. Gemes, hahaha, gua kayak guru les privat. Gua pun segera menjelaskannya pada Juan.
"Jelas, enggak?" tanya gua setelah selesai menjelaskan materi dengan bahasa gua. Gua agak sedikit lupa dengan materi ini karena sudah 3 tahun yang lalu.
Juan tampak pusing dan frustasi. "Enggak. Boleh diulang?"
Kalau yang gua perhatikan, Juan sepertinya kesulitan mengikuti pelajaran akdemik di sekolah. Dia lebih cenderung pada pelajaran yang berkaitan dengan aktifitas. Kasihan, pasti dia kesulitan menyesuaikan diri dengan pelajaran yang ada di NUSA. NUSA terkenal dengan kurikulum dan pelajarannya yang sulit. Untuk bisa masuk ke sekolah NUSA saja perlu menghadapi tes yang ketat. Tebakan gua Juan bisa lulus karena nilai olahraganya bagus. Secara dia sebelumnya sudah aktif di taekwondo.
"Oke, gua ulang, yah. Dengerin yang bener."
"Daritadi juga udah dengerin tapi masih enggak ngerti," katanya sambil menenggelamkan kepala di lipatan tangannya.
"Sekolah di NUSA susah?" tanya gua.
Juan berpikir sebentar lalu mengangguk. "Beda sama SMP Juan sebelumnya. Di sini temen sekelas pada cepet banget pahamnya. Gua mau nanya ke guru jadi malu," akunya. Benar apa dugaan gua, Juan enggak bisa mengimbangi speed belajar dengan teman sekelasnya.
"Mau ikut les?" tawar gua. Kalau di sekolah masih belum cukup, ada baiknya Juan mengambil kelas tambahan di tempat les.
"Dimana?" tanyanya.
"Temen gua ada yang ikut les privat. Nanti gua tanya sama dia." Gua teringat dengan Kevin yang sedari masih SMP di NUSA sudah mengambil les seusai pulang sekolah. Kalau gua denger dari Kevin, sih, tempat lesnya bagus. Di sana bisa pilih kelas individu juga, jadi bisa lebih maksimal hasil belajarnya.
"Kalau pindah sekolah boleh?" Gua kaget saat mendengar pertanyaan Juan.
"Kenapa? Bukannya di NUSA udah bagus semuanya?"
"Iya, klub taekwondo-nya memang bagus dan sering bawa pulang piala juga. Tapi susah belajarnya." Juan mengacak rambutnya frustasi.
Gua berpikir sebentar. Apa perlu gua bicarain ini ke Papa. Tapi sepertinya ini bukan pilihan yang tepat. Papa enggak akan suka kalau anaknya mengeluhkan sekolah yang sulit. Karena gua pernah merasakannya saat mengeluh pada Papa kalau tidak bisa mengimbangi pelajaran yang ada di NUSA. Gua selalu berusaha belajar dengan keras setiap ada ujian.
"Coba ambil les dulu aja, yah. Papa pasti susah buat diyakinin. Atau lu ada temen buat dijadiin temen belajar?"
Juan menggeleng. "Engga ada. Mereka semua lebih suka belajar sendiri-sendiri. Pas gua tanya malah dikacangin," ucapnya dengan raut wajah sebal."
Gua menyetujuinya. Begitulah keadaan sekolah di NUSA, karena persaingan nilainya yang ketat, sulit untuk mendapat teman untuk belajar dan juga bersosialisai. Semuanya selalu terlihat sebagai persaingan di sekolah. Makanya gua bersyukur banget bisa berteman dengan Kevin dan juga Azka.
"Besok gua kasih tahu tempat lesnya. Kalau lu tertarik kita daftar."
---
"Vin, nama tempat les lu apa?" tanya gua keesokan harinya saat sudah sampai di kelas. Kevin yang terlihat sedang me-review materi hari ini berhenti sejenak.
"Kesambet apaan lu mau daftar les?" Kevin menatap gua dengan tatapan heran. Yah, tidak ada yang tahu saja kalau gua di belakang sebenarnya cukup sering belajar. Cuman karena di sekolah gua berusaha membangun kesan bad boy tapi pintar, maka gua tidak pernah belajar di hadapan banyak orang.
"Bukan buat gua elah, buat Juan. Dia kesulitan ngikutin speed belajar di sini."
Kevin ber-oh ria. "Di Kamon. Lokasinya ada di deket sini, kok. Nih, gua kirimin alamatnya." Kevin membuka ponselnya dan mengetikkan alamat dan mengirimkan padaku.
"Mau juga." Tiba-tiba Azka muncul entah darimana.
"Lu mau les juga?" tanya gua.
Azka menaruh tasnya di meja. "Iya, kayaknya seru."
Muncul lagi satu manusia aneh. Apa yang seru dari ikut les.
"Lu mau belajar apa seru-seruan di tempat les?"
"Dua-duanya. Kemarin aku abis konsultasi ke psikiater, katanya harus perbanyak aktifitas biar pikiran selalu positif."
Gua hampir lupa kalau temen gua yang satu ini sedang berjuang melawan penyakit mentalnya.
"Gua kira lu udah enggak konsultasi lagi." Kevin menyuarakan isi hati gua.
"Masih, dong. Penyakit mental begini mana ada yang bisa sembuh secara sat set sat set, sih?"
Diam-diam gua membenarkan ucapan Azka. Gua pun sampai sekarang masih terkena serangan panik, walau tidak separah Azka. Untungnya gua tidak sampai butuh bantuan dari profesional dalam jangka panjang.
---
Gua masuk ke dalam mobil jemputan diikuti dengan Juan.
"Gua udah dapet alamat tempat lesnya. Gua juga udah baca-baca program apa aja yang ditawarin. Mau ke sana sekarang?" tanya gua pada Juan.
Juan terdiam sejenak. "Boleh enggak kalau aku beneran pindah aja?"
Lagi-lagi pertanyaan ini. Sebenarnya kenapa, sih? Apa ada suatu hal yang terjadi di kelasnya tanpa sepengetahuan gua?
"Itu lagi, kenapa, sih?" Gua berusaha memancing Juan untuk bicara.
Juan tampak ingin membicarakan sesuatu tapi akhirnya memilih menelannya. "Kan, udah bilang, gua kesusahan belajar di sini." Hmmm, sepertinya ada yang disembunyikan.
"Seenggaknya kita coba di tempat les dulu. Kalau abis itu enggak ada perubahan baru kita cari sekolah lain," putus gua pada akhirnya.
---
Gua mendaftarnya Juan untuk mengikuti les di beberapa mata pelajaran yang dia bilang sulit untuk dipahami seperti matematika, bahasa Jerman, dan IPA. Sisanya Juan bilang dia masih bisa belajar sendiri. Juan memilih kelas privat yang hanya one by one dengan guru privat. Katanya dia tidak suka jika harus belajar bersama-sama.
"Yuk, pulang. Jadwalnya nanti dikirim lewat whatsapp. Katanya mau disesuain dulu sama jadwal lu dan juga guru privatnya."
Juan yang sedang memainkan ponselnya langsung berdiri. Saat akan memasukkan ponselnya ke dalam saku, ponselnya terjatuh dan menggelinding hingga ke bawah kaki gua. Gua mengambilnya, gua sempat membaca sekilas pesan-pesan masuk yang muncul di layar. Ada satu yang terbaca, gua enggak yakin ini bener apa enggak, tapi kayaknya yang gua baca itu "Juan. Mati aja, lo."
"Makasih." Dengan buru-buru Juan merebut ponselnya dari gua dan kali ini memasukkanya ke dalam tas.
Gua memilih tidak ambil pusing, paling sedang bercanda dengan temannya.
---
Halo, guys. Kita ketemu lagi. Aku mau kasih info, kalau enggak sibuk, hari kamis aku bakalan up lagi. Hehe. Jangan ditunggu tapi, yah. Terima kasih sudah menemani Je dan Juan.
Jakarta, 5 September 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...