Chapter 1: Dry Season

72 9 26
                                    

Cukup diam dan dengarkan suara semesta

-o0o-

TRANGGG!!!

Sebuah dentuman keras berasal gudang terbengkalai bekas pabrik gula Jakarta. Terlihat lingkaran di dinding kusam berwarna putih itu. Lingkaran itu berputar semakin mengecil seiring waktu berdetak.

Terlihat jelas, hingga perlahan semakin memudar. Sebelum lubang hitam itu hilang, 2 pria menembus ruang dengan pendaratan kurang mulus. Tubuhnya terpental jauh hingga memantu di dinding seberang. Rasanya pasti sakit, tapi mereka tak merasa kesakitan. Hingga suara bak bunyi biola sumbang mengiring lubang hitam itu hilang, benar-benar hilang.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Tuan?" tanya sang pengawal pada tuannya.

Misi akan segera dimulai.

-o0o-

Siang ini terik matahari sangat menyengat. Cukup jahat untuk manusia yang sedang menjaga kesehatan kulit. Rasanya tenggorokan selalu dilanda kekeringan.

Bahkan kucing pun tengah bersembunyi di bawah pohon saking panasnya. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian. Di siang bolong begini, sosok gadis dengan kemeja hijau muda polos dan celana jeans malah berlari menyusuri jalan. Dia membawa tote bag, sesekali mengecek apakah isinya sudah sesuai dengan jadwal sekarang, atau ada barang yang tertinggal.

"PAK! JANGAN DITINGGAL!" teriaknya berlari menyusul bus Biru di tengah keributan kota. Langkahnya belum terhenti sebelum bus harapan terakhirnya berhenti.

Tapi, seluruh tenaga telah ia kerahkan. Bahkan tenggorokannya tak mampu berteriak lagi. Hingga sebuah ide terlintas di otaknya. Dia melepas sepatu pink kesayangannya, lalu melemparkan kasar kearah Bus yang berjarak 10 meter dari tempatnya berlari.

Sialnya, sepatu itu malah mengenai kepala bapak-bapak muda yang sedang mencari nafkah. Bapak itu menoleh spontan, sambil menurunkan dagangan dari pundaknya.

"ASTAGA! MAAF PAK!" teriaknya merasa bersalah. Sial! Hari ini sangat sial!

"Kepala saya sakit Dek! Kalau gegar otak gimana?!" amuk bapak-bapak itu.

"Yaampun pak, maaf ya. Sumpah saya nggak sengaja." Berkali-kali gadis itu mengucap kata maaf karena menyesal.

"Ganti rugi sini!" bentak sang bapak. Tentu saja sang pelaku tak terima. Bahkan bapak itu terlihat baik-baik saja, bibirnya masih sempat melontarkan amarah.

"Loh! Gak bisa gitu dong Pak! Saya kan sudah minta maaf!" bantahnya tak mau kalah. Bisa-bisanya dia tak sengaja melempar sepatu pada pria macam ini, yang ada uangnya habis jika menuruti dusta manusia.

"Shanju?" panggil sosok pria jakun yang sedang berdiri tegak dengan kemeja hitam, serta celana cream melekat di tubuhnya. Dia mengenakan kacamata frame hitam, dan masker medis.

"Gimana?! Mau ganti rugi gak?" tanya bapak itu lagi. Shanju mengepalkan tangannya kesal.

"Bapak pikir saya sekaya apa sampai dipalak gini? Kalo saya kaya, sudah dari dulu saya bayar utang negara! Gak usah ngerampok berke---"

Tanpa basa-basi, pria yang baru saja datang menghadap Shanju menyodorkan beberapa lembar kertas merah bernominal. Langsung saja semua bungkam. Bapak muda menyebalkan itu segera pergi dari hadapan Shanju.

"Kamu siapa sih?!" bentak Shanju pada pria lancang sampingnya.

Dibalik masker medisnya, dia tersenyum manis. Kaitan maskernya dibuka, menampilkan wajah sosok pria tampan hingga membuat Shanju bungkam. Untuk seukuran pria, dia sangat menarik. Lesung pipi hadir ketika tersenyum, matanya sipit membentuk bulan saat tertawa, bulu mata lentik dan alis tebal. Sempurna.

The Secret Of Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang