"Kalo besok masih sakit, ijin enggak masuk sekolah dulu, yah?"
Jika kalian mengira barusan itu adalah gua yang ngomong maka Anda salah besar. Kalimat barusan keluar dari mulut Juan sendiri. Gua sampai melongo mendengar perkataannya.
"Enggak. Alesan aja lu, mah. Buktinya tadi lu masih bisa dareng ke tempat les, tuh," tolak gua sambil mengempres lebamnya dengan es batu yang dilapisi handuk.
"Tapi, kan, gua susah buat jalan." Juan mengerucutkan bibirnya. Sesekali dia terlihat meringis kesakitan, gua jadi sangsi dia beneran kesakitan apa cuman dibuat-buat doang.
"Ya udah enggak usah jalan-jalan. Duduk diem aja di kelas, biar nanti gua beliin makanan di kantin."
"Enggak, enggak usah. Enggak usah nganterin gua makanan lagi kayak tadi." Cepat-cepat Juan menjawab.
"Kenapa emang? Diledekin temen lu?"
Di umur Juan ini memang sedang sensitif sekali afeksi seperti ini. Mereka tidak ingin dibilang anak kecil, lebih tepatnya masa-masa puber. Gua paham betul karena sudah melewatinya beberapa tahun silam.
"Bukan. Pokoknya gua enggak mau aja. Besok gua enggak mau masuk sekolah."
"Apaan, sih, Ju, enggak usah lebay. Ini aja lebamnya udah mulai pudar, kok. Kalau emang susah buat jalan ya udah enggak usah jalan-jalan, duduk manis aja di kelas." Gua menatap Juan aneh.
"Please, besok aja. Gua ijin satu hari doang. Besoknya lagi gua langsung masuk, deh." Juan menautkan kedua telapak tangannya di hadapanku untuk memohon.
"Kenapa, sih, aneh banget daritadi. Yang kepentok itu mata kaki lu, kan? Bukan otak lu? Lu bukan anak kecil lagi yang hobi tantrum enggak mau sekolah, Ju. Oh, apa jangan bilang besok ada ujian yang enggak mau lu ikutan?"
Juan diam saja tidak menjawab perkataanku barusan. Gua benar ternyata.
"Ujian apa, sih? Gua bantuin belajar. Gini-gini nilai gua enggak ada yang di bawah delapan."
"Udahlah iya, oke. Gua besok tetep berangkat sekolah."
Juan menepis tangan gua yang masih mengompres mata kakinya lalu pergi ke kamarnya sambil terpincang-pincang. Gua bingung menghadapi sikapnya barusan. Mungkin dia lagi dalam tahap puber. Biarlah, yang penting besok dia tetap masuk sekolah.
---
Besok paginya gua menunggu Juan di meja makan untuk sarapan tapi orangnya tak kunjung datang juga. Jangan bilang dia beneran enggak mau sekolah? Karena sudah tidak sabar, gua berniat menghampirinya di kamar. Baru gua bangun dari duduk, orangnya sudah muncul dengan muka yang kuyu seperti tidak ada semangat hidup.
"Lama amat, sih. Cepetan sarapan." Gua menaruh sepotong roti yang sudah diolesi selai di piringnya.
Lagi, Juan makan dengan amat sangat lambat.
"Gua penasaran banget, deh. Ada ujian mapel apa, sih, sampe lu segini enggak maunya berangkat sekolah hari ini? Lagian kalau lu enggak ikut ujian hari ini juga nantinya tetep bakalan ikut ujian susulan. Guru-guru di NUSA enggak akan membiarkan lu enggak dapet nilai sendirian. Intinya lu enggak bakalan bisa ngehindar."
"Udahlah. Gua udah selesai, yuk, berangkat." Juan memakai tasnya dan berlalu.
Lihat, gua yang sedaritadi menunggunya malah sekarang ditinggal. Hari ini gua terpaksa harus berangkat bareng Juan karena supir Juan sedang sakit. Maka dari itu gua hari ini sabar banget nungguin Juan siap-siap walau waktu gerbang NUSA ditutup semakin dekat. Gua enggak mau tahu kalau sampai terlambat, Juan harus tanggung jawab. Gua susah payah mempertahankan buku harian gua biar enggak ada bintang hitamnya.
Jadi, di NUSA itu setiap siswa punya sebuah buku harian yang isinya record kita selama sekolah di sini. Isinya macem-macem ada mulai dari pencapaian sampai pelanggaran. Setiap pencapain kita akan diberi bintang emas dan sebaliknya setiap pelanggaran kita mendapatkan bintang hitam. Jumlahnya tergantung dengan seberapa besar pencapaian atau pelanggaran yang kita lakukan.
Untung aja kami sampai tepat waktu. Setelah melakukan presensi di lobby, gua langsung berpisah dengan Juan tanpa pamit. Waktu gua duduk di kelas, pas banget bel masuk bunyi. Gua melihat Azka yang duduk di depan gua, kursi sebelahnya masih diisi dengan orang lain. Kevin terlihat duduk santai di belakang. Sepertinya belum baikan dengan Kevin.
Gua menoel bahu Azka sampai empunya menoleh. "Masih berantem?" Gua bertanya dengan lirih karena guru sudah mulai masuk. Azka hanya menjawab dengan anggukan pelan.
---
Setelah berkutat dengan fisika selama dua jam mata pelajaran dan sejarah Indonesia dua jam pelajaran juga, akhirnya bel istirahat berbunyi juga, bayangkan setelah otak diperas dengan berbagai macam rumus, kami sekelas berasa didongengi oleh guru sejarah, sungguh mata milik satu kelas aku yakin rasanya ingin tertutup.
"Je, ke kantin, yuk."
"Je, aku mau tanya tentang tugas Bahasa Indonesia."
Barusan yang berbicara adalah Kevin dan Azka. Yang pertama Kevin dan yang kedua Azka. Bisa-bisanya mereka langsung menghampiriku secara bersamaan dan mengajakku untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Azka dan Kevin secara otomatis langsung saling melirik tajam.
"Gua duluan yang ngajak Je," sewot Kevin.
"Tapi tujuanku jauh lebih penting daripada kamu," elak Azka.
"Itu, mah, penting buat lu doang. Enggak buat Je. Lagian ngapain, sih, nanya-nanya tugas ke orang lain, tugas itu dikerjain sendiri."
"Aku bukan nanya jawaban ke Je. Aku cuman mau minta pendapat doang, kok. Lagian Je enggak pernah keberatan."
"Kalau begitu namanya curang dong. Nilai lu enggak murni, ada campur tangan dari orang lain."
"Udah, deh, Vin. Kalau kamu kesel sama aku jangan bawa-bawa masalah yang lain. Jangan semuanya tentang aku terus kamu sebelin juga." Suara Azka mulai naik.
"Lagian lu juga yang bikin masalah sama gua, kenapa sekarang jadi lu yang marah?"
"Aku, kan, kemarin udah bilang semuanya ke kamu secara jelas tanpa ada yang ditutup-tutupin. Bahkan kamu bilang enggak ada kaitannya sama kamu. Terus kenapa sekarang malah dipermasalahin? Dasar ABG labil."
"Apa? ABG labil? Bukannya lu yang labil?" Azka dan Kevin saling tatap tanda permusuhan.
Ada apa lagi, sih, ini? Kenapa jadi berantem di depan mata gua? Cuman gara-gara satu cewek sampe bisa bikin mereka begini. Gua menggelengkan kepala pusing.
"Je!" teriak seseorang di ambang pintu kelas.
Itu dia cewek yang daritadi lagi jadi sumber keributan dateng. Baru gua mau nyeletuk buat pisahin Azka sama Kevin, tapi ucapan Aci selanjutnya membuat gua kaget.
"Je, lu harus ke UKS SMP NUSA sekarang. Adik lu, Je...."
Tanpa basa-basi gua langsung berlari cepat ke lokasi yang dibilang Aci.
---
Banyumas, 10 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
Hayran KurguJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...