Dalam perjalan pulang dari rumah Nenek, gua cuman bisa diam menatap jalanan dari jendela. Semua perkataan dari Nenek masih berputar-putar di kepala gua. Tentang sebuah kenyataan yang gua enggak tahu. Atau lebih tepatnya ditutup-tutupi dari gua. Kenapa selama ini enggak ada yang kasih tahu gua tentang semua ini.
Gua membuka jendela mobil dan membiarkan angin malam menerpa muka gua langsung. Dingin. Tapi justru malah menyegarkan pikiran gua. Enggak, gua enggak bisa cuman dengerin dari salah satu pihak doang. Gua harus denger juga dari mulut Juan langsung. Saat sampai di rumah gua akan langsung nanya ke Juan perihal ini. Gua udah enggak bisa nahan-nahan lagi. Gua harus tahu malam ini juga mana yang benar.
Saat sampai di rumah, setelah mengucapkan terima kasih pada Mang Iip dan menyuruhnya untuk beristirahat, gua langsung berjalan cepat masuk ke dalam. Kamar Juan adalah tujuan gua. Langsung aja gua buka pintu kamarnya karena gua tahu dia enggak pernah menguncinya.
"Ju-" panggilan gua terhenti karena ternyata Juan sudah tertidur. Ketiduran mungkin lebih tepatnya kalau dilihat dari posisi dia yang tertidur di meja belajar dengan alas buku matematika.
"Ju, pindah ke kasur. Nanti sakit tidur begitu." Gua menggoyangkan badannya untuk membangunkannya. Hanya dengan sekali panggil saja Juan langsung bangun berbanding terbalik dengan gua yang butuh effort besar saat dibangunkan.
Dengan pelan Juan berpindah ke kasur. Gua menuntunnya karena takut di terpentok tembok. Bagaimana tidak, matanya saja hanya terbuka setengah. Setelah menyelimutinya sampai leher gua masih berdiri di samping ranjang Juan.
"Semuanya enggak bener, kan, Ju?" tanya gua lirih. Tentu saja gua tidak mendapatkan jawaban dari Juan. Dia sudah tertidur pulas.
Gua memandangi cukup lama wajah polos yang sedang tertidur itu. Ingin sekali gua tidak memercayai perkataan Nenek tadi, mana mungkin manusia sepolos Juan ini sanggup mengambil nyawa Kakek? Karena gua belum mendengar penjelasan dari Juan maka gua masih menganggap kalau apa yang dikatakan Nenek itu tidak benar. Gua harus memercayai Juan.
Gua berbalik dan mematikan lampu kamar Juan. Setelah itu menutup pintu kamar dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Gua lelah hari ini. Lelah fisik dan juga pikiran. Sebaiknya gua tidur agar bisa berpikir jernih besok.
---
Besoknya gua enggak sempat bertanya pada Juan karena gua bangun kesiangan. Gua mandi dengan terburu-buru dan tidak sempat sarapan. Gua hanya melewati Juan yang sedang duduk di ruang makan begitu saja. Karena tidak akan sempat jika memakai mobil karena pasti akan terjebak macet, gua memilih memesan ojek online. Untung saja abang ojolnya mau gua suruh ngebut dan nyelip-nyelip. Akhirnya gua berhasil melakukan presensi di detik terakhir batas waktu terlambat.
Perjuangan gua tidak berhenti di situ saja, gua masih harus berlari untuk menuju gedung SMA. Karena lama jika harus menunggu lift maka gua berlari menaiki tangga. Pelajaran pertama pasti akan segera dimulai dan gua enggak bisa telat begitu aja di pelajarannya Bu Dewi yang tekenal guru killer ini.
"Kamu baru sampe?" Sialnya, gua bertemu Bu Dewi tepat di depan pintu masuk kelas.
"Iya, Bu," jawabku sambil mengusap keringat dengan sapu tangan. "Saya masih bisa masuk, kan, Bu. Saya enggak telat presensi, kok, tadi di lobby." Gua berusaha meyakinkan Bu Dewi. Minggu ini pekan terakhir sebelum UAS dimulai, gua harus ikut pelajaran ini jika mau mendapatkan kisi-kisi UAS.
"Boleh. Cepat sana duduk," ucap Bu Dewi sambil masuk duluan ke kelas.
Dengan lega gua juga masuk ke kelas yang tentu saja sudah diisi semua siswa. Gua menaruh tas di seberang meja Kevin dan segera mengambil buku dari tas.
"Tumben telat lu," bisik Kevin.
"Biasa kesiangan," jawab gua dan ditanggapi 'oh' oleh Kevin.
---
Waktu istirahat tiba dan gua sedang nongkrong di markas sambil memegang gitar akustis. Tentu saja bersama dua sohib gua ini.
"Kita enggak mau manggung lagi gitu?" tanya gua random.
"Iya, nih. Masa baru aja debut langsung bubar. Padahal fans kita banyak, nih, di NUSA," ungkap Kevin.
Yah, ucapan Kevin memang benar adanya. Gua bisa merasakan bisik-bisik para murid cewek NUSA kalau gua lagi jalan di koridor.
"Sekolah kita belum ngadain acara lagi," jawab Azka.
"Kayaknya kita mau ada pensi, deh, abis UAS. Bener enggak, Vin?"
"Oh, iya bener."
Sudah menjadi tradisi di NUSA kalau setelah pekan UAS maka akan diadakan pensi. Pengisi acara pensi adalah perwakilan dari masing-masing kelas. Kelas kami sepertinya tidak ada yang berminat untuk tampil maka kami sepertinya punya kesempatan.
"Nanti bilang si Eka, deh. Biar band kita yang wakilin kelas," ucap gua.
Setelah itu kami sibuk masing-masing. Kevin dengan buku pelajarannya di tangan, Azka dengan ponselnya, dan gua dengan gitar. Gua jadi teringat lagi ucapan Nenek semalam.
"Guys, gua mau minta saran dong."
"Saran apa? Tumben," tanya Kevin sambil membolak-balikkan buku pelajarannya yang penuh dengan stabilo dan sticky notes.
"Jadi gini, misal lu dikasih tahu seseorang kalau orang yang kalian sayang itu ngelakuin hal-hal jahat, tanggepan kalian gimana?"
"Hal-hal jahatnya itu kayak gimana?" tanya Azka yang entah sejak kapan sudah duduk di samping gua.
"Hmmm, bunuh seseorang gitu?"
Seketika gua langsung mendapatkan tatapan horor dari Kevin dan juga Azka.
"Ini, kan, misal doang, guys. Misalnya. Chill dong. Mukanya jangan kayak mau nerkam gua gitu."
"Abis lu aneh-aneh aja. Gimana, yah, jadi bisa dibilang kalau ini baru tuduhan, kan?" Gua mengangguk. "Lu harus tanyain ke orang yang kena tuduh, lah. Apalagi itu orang yang lu sayang, masa iya lu mau percaya gitu aja, sih?"
"Iya, aku juga setuju. Alangkah baiknya dengerin dari dua belah pihak. Nanti kalau udah, kamu tinggal milih jawaban mana yang paling logis. Selain itu kamu juga harus nanya orang lain. Sebagai sisi yang netral." Azka menambahkan.
Gua mengangguk-angguk paham. Oke, gua emang harus bicara perihal hal ini sama Juan nanti sepulang sekolah.
"Kayaknya kamu akhir-akhir ini lagi banyak banget masalah, yah, Je? Mau cerita?" tawar Azka.
Gua menggeleng. "Nanti aja kalau semuanya udah selesai gua bakalan cerita."
Tapi, kapan semuanya akan selesai?
---
Jakarta, 8 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
(2) Jemari Je (Selesai)
FanfictionJe yang selalu sendirian. Kesunyian selalu memeluknya. Kehampaan adalah hal yang selalu mengisi ruang hatinya. Kekosongan adalah rumah untuknya. Semuanya selalu seperti itu sejak awal. Kosong, sunyi, dan kosong adalah tiga hal yang selalu mengelili...