Chapter 16: Come From Sky

24 8 14
                                    

Is it about the destiny of universe or about human activity?

-o0o-

Hari sudah sore tapi rangkaian bencana masih terjadi secara bergantian. Shaka dan Geladis menetap di kos Shanju untuk sementara waktu. Mereka merasa lapar karena di ruangan ini tak ada bahan makanan. Hanya ada air putih dari galon, yang tidak akan bisa menghentikan rasa lapar.

Geladis menatap ke arah jendela. Kacanya sudah berwarna putih akibat abu vulkanik. Hari ini perut bumi banyak memuntahkan isinya. Mungkin, bumi sudah muak dengan manusia.

"Jay, kita bakal mati di sini, ya?" tanya Geladis dengan wajah sedih.

"Adis, kita bakal baik-baik aja. Jangan berpikir buruk ya?" ujar Jayden.

Geladis membuang muka. Matanya semakin lekat menatap pada langit.

Geladis sangat ketakutan. Dia ingin memeluk bunda yang sejak tadi menelepon dan menanyakan kabar Geladis. Dia ingin berteriak pada bunda, bahwa dirinya sangat ketakutan. Tapi, Geladis tak ingin menggores hati kecil sang bunda.

Setiap telepon yang terhubung, Geladis selalu berkata, "Adis baik-baik aja, Bunda. Adis udah makan banyak banget, di sini juga ada Jayden sama Shanju. Jadi, Adis nggak kesepian." Seperti itulah dusta Geladis.

"Dis, aku mau ke luar sebentar. Kamu jaga Shanju, ya?" titah Jayden. Dengan spontan Geladis menggeleng kuat. Berdiam diri sebuah ruangan hanya bersama Shanju yang tak sadarkan diri sangat menakutkan bagi Geladis. Terlebih lagi, tak ada yang melindunginya selain Jayden.

"Jangan, Jay! Aku takut," ungkap Geladis.

Jayden berdiri dari ranjang. Dia mendekat ke arah Geladis, tepatnya di depan kaca kotor yang menjadi pemandangan buruk hari ini.

"Adis, semua bakal baik-baik aja," tutur Jayden.

Lagi-lagi Geladis menggeleng kuat. "Kalau Shanju bangun terus kesakitan gimana? Kalau muncul naga aku harus apa? Kalau tiba-tiba gempa aku pergi kemana? Aku takut Jayden!" teriak Geladis tepat di hadapan Jayden. Dia menangis pilu menumpahkan segala rasa takutnya dalam bentuk air mata.

Berada diambang kematian tanpa peta penunjuk arah, rasanya sangat mendebarkan. Melihat sahabatnya terkulai lemah tak berdaya, terasa lebih menyakitkan.

"Tenang, Dis!" pinta Jayden terhasut panik.

"GIMANA AKU BISA TENANG KALAU DUNIA MAU KIAMAT?!" bentak Geladis kehilangan kendali. Kedua tangannya bertumpu pada bahu Jayden. Dia lelah, hingga bahu Geladis berguncang karena diserang panik.

Mendengar nada putus asa itu, Jayden menarik tubuh Geladis hingga berada di bawah pelukannya. Jayden merengkuh erat raga lemah penuh ketakutan itu.

"Adis, jangan pernah buka pintu dan tunggu aku kembali." Itu adalah perintah mutlak seorang Jayden. Meski Geladis menangis darah sekali pun, Jayden akan tetap pergi.

Tangan Jayden mengusap rambut Geladis hingga tengkuk lehernya untuk memberi sebuah kekuatan.

Jayden mulai mengenakan jas hujan milik Shanju. Tak lupa dia mengambil masker supaya paru-parunya terhindar dari udara buruk di luar sana.

Sebelum meninggalkan ruangan, Jayden kembali mendekat ke arah Geladis. Dia mengusap pelan puncak kepala sahabatnya. "Jangan pernah tinggalin ruangan ini. Aku nggak akan lama," janjinya pada Geladis. 

Geladis ingin mencegah langkah Jayden, tapi Geladis tahu siapa itu Jayden. Sekuat apapun Geladis menghentikan Jayden, pada akhirnya Geladis lah yang selalu kalah. Watak keras kepala Jayden selalu melekat dalam dirinya.

-o0o-

Wiper mobil Jayden terus bergerak membersikan kaca dari debu udara. Keadaan di luar benar-benar kacau, bahkan hanya satu atau dua makhluk terlihat berkeliaran di jalan. Itu pun bukan manusia, hanya para burung yang kehilangan arah.

Mobil Jayden berbelok ke arah mini market terdekat, hendak membeli makanan. Saat Jayden masuk, hanya ada barang-barang berantakan tanpa penghuni. Tak ada satu pun manusia yang memunculkan batang hidungnya di sini.

Tentunya hal itu memiliki sisi positif untuk Jayden. Dia menjadi leluasa menguasai mini market dan mengambil barang sesukanya. Namun, saat beberapa makan sudah berada dalam genggaman. Dia dikejutkan oleh sosok ular besar berdiameter 20 sentimeter.

Hewan melata itu melesat kuat hendak memangsa Jayden hidup-hidup. Hanya ada dua pilihan, mematikan atau dimatikan. Prinsip itu yang tertanam pada Jayden saat diserang makhluk tak berakal.

Jayden melompat dengan gesit. Menginjak beberapa rak makanan dengan lincah untuk menghindari ancaman ular. Hampir saja taring mamba mengenai kaki Jayden, dengan cekatan Jayden menyalakan pemantik api dari rak rokok. Api mulai berkobar melahap tubuh ular itu.

Tak hanya menggerogoti tubuh sang ular, api juga melahap beberapa bungkus makanan yang berserakan.

Jayden melompat lincah, lalu memeluk banyak mie instan yang bisa diselamatkan.  Saat-saat seperti ini, makanan menjadi hal penting untuk bertahan hidup.

Sebelum kobaran api melahap seluruh mini market, Jayden segera masuk kedalam mobil dan menancap gas dengan kecepatan di atas rata-rata.

Tapi, di tengah perjalanan Jayden menghentikan mobilnya. Dahinya terbentur kuat di dasboard mobil, terasa nyeri dan menimbulkan benjolan.

Ternyata seekor makhluk jatuh tepat berada di di atas kaca mobilnya. Makhluk itu berbulu. Saking tebal bulunya, empat kakinya tak terlihat. Kepalanya nampak terdapat antena seperti milik kecoa. Makhluk ini berukuran sebesar kucing pada umumnya. Wujudnya lucu, tapi sangat aneh.

Jayden masih diam karena terkejut. Dia menggeser stik untuk memerintah wiper supaya bergerak cepat menyingkirkan makhluk lucu itu.

Jayden menatap langit, menunggu benda apa lagi yang akan turun dari langit. Hingga sosok singa bersayap muncul. Saat itu alarm tanda bahaya Jayden berbunyi nyaring di kepalanya. Dia menyalakan mesin mobil, lalu menancapkan gas, melaju secepat kilat membelah kota Jakarta.

Jayden menuju ke rumahnya. Ada hal yang harus dia pelajari di sini. Dunia yang seharusnya berjalan lurus mengikuti peta takdir, kini mengalami banyak perubahan. Jayden bertanya-tanya, apakah ini merupakan salah satu rencana takdir atau jauh dari garis yang sudah ditentukan.

The Secret Of Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang