Setelah seminggu Juan dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini ia diperbolehkan pulang juga. Dari pagi lesung pipitnya terus menghiasi pipi gembil si pemilik. Syukurlah kalau Juan memang sudah baik-baik saja. Kekhawatiran dokter untungnya hanya menjadi dugaan belaka karena nyatanya Juan tidak mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Hasil konsultasi Juan dengan psikiater bagus. Gua dan Om Bara hanya diberi pesan untuk selalu mengawasi Juan dan memberikan wadah atas hobinya. Juan adalah tipe yang tidak bisa diam dan membutuhkan kegiatan aktif dalam sehari-harinya. Jadi mungkin Juan akan benar-benar dimasukkan ke dalam klub taekwondo agar dia tidak mudah bosan.
Selain itu ada satu pesan dari psikiater Juan yang menganjurkan Juan untuk sementara sekolah dengan cara home schooling karena dampak dari perundungan yang dialami Juan sedikit membuat ketakutan Juan untuk bersekolah. Kalau yang ini tidak masalah karena Juan memang sudah sedang menjalani home schooling, mungkin nanti saat SMA, gua akan bertanya lagi terkait keputusannya.
"Nanti pulangnya ke rumah kita, kan?" tanya Juan sambil memakai sepatunya.
"Iya, nanti ke rumah kita. Om Bara yang pindah ke sana. Kasihan Bu Asih sama Mang Iip kalau rumahnya kosong."
Ini juga merupakan pertimbangan yang gua buat kemarin bersama Om Bara. Gua tadinya meminta Om Bara untuk tetep tinggal di rumahnya sendiri karena tidak mau merepotkan, tapi Om Bara menolak dan bersikukuh ingin tinggal bersama kami. Jadilah Om Bara mengalah dan memilih pindah ke rumah kami.
"Udah beres-beresnya?" tanya Om Bara yang baru masuk ke ruang rawat Juan.
"Udah, Om," jawabku sambil memanggul tas yang berisi barang-barang milik Juan.
Kami bertiga berjalan bersisian sampai ke mobil milik Om Bara. Aku duduk di samping Om Bara sementara Juan di belakang. Jok belakang juga sudah ditaruh bantal dan selimut untuk Juan, barangkali dia masih tidak enak badan.
"Oke, berangkat," seru Om Bara sambil menginjak pedal gas. Om Bara ini berbanding terbalik sekali dengan Papa. Beliau adalah sosok yang talk active dan ramah, kami jadi tidak pernah merasa sepi karena ocehannya yang tiada henti.
"Je, gua mau itu," ucap Juan sambil menepuk-nepuk bahuku saat mobil kami sedang berhenti di lampu merah. Aku mengikuti arah tunjuk Juan yang ternyata mengarah ke kedai boba. Dasar anak ini. Memang lehernya sudah tidak sakit lagi?
"Yang itu enggak boleh." Ini bukan gua yang jawab, tapi Om Bara. Hahaha, rasain, ditolak langsung sama Om Bara. Juan yang ditolak permintannya langsung cemberut di belakang. Dasar bocil.
"Kita mau mampir dulu ke suatu tempat. Jauh. Juan tidur aja kalau ngantuk," tutur Om Bara.
Juan yang di jok belakang memajukan badannya untuk lebih dekat ke depan. "Mau kemana?"
"Lihat aja nanti," tambah gua. Yah, tujuan kita kali ini memang sudah diketahui oleh gua. Lebih tepatnya sudah jauh-jauh hari disusun oleh gua dan Om Bara dengan susah payah.
---
Mobil yang kami naiki kini sudah sampai ke jalanan yang hanya diisi dengan pemandangan pegunungan, tanaman, dan juga sawah. Gua sengaja membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Sudah lama gua enggak bisa menikmati ini semua dengan hati tenang.
"Kita ngapain ke sini?" Juan sepertinya sudah sadar akan tujuan kita. Tentu saja, tempat ini lebih familiar bagi dia dibandingkan siapapun. Gua dan Om Bara memilih tidak menjawab pertanyaan Juan sampai akhirnya kami sampai ke tujuan. Rumah nenek.
Gua dan Om Bara langsung turun setelah memarkirkan mobil di tepi tembok batu rumah Nenek. Rumah Nenek berada menanjak di atas sana, akan sulit jika memarkirkan mobil di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...