Setelah mengantar Juan mendaftar les, kami pulang ke rumah. Sampai depan rumah gua melihat kalau mobil Papa terparkir di garasi. Entah kenapa rasanya saat Juan tinggal di sini, intensitaf Papa pulang menjadi lebih sering. Gua melihat Juan yang ragu untuk turun.
Gua menggenggam tangan Juan yang sudah terasa dingin dan berkeringat. "Jalan di belakang gua. Apapun yang terjadi gua enggak bakalan ninggalin lu sendiri."
Juan tampak ragu sejenak. Beberapa saat kemudian setelah melalukan pergelutan di batinnya, Juan akhirnya membalas genggaman tangan gua.
Gua membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke dalam. Beruntungnya Papa tidak terlihat di ruang tamu atau juga ruang keluarganya. Sepertinya Papa ada di kamarnya. Gua dan Juan bernapas lega karenanya.
"Aman. Lu masuk aja ke dalem kamar. Gua juga mau masuk."
Juan mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya. Setelah Juan hilang di balik pintu kamar, gua baru masuk ke kamar gua. Gua melempar tas gua ke meja belajar lalu bergegas mandi.
BRAK
Gua terlonjak kaget mendengar suara tersebut saat baru selesai mandi.
"KAMU INI EMANG KERJANYA NYUSAHIN DOANG! SEENGGAKNYA SEKOLAH YANG BENAR! BELAJAR YANG RAJIN!"
Sudah pasti suara itu berasal dari Papa yang sedang memarahi Juan. Gua buru-buru memakai baju lalu berlari ke arah Juan. Kali ini gua harus berani. Demi Juan.
"Pa!" Tepat waktu, gua masuk sebelum Papa melayangkan telapak tangannya ke arah Juan. Air mata Juan terlihat sudah membasahi kedua pipinya yang gembul.
Papa melihat ke arah gua lalu menurunkan tangannya.
"Je. Kamu ajarin adik kamu. Papa dapet laporan dari wali kelasnya kalau nilai dia jelek banget," adu Papa pada gua.
Gua menarik napas panjang untuk menenangkan diri gua sejenak sebelum mulai berbicara. "Iya, Pa. Je udah cari solusinya. Je tadi abis daftarin Juan di tempat les bagus," jelas gua sambil menarik Juan untuk berdiri di belakang punggung gua.
"Bagus. Bulan depan Papa mau lihat nilai kamu lagi. Pokoknya harus udah ada perubahan," ucap Papa sambil menunjuk Juan lalu berlalu.
Setelah Papa pergi gua menutup pintu kamar Juan dan menatap Juan yang menunduk.
"Gua pindah sekolah aja kali, yah?" Lagi-lagi pertanyaan ini.
Gua menggeleng. "Enggak. Bukan sekolahnya yang salah. NUSA itu bagus, Ju. Kalau lu sekolah di situ lu bisa lebih dapet koneksi buat daftar di universitas ternama."
Juan masih terdiam dan menunduk. "Jalanin dulu di tempat les ini. Seenggaknya sampai tahun ajaran baru." Gua mengangkat wajah Juan untuk melihat ekspresinya. Ada jejak air mata di situ. Gua hendak mengusapnya tapi langsung ditepis Juan.
"Enggak usah, bisa lap sendiri." Oke sepertinya dia sudah baik-baik saja. Buktinya sudah bisa nyolot lagi.
"Udah sana keluar. Mau mandi." Gua baru sadar kalau Juan masih memakai seragam. Gua mengangguk dan berjalan keluar.
"Makasih," ucap Juan lirih.
Gua menutup pintu sambil tersenyum. Gua selalu senang setiap Juan berterimakasih begini. Rasanya gua bener-bener jadi Abang.
---
Besoknya gua sampai di sekolah lebih dulu daripada semua teman sekelas gua. Gua terpaksa berangkat pagi karena jam setengah 5 pagi Juan sudah berisik membangunkan gua. Katanya hari ini dia ada piket dan harus membersihkan kelas sebelum semua teman sekelasnya datang.
Apakah gua tidak salah dengar? Bukannya urusan bersih-bersih sudah diurus oleh petugas kebersihan sekolah? Kenapa juga ada jadwal piket? Apa mungkin sekarang ada peraturan baru yang bertujuan untuk membuat murid menjadi lebih peduli sekitar dan bertanggungjawab atas perbuatannya.
Intinya gua tidak mengambil pusing dan memilih untuk tidur lagi di kelas. Semalam gua begadang mabar sama Kevin dan Azka. Azka ini sepertinya sedang ketagihan main game online, deh. Dia tidak mau berhenti sebelum dia bisa menang. Jadilah kami mabar hingga pukul 1 pagi.
Rasanya gua baru tidur sebentar saat tiba-tiba kelas sudah ramai. Gua menguap lebar dan melakukan stretching sebentar.
"Iler lu kemana-mana, Je," protes Kevin yang kini duduk di meja sebelah kanan gua.
Gua dengan spontan mengusapnya dengan tangan. Tidak mau image cowok tampan di SMA NUSA ini ternodai. Apaan, tidak ada, dasar Kevin tukang kibul.
"Apaan, enggak ada. Gua, mah, kalo bobo selalu bobo cantik, yah. Emang lu bisa break dance kalo lagi tidur," sindir gua saat memgingat saat kami pernah tidur bersama saat Kevin menginap di rumah gua. Gaya tidurnya benar-benar tipe yang bisa membuat patah ranjang dalam beberapa malam saja.
"Yeee, biarin. Daripada lu kalo tidur ngoroknya udah kayak mau nyedot benda-benda di sekeliling." Memang benar, sih, gua selalu ngorok setiap tidur.
"Kata Bang Mahen, aku kalo tidur suka ngigo." Ini lagi si Azka malah buka kartunya sendiri.
"Ngigoin apa biasanya?" tanya Kevin kepo.
Azka tampak berpikir sejenak. "Enggak tahu. Nanti aku tanya Bang Mahen dulu," jawabnya polos.
Gua tertawa. Si Azka, nih, kayaknya kalo disuruh ngemis di lampu merah juga kayaknya mau-mau aja.
"Jangan diladenin si Kevin, mah, Ka. Sesat dia. Adek Azka yang baik hati dan tidak sombong mainnya sama Abang Je yang rajin menabung aja." Gua merangkul bahu Azka.
"Dih, jangan mau, Ka. Si Je otaknya lebih geser dari gua. Dia, mah, jorok," celetuk Kevin.
"Eh, tadi aku liat adik kamu lagi nyapuin kelas sendirian," ucap Azka tiba-tiba.
"Oh, iya. Katanya dia dapet jatah piket makanya tadi gua nyampe sekolah jam 6 pagi." Gua menguap setelahnya.
Azka menggeleng. "Enggak, tapi dia sendirian."
Tunggu. Tadi sepertinya Juan bilang ke gua kalau dia tidak sendirian dan ada beberapa temannya juga yang kebagian jadwal piket.
"Tadi, sih, dia bilangnya ada beberapa temannya juga. Mungkin pas lu lewat masih belum pada dateng kali temen-temennya." Gua berusaha berpikir positif.
"Iya, kayaknya," ucap Azka setelah berpikir sejenak.
"Loh, bukannya di NUSA enggak pernah ada jadwal piket, yah? Kita aja dulu pas SMP enggak ada piket-piketan, deh," Kevin ikut berbicara setelah tadi sempat fokus dengan bukunya.
"Yah, itu, kan, tahun lalu, Vin. Kali aja kali ini udah beda lagi peraturannya. Setiap tahun, kan, punya peraturan baru lagi."
"Iya, kali. Tapi mau-mau aja. Kan, udah ada petugas kebersihan yang bersih-bersih setiap harinya. Rugi, dong, kita udah bayaran mahal-mahal."
"Yah, lu yang protes aja sana. Kenapa jadi protes ke gua. Si Juan aja enggak masalah, kok, tadi," ucapku.
Setelahnya obrolan kami berhenti karena bel jam pertama sudah berbunyi dan disusul guru jam pelajaran pertama. Pelajaran pertama adalah kimia. Kenapa, sih, guru kimia selalu rajin sekali masuk ke kelas? Bel bahkan belum selesai berbunyi.
---
Hai, aku balik lagi. Maaf, yah, kemarin Kamis ternyata aku enggak bisa update. Makasih yang udah nemenin Je di bab ini. Sampai ketemu hari Senin ( ꈍᴗꈍ)
Jakarta, 10 September 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...