Vote dulu baru baca!
Kalau gak bintitan😋***
Lutfi memasuki rumah orangtuanya saat waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Ia bersiul dengan langkah yang terkesan begitu ringan. Ia seperti pria yang sangat Bahagia pagi ini. Tidak ada beban pikiran atau apa pun yang mengganggunya. Bahkan setelah ia meninggalkan dinner bersama Aolani tadi malam.
"Pagi, Pa," sapa Lutfi saat berpapasan dengan ayahnya yang baru keluar dari dapur.
"Dari mana kamu?" tanya sang ayah.
"Apart," jawab Lutfi enteng.
Ayahnya menggeleng tidak percaya. "Setelah kekacauan yang kamu buat, kamu masih bisa setenang ini? Ada apa dengan isi pikiran kamu, Lutfi?"
Lutfi yang masih tidak paham dengan maksud ayahnya hanya mengerutkan kening. Dari belakang ayahnya muncul sang ibu. Lutfi hendak menyapa sekaligus menanyakan ada apa, tapi saat melihat mata wanita itu sembab, Lutfi mengurungkan niatnya.
"Mama nangis?"
Ibu Lutfi tidak menjawab, ia menatap suaminya, lalu berujar dengan pelan, "ayo, Mas," ajaknya.
Lutfi menahan langkah kaki kedua orangtuanya dengan pertanyaan yang spontan. Ia ingin tahu ke mana ayah dan ibunya akan pergi. Apalagi sepagi ini.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Lutfi. Pria itu sampai terpaku karena tidak percaya akan mendapatkan hadiah mendadak seperti ini.
"Ma," cicitnya.
"Mama gak tahu kalau kamu akan sejahat ini. Mama gak tahu kalau anak yang banggain selama ini sangat tidak bertanggungjawab. Mama gak tahu isi pikiran kamu gimana lagi. Mama capek, Lutfi. Sekarang terserah kamu. Mau hidup gimana pun terserah kamu. Mau merusak rumah tangga orang pun terserah kamu."
Ibu dan ayah Lutfi pergi begitu saja meninggalkan pria itu termangu di tempatnya. Lutfi benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidak di rumah.
"Bi, ada apa? Mama mau ke mana?"
Lutfi bertanya pada seorang pelayan yang kebetulan melewatinya.
"Anu, Tuan, Non Aolani kecelakaan," jawabnya dengan gugup.
"A—apa?"
"Tadi saya dengar Nyonya dapat telepon dari Nyonya Ratih, kalau Non Aolani bakal dibawa ke Amerika pagi ini," lanjutnya.
"Separah apa?" tanya Lutfi dengan detak jantung yang tidak karuan.
"Kurang tahu, Tuan, tapi saya dengar Non Aolani sempat koma."
Saat mendengar itu isi kepala Lutfi seketika kacau. Menelan ludah saja ia terasa berat. Bayangan Aolani tengah tersenyum, berbicara dan mengangguk patuh pada setiap perintahnya memenuhi benak Lutfi. Baru saja semalam ia menyelesaikan kisah masa lalu yang mengganggunya selama ini. Lutfi sudah siap memulai semuanya dengan Aolani dari awal dengan perasaan baru, tapi informasi pagi ini begitu memukul telak seluruh organ tubuhnya.
"Rumah sakit mana?"
"Hm, Kasih Ibu, Tuan."
Lutfi tidak melangkah dengan tergesa lagi, tapi ia berlari keluar dari rumah. Hatinya seperti ditusuk ribuan babu runcing sehingga sakitnya tidak bisa ia jelaskan. Aolani. Gadis itu adalah cinta keduanya setelah melepaskan Zafhirah. Bodohnya, Lutfi baru menyadari perasaannya saat mengobrol dengan Zafhirah tadi malam.
"Kamu gak lagi deket sama perempuan?" tanya Zafhirah penasaran.
"Kenapa? Kamu mau balikan?" goda Lutfi.
Zafhirah tertawa. "Gak deh, makasih. Suamiku lebih-lebih dari kamu."
"Sialan," umpat Lutfi, kemudian tertawa bersama Zafhirah.
"Masih belum siap nikah? Udah 27, kan? Dulu pas dituntut orangtuaku baru 22 loh. Masa 5 tahun kamu belum ada keberanian juga buat berkomitmen serius sama perempuan?"
Lutfi diam. Ia membayangkan Aolani. Gadis itu memang ia yang memilihnya, tapi saat ini Lutfi tidak tahu bagaimana perasaan yang sebenarnya untuk gadis tersebut. Apakah ia sudah jatuh cinta? Tapi ia masih sering memikirkan Zafhirah.
"Aku masih mikirin kamu, gimana bisa sama per—"
"Dih, lemah. Kamu yang ninggalin loh. Aku cuma butuh waktu sebulan buat benar-benar lupa sama kamu. Dan bisa buka hati lagi buat laki-laki baru. Bahkan udah nikah dan punya anak. Sedangkan kamu masih aja terjebak sama perasaan masa lalu."
Zafhirah menatap jalanan, lalu menoleh pada Lutfi. "Kamu mikirin aku kayaknya bukan karena suka atau cinta lagi. Tapi hanya rasa bersalah. Percaya deh," tambahnya.
"Coba, damai dulu sama hati kamu. Tiap inget aku, kamu bayangin lagi gimana dulu aku nolak kamu meski kamu coba buat deketin lagi. Aku gak ada perasaan apa pun lagi ke kamu, Lutfi. Kamu harusnya juga sama. Kita bisa temenan kayak sebelumnya."
Lutfi masih diam. "Aku kenal Aolani. Dia langganan kue di toko aku. Pernah mau aku kenalin ke adik aku yang seumuran sama dia. Tapi dia nolak dan bilang dia suka bosnya. Itu setahun yang lalu. Awal-awal aku kenal dia. Dan kamu tahu apa yang mengejutkan? Bosnya ternyata kamu."
Lutfi menelan ludah dan masih tetap diam karena ia ingin mendengar cerita lebih lanjut dari Zafhirah.
"Awalnya aku sebal. Bukan karena aku cemburu. Tapi aku kayak gak nyangka aja perempuan sebaik dan selembut Aolani malah jatuh cintanya ke kamu. Padahal dia cocok sama adik aku. Aku udah suka sama dia sejak awal dia masuk ke toko kue aku. Ngeliat dia tuh kayak adem banget. Hijabnya, pakaian sopannya. Itu semua jelas bukan tipe kamu."
Zafhirah tersenyum mengingat bagaimana Aolani mengatakan sesuatu padanya 2 bulan yang lalu.
"Terus 2 bulan lalu dia datang ke toko aku. Dia cerita dengan senang banget kalau dia dilamar sama bosnya. Katanya, mungkin bosnya belum cinta sama dia. Tapi dia yakin seiring waktu berjalan, bosnya bakal bisa buka hati. Aolani tahu kamu masih belum move on dari masa lalu kamu. Dia dengar dari Tante," Zafhirah menghela napas.
"Aku gak mau dia mikir yang macem-macem. Jadi aku gak pernah bilang kalau aku mantan kamu. Aku gak mau ngerusak suasana hatinya saat itu. Dan tadi sore, dia ke toko lagi. Dia bilang malam ini bakalan dinner berdua untuk pertama kalinya sama kamu. Bahkan dia sengaja beli pakaian baru buat malam ini."
Lutfi menginjak rem saat mobil tiba di rumah sakit. Ia berlari kembali agar bisa segera melihat kondisi Aolani. Lutfi tidak mau terlambat. Waktu yang ia habiskan tadi malam untuk meresapi perasaannya membuat Lutfi mengabaikan panggilan Aolani.
"Ma," Napas Lutfi terengah.
"Ao... mana?"
Isak tangis yang terdengar dari dalam ruang ICU membuat jantung Lutfi memompa dengan cepat. Dadanya naik turun. Matanya menatap liar pada pintu kaca yang mana Lutfi bisa melihat orangtua Aolani ada di dalam sana.
"Mas," Ibu Lutfi ikut terisak dalam pelukan suaminya.
"Aolani udah gak ada. Detak jantungnya udah berhenti dan dokter gak bisa berbuat apa-apa."
Penjelasan singkat dari ayahnya membuat kaki Lutfi seketika gemetar. Ia menerobos masuk ke dalam ruang ICU dan menatap nanar sosok tubuh lemah Aolani yang masih terpasang banyak alat-alat medis. Lutfi berjalan mendekat dengan tangan yang sangat dingin. Ia belum sempat mengungkapkan perasaannya pada gadis itu tapi semuanya sudah terlambat.
***
Sad🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...