Saat sampai rumah gua langsung buru-buru mencari Juan. Gua udah enggak bisa lagi nahan semua ini sendirian. Gua harus tahu gimana kebenarannya. Juan ternyata lagi ada di kamarnya. Seperti biasa dia lagi belajar.
"Ju," panggil gua sambil langsung nyelonong masuk dan duduk di ranjangnya yang bersebelahan dengan meja belajar.
"Kalau mau gangguin doang mending keluar aja. Gua lagi belajar," ucap Juan acuh dengan pandangan yang masih fokus ke buku pelajaran.
Gua menimang-nimang sekali lagi apakah gua harus bertanya pada Juan sekarang atau tidak. Gua enggak mau buat dia enggak nyaman soal ini. Tapi gua enggak punya pilihan lain selain menanyakan kebenaran ini sekarang atau enggak ada nanti-nanti lagi.
"Ju, kemarin gua ke rumah Nenek." Juan tidak memberikan reaksi apapun dan masih sibuk menulis di bukunya. "Terus Nenek cerita tentang Kakek."
Berhasil. Juan langsung terdiam membuka. Dia menoleh ke arah gua dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lu percaya?" tanya Juan pelan sambil mengalihkan pandangannya dari gua.
"Percaya perihal Kakek yang meninggal gara-gara lu?"
Juan menoleh pada gua dengan cepat. Tangannya meremas pulpen yang sedang dipegangnya sedari tadi.
"Lu percaya?" tanyanya ulang.
"Iya..." Juan terlihat menunduk dalam. "Kecuali kalau lu mau ceritain gimana kronologisnya sama gua. Gua enggak bisa cuman percaya dari satu pihak doang."
Juan menggigit bibirnya gelisah. Badannya kini sudah tidak bisa diam dan terus bergerak seperti akan kabur dari situasi ini. Maafin gua, Ju, gua harus denger semuanya dari lu sekarang juga. Sebelum gua hilang kepercayaan sama lu.
"Aku enggak bunuh Kakek," cicitnya. "Aku enggak sengaja."
Gua masih terdiam menunggu penjelasan Juan dengan sabar. Biarlah Juan menceritakannya secara perlahan tanpa ada paksaan. Walau sebenarnya gua sekarang memaksa Juan untuk bercerita.
"Waktu itu gua lagi main sama Kakek ke kebun teh punya Kakek. Waktu itu emang habis hujan, tanahnya lembek dan juga licin. Kakek jalan di depan gua dan gua ngikutin dari belakangnya. Gua berani sumpah waktu lagi jalan di turunan gua udah hati-hati banget, tapi tetep aja gua waktu itu kepleset dan akhirnya ngedorong Kakek karena refleks. Kakek jatuh berguling sampai bawah. Di situ lagi enggak ada pekerja karena masih terlalu pagi. Gua bukannya diem aja, gua berusaha untuk nyelametin Kakek, tapi dada Kakek kebentur batu keras banget. Sampai akhirnya Kakek gagal jantung di situ."
Akhirnya gua bisa mendengar cerita versi Juan. Cerita versi Nenek sangat berbanding terbalik dengan cerita Juan. Nenek bilang Juan dengan sengaja mendorong Kakek karena semalamnya mereka berdua berdebat perihal Juan yang bersikeras untuk pulang ke rumah Papa dan mulai tinggal bersama gua dan juga Papa. Kakek menolak keras tapi di sini gua enggak tahu apa alasan Kakek menolaknya. Belum lagi Nenek bilang ada saksi mata yang ngelihat kalau Juan emang ngedorong Kakek dan diem aja waktu Kakek guling ke bawah dari kebun teh yang biasa dibangun di dataran tinggi berundak.
"Oke. Nenek kemarin juga bilang ke gua kalau di situ ada saksi mata yang ngelihat kalau lu sengaja dorong Kakek. Bahkan lu diem aja waktu Kakek jatuh."
"Enggak. Itu bohong," bantah Juan dengan cepat. "Nenek memang suka berhalusinasi dan udah mudah lupa tentang banyak hal. Bahkan Nenek sering lupa kalau Kakek adalah suami Nenek. Ada rekam medisnya kalau lu enggak percaya. Gua lupa apa nama penyakitnya. Yang terpenting semua yang diucapin Nenek itu enggak bener. Walau Nenek jadi seperti sekarang juga gara-gara Kakek yang meninggal."
"Jadi lu bilang penyakit Nenek makin parah semenjak Kakek meninggal?" tanya gua memastikan.
"Iya. Lu percaya sama gua, kan?" Juan kini menatap gua dengan mata yang berkaca-kaca. "Please, percaya sama gua. Selama ini enggak mau ada yang percaya sama cerita gua ini. Bahkan Papa sendiri."
Gua menatap mata Juan jauh ke dalam dirinya. Gua bisa melihat kalau tidak ada kebohongan di sana. Entah kenapa keraguan gua dari kemarin hilang begitu saja. Gua merasa kalau hati gua mengatakan untuk mempercayai Juan. Lagipula tidak mungkin juga Juan mencelakai Kakek. Dia anak baik, gua tahu itu.
"Gua percaya sama lu," ucap gua pada akhirnya.
Juan menundukkan kepalanya seperti ingin menangis. "Makasih," jawabnya dengan bergetar.
Gua mengusap puncak kepalanya sebentar. "Nanti gua yang cerita ke Papa kalau lu bukan pembunuh Kakek. Gua juga akan nyuruh Papa buat bawa Nenek berobat."
"Makasih lagi."
Gua ingin membangun hubungan persaudaraan yang kuat dengan Juan. Semuanya harus dimulai dari rasa saling mempercayai.
---
Setelah berbicara dengan Juan gua memilih untuk mandi dan beristirahat sebentar. Sekitar pukul 7 malam gua keluar untuk sarapan. Kebetulan beberapa menit lalu gua juga mendengar mobil Papa yang memasuki rumah. Gua bisa langsung mengatakan hal ini pada Papa dan meluruskan semua kesalahpahaman ini. Akhirnya semua ini akan selesai juga.
"Ju, makan mal-" ucapan gua terpotong saat menyaksikan apa yang ada di depan mata gua ini. Tubuh gua terpaku dan tidak bisa bergerak. Kaki gua bahkan melemas melihatnya. Di depan sana gua melihat Papa yang sedang mencekik Juan. Wajah Juan bahkan sudah sedikit membiru dan tenaganya sudah mulai hilang.
"PAPA NGAPAIN!" teriak gua sambil berusaha melepaskan cekikan Papa yang sangat kuat itu.
"Anak pembawa sial. Mati saja kamu. Dari awal kamu memang enggak pantas hidup. Setelah istri saya, kamu ambil juga ayah saya. Mati kamu, MATI!" racau Papa tidak jekas.
Demi Tuhan, gua sudah melakukan apapun untuk melepaskan tangan Papa dari leher Juan. Tapi entah kerasukan setan apa, tenaga Papa sangat kuat. Di bawah sana Juan sudah mulai kehilangan kesadarannya.
"PAPA! STOP, PA! JUAN ANAK PAPA! PA!"
Di saat gua sudah putus asa dan tenaga gua juga sudah mulai habis karena shock, seseorang datang dan memukul Papa dengan kencang hingga cekikan Papa pada Juan terlepas.
---
Hahaha, kalian pikir semuanya sudah selesai? Tentu saja belum
Jakarta, 11 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...