Solar: kenyataan pahit

520 51 6
                                    

Tubuh itu terkulai lemas diatas ranjang. Tangannya meraih-raih kacamata visor di meja sampingnya.

Termometer masih tepat berada di samping kacamata. Semangkuk bubur yang sudah dingin hanya di sentuhnya sedikit.

Rasanya mual, bahkan me-muak-kan.

"Harusnya aku sekolah, bukannya tidur di rumah" keluhnya.

Ia mengeluh karena di hari pertamanya ia malah terserang demam. Bahkan di tinggal sendirian di rumah.

Udara yang terasa pengap membuatnya ingin berjalan-jalan keluar.

Baru menjauh beberapa meter, sebuah kamar yang berjarak tiga kamar dari kamarnya seperti memanggil.

Dengan langkah penuh keraguan ia memutar kenop pintu. Terbukalah pintu tersebut cukup lebar.

Pemandangan pertama ialah kasur yang rapi dengan sprei berwarna coklat polos.

Ia memberanikan diri untuk melangkah lebih dalam.

Lemari yang seharusnya terisi berbagai pakaian, hanya kosong. Bersisa laci dengan puluhan kertas di dalamnya.

Diambilnya asal selembar kertas, kemudian dia duduk di tepi kasur.

Kertas itu ia baca dalam hati...

______________________________________

Hai kau yang di sana...

Salam untukmu, salam untukku...

Bolehkah aku mengadu? Berbagi cerita yang ku pendam sendiri. Aku tak lagi sanggup menyimpannya.

Berpijar lampu dimalam hari, temaram cahaya dari rembulan.

Teriakan keras masih terdengar lantang. Percikan darah itu masih berbekas di lantai. Tak sanggup lagi ku tahan air mata ini.

Senyuman yang sudah lama ku ukir akhirnya lenyap. Semburat kemarahan muncul di wajah kalian.

Aku pecundang? Ya, sebut saja aku begitu.

Bisa kalian hentikan semua ini? Aku korbannya...

Bisakah kalian hentikan tangan itu? Bisakah kalian hentikan pukulan itu? Aku terluka di sini.
Bukan kalian, tapi aku!

Luka itu membuat kalian terperdaya. Kalian sendiri yang menabur garam diatas luka yang menganga.
Kalian yang begitu tenggelam dalam masa lalu.

Aku bukan seorang penulis. Aku juga bukan seorang puitis. Aku hanyalah bocah yang haus kasih sayang.

Bisakah ini berhenti sebentar? Aku ingin istirahat. Mengobati luka yang kalian torehkan. Meski semuanya akan sia-sia dan akan kembali menganga.

Ku abdikan hidup untuk kalian. Ku kerahkan sisa-sisa tenaga yang ku punya. Ku lakukan yang terbaik untuk kalian.

Jadi boleh aku pergi? Boleh aku pulang? Kalian terus meributkan keberadaan ku. Dengan kepergian ku, bukannya kalian lebih tenang? Tidak lagi meributkan hal sepele.

Aku izin pergi, entah kalian peduli atau tidak. Kalian tak butuh diriku. Kalian membenciku.

Untuk apa aku hidup dengan kebencian? Lebih baik aku mati dengan kedamaian.

hanya harapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang