7. Bukan Kakak yang Baik

159 13 1
                                    


"Maksud Nenek?" tanya gua terkejut saat Nenek berkata demikian pada Juan.

"Yuk, masuk. Kamu belum pernah ke rumah Nenek, kan? Papa kamu itu kerja mulu sampe lupa masih punya orangtua," Nenek mengalihkan topik seperti tidak terjadi apa-apa. Gua yang mau bertanya lebih lanjut tidak memiliki kesempatan untuk menyela.

Akhirnya gua masuk ke dalam rumah diikuti Juan di belakang. Nenek sibuk berbicara panjang lebar mengenai banyak hal. Sesekali gua melihat ke arah Juan yang kehadirannya seolah tidak terasa bagi Nenek. Juan hanya diam dengan ekspresi yang tidak bisa terbaca. Sungguh apa yang sebenarnya terjadi. Karena larut dengan obrolah Nenek, dengan bodohnya gua jadi ikut melupakan Juan. Saat tersadar, gua sudah tidak melihat Juan yang tadi duduk di sofa samping gua.

"Eh, Juan kemana? Nenek liat enggak?" tanya gua yang memotong pembicaraan Nenek. Nenek melihat gua dengan tatapan tidak enak.

"Ngapain kamu ngurusin dia? Jadi tinggal sama kamu itu anak?" tanya Nenek. Apa? Jadi, Nenek tidak tahu? Gua pikir alasan Juan tinggal di rumah karena disuruh Nenek. Gua kira itu karena Kakek dan Nenek yang sudah terlalu tua dan ingin hidup dengan tenang di desa. Omong-omong kemana Kakek?

"Kakek mana, Nek?" tanya gua sambil melihat ke sekeliling rumah yang tampak sangat sepi seperti tidak ada kehadiran manusia lain.

Wajah Nenek kini terlihat sedih. "Kakek..." ucapan Nenek terpotong. Nenek terlihat melihat lukisan Kakek yang ada di dinding.

"Kamu tanya aja sama Juan nanti. Dia yang udah bawa pergi Kakek," jelas Nenek pada akhirnya.

Gua semakin bingung. Sebenarnya apa yang terjadi tanpa sepengetahuan gua? Banyak sekali hal yang gua enggak ketahui, atau sebenarnya sengaja disembunyikan dari gua? Benar-benar membingungkan, gua mencoba memancing pembicaraan terkait Juan pada Nenek, tapi Nenek malah mengabaikannya dan mengganti ke topik lain dengan cepat seolah-olah gua tidak mengatakan hal apapun tentang Juan.

Waktu berlalu cepat dan hari sudah siang. Gua harus pulang karena besok harus sekolah. Dan Juan, kemana bocah itu?

"Nek, Je enggak bisa lama. Besok masih harus sekolah. Kalo pulang lebih sore lagi nanti tambah macet. Je dateng ke sini sebenernya karena Juan yang minta. Lain kali Je datang lagi, yah," pamit gua.

Nenek terlihat sedih, "Cepet banget, yah. Lain kali kamu ke sini kapanpun enggak papa, Nenek tunggu. Hati-hati di jalan." Walau begitu Nenek mencoba mengerti dan mengantar gua sampai ke pintu depan.

Di depan gua melihat Mang Iip yang sudah ada di balik kemudi. Kemana Juan? Setelah menyalimi Nenek, gua masuk ke dalam mobil.

"Mang, kita cari Ju..." Itu dia, Juan ternyata ada di dalam mobil. Dia terlihat tidur sambil meringkuk di balik selimut yang tadi gua bawa.

"Mas Je, Mas Juan-nya kenapa enggak ikut ke dalem tadi? Tau-tau nyamperin saya di warung minta dibukain mobil, katanya mau tidur di mobil aja. Pas ditanya cuma diem aja Mas Juan-nya," jelas Mang Iip panjang lebar sambil menjalankan mobil untuk pulang.

"Tadi Juan enggak enak badan. Makanya Juan minta cepet-cepet pulang, jadinya dia ke mobil duluan," bohong gua. Well, masalah ini sudah masuk ke ranah keluarga, jadi gua enggak mau orang luar tau dulu. Lebih baik gua tanyain dulu ke Juan.

Untungnya Mang Iip yang seolah paham bahwa terjadi sesuatu hanya mengangguk paham dan tidak mau ikut campur. Gua melihat ke arah Juan yang sedang meringkuk di belakang. Entah kenapa melihat sosoknya yang terlihat kecil itu, gua merasa pengen banget meluk badannya dan bilang kalau masih ada gua di dunia ini. Cerita ke gua apapun masalahnya, gua siap bantu dalam bentuk apapun. Bukankah begitu peran seorang Kakak?

---

Kami sampai di rumah pukul 10 malam. Jalanan benar-benar macet tadi, bahkan saat kami beristirahat di rest area saja sulit mendapatkan tempat parkir saking penuhnya. Belum lagi restoran di sana yang semuanya penuh. Akhirnya kami memilih makan di mobil. Bahkan demam Juan naik lagi, dia hanya memakan roti beberapa gigit dan tidur sepanjang perjalanan setelah minum obat. Gua kasihan melihatnya. Karena itu hari ini gua berangkat sekolah sendiri. Biarlah Juan istirahat lagi.

Saat di sekolah, gua mendudukkan diri di samping Kevin dengan wajah lesu. Kevin yang entah sedang mengerjakan apa menghentikan kegiatannya.

"Kenapa lu? Akhir-akhir ini gua lihat beban hidup lu makin bertambah aja?" tanyanya.

Gua mengacak-acak rambut sebentar lalu melemaskan otot leher. Semalam gua benar-benar enggak bisa tidur nyenyak, Juan enggak berhenti mengigau dan demamnya belum juga turun sampai pagi tadi.

Gua menatap Kevin. "Lu, kan, punya adek, Vin. Gimana caranya merawat adik dengan baik, sih?" tanya gua. Kevin memang punya adik, adik laki-laki juga sama seperti gua, tapi bedanya kalau tidak salah umurnya hanya satu tahun di bawah Kevin.

"Ngapain dirawat? Biar emak bapak gua, lah yang rawat. Itu bukan tanggung jawab gua," jawabnya sambil menoel-noel bahu Azka yang duduk di depan kami.

"Masalahnya lu tau sendiri gimana keluarga gua. Nyokap gua udah lama pergi, Bokap gua kerja kagak balik-balik. Hidup gua udah baik-baik aja tadinya, eh muncul satu tuyul, nih," sambat gua.

"Emang adik kamu kenapa, Je?" kali ini Azka yang bertanya.

"Gua juga enggak tahu, Ka. Gua baru banget ketemu dia setelah sekian tahun. Gua terakhir liat dia waktu dia masih bayi merah. Gua ngerasa kalau gua enggak tahu apa-apa tentang dia?" gua makin pusing setelah sambat.

"Bangun komunikasi dong. Lu sebagai yang lebih tua dari dia harusnya bisa approach duluan."

"Masalahnya enggak semudah itu, Pin. Dia kaya punya tembok yang enggak bisa gua tembus gitu, loh. Belum lagi kayanya keluarga gua nutupin banyak hal tentang Juan dari gua," kata gua sambil menyobek-nyobek kertas di buku catatan gua.

"Ehmmm. Dulu waktu aku baru dateng ke rumah Papa juga rasanya susah Je."

Oh iya, kalau dipikir-pikir, situasi Juan sekarang sama kaya Azka beberapa bulan lalu. Azka juga secara tiba-tiba datang ke rumah Papanya. Papa sama Abangnya juga enggak tahu apa-apa tentang Azka. Lalu muncul banyak drama sampe puncaknya Ibu dia ternyata melakukan jual beli organ secara ilegal (Baca Aksara Azkara di work-ku).

"Nah, nih adek lu posisinya mirip sama Azka," cetus Kevin.

"Jadi gua harus gimana, Ka?" tanya gua sudah frustasi.

"Jujur aku dulu sempet ngebangun tembok yang tinggi ke Papa sama Bang Mahen. Tapi walau gitu sebenarnya aku nyoba sekuat tenaga untuk bisa menerima mereka, menceritakan semua apa masalahku, jujur dengan perasaanku. Rasanya susah banget, Je. Apalagi kaya Juan yang sama sekali enggak pernah ketemu sama kamu selain pas dia masih bayi. Mungkin kata-kata enggak bisa berfungsi di sini, yang adik kamu butuhin itu action. Kamu bisa mulai dari hal-hal kecil kaya selalu ada buat dia. Dulu Bang Mahen sering ngajak aku jalan-jalan waktu kami masih canggung," jelas Azka panjang lebar.

Betul juga, walau sudah tinggal serumah gua enggak pernah memperhatikan Juan. Gua lebih milih ke nyerah karena Juannya sendiri susah banget buat dideketin. Padahal seharusnya gua enggak boleh nyerah, justru gua harus buat Juan terbiasa dengan segala bentuk afeksi yang gua berikan.

"Thank you, Ka sarannya. Gua bakal coba nanti."

"Nah, kalo gitu mending kita lanjut bahas jadinya mau jual apa buat tugas kewirausahaan nanti."

Kevin, bisa enggak, sih sehari aja enggak mikirin tugas. Kepala gua udah cukup pusing sama Juan.

---

Jakarta, 22 Agustus 2022

Semoga aku cepet dapet panggilan kerja

(2) Jemari Je (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang