Jangan menahan tangis, karena rasanya akan berkali lipat lebih sakit
-o0o-
Pukul 22.00 namun raga Shanju masih belum ditemukan. Kini, Jayden dan Geladis tak melihat sebuah harapan tentang Shanju. Jayden dan Geladis berjalan melewati ombak kecil yang tadi menerjang sahabat mereka.
Angin malam terasa dingin. Geladis yang sudah berbalut sweater masih saja merasa kedinginan. Seharusnya mereka pulang untuk beristirahat, bisa jadi akan ada gempa susulan atau tsunami susulan. Namun, mereka lebih memilih menghabiskan malam untuk berbicara di hadapan laut
"Semesta jahat banget ya sama Shanju?" tanya Jayden pada Geladis. Kini air mata Geladis sudah habis. Menyisakan mata sembab sangat terlihat kelelahan.
"Kayaknya semesta memang terlalu jahat. Tapi, sejak SMA Shanju nggak pernah menunjukkan amarahnya pada semesta. Dia selalu terlihat bahagia dan berkata semua akan baik-baik saja," tutur Geladis.
Shanju pernah menangis? Pernah, terakhir kali menangis adalah saat duduk di bangku kelas 1 SMA. Shanju pernah marah? Pernah, namun hanya sesaat, lalu dia dengan mudah melupakan amarahnya. Shanju pernah depresi? Entahlah. Tak ada yang tahu makna hidup Shanju kecuali dia sendiri.
"Kalau Shanju punya masalah, aku lebih pengen lihat Shanju nangis daripada ketawa. Lihat senyumnya dia, aku rasa banyak kebohongan di sana," imbuh Geladis.
Saat paman menghukumnya dengan mengurung Shanju di gudang semasa SMA. Shanju hanya tertawa saat merasa dirinya bodoh tidak bisa mendobrak pintu.
Saat Shanju terancam dikeluarkan dari sekolah akibat semua nilainya merah. Shanju hanya tersenyum manis karena merasa tidak beruntung.
Saat kepala sekolah menyuruhnya berdiri menghadap peserta upacara karena Shanju tidak memakai atribut lengkap, dia hanya tersenyum. Tapi, senyuman itu terhenti saat pandangannya memburam. Katanya, dia terlalu lelah karena semalam tidak tidur mencari sabuk.
Harusnya Shanju marah, menangis, dan kecewa. Tapi, dia Shanju. Gadis yang tak pernah berkata perihal kesedihan yang begitu besar, meski ratusan jarum membuatnya menderita. Dia tetap tersenyum.
Jayden memeluk bahu Geladis untuk menenangkan sahabatnya itu.
"Dia emang kuat, Dis."
"Jayden! Paman habis hukum aku," ujar gadis SMA berbalut kaos coklat gambar bumi lengan pendek serta celana training hitam sedang berlari mendekat kearah Jayden. Terlihat banyak luka lebam di sekujur tangan Shanju. Bibirnya pun dihiasi aliran darah segar.
Buru-buru Jayden mendekat ke arah Shanju. Dipapahnya gadis itu, kaki yang selalu kuat menopang raga meski kepingan tajam menorehkan banyak luka.
Meski banyak orang berlalu lalang di sekitar taman, hal itu tak membuat Shanju malu karena penampilannya. Banyak pasang mata mengarah padanya, tapi Shanju tak peduli. Dia berniat kemari untuk menemui Jayden, bukan untuk memperdulikan mereka.
"Kenapa bisa kayak gini sih, Nju?" tanya Jayden gelisah. Air mukanya perlahan menggambarkan kesedihan. Sudut bibirnya melengkung kebawah. Matanya menatap nanar ke arah Shanju.
"Aku kemarin main ke gedung Paman. Tapi aku nggak sengaja jatuhin guci di ruangan paman. Katanya itu guci berharga, bahkan lebih mahal dari harga diriku." Penuturan Shanju membuat hati Jayden terenyuh. Jayden memeluk sahabatnya dengan tulus. Rasanya raga itu benar-benar rapuh.
"Tadi aku udah nangis di Geladis. Tapi, sekarang mau nangis lagi," jujur Shanju.
Dalam pelukan, Jayden mengangguk. Barulah Shanju menumpahkan sebuah rasa yang pernah dia pendam. Rasanya menyakitkan hidup bersama orang yang hanya memanfaatkannya.
Shanju menangis pilu. Bahkan isak tangisnya bisa terdengar oleh orang-orang sekitar yang sedang memanjakan diri di taman.
"Shanju, mulai sekarang kamu harus bahagia." Saat mengatakan itu Jayden ikut menangis. Shanju seperti menyalurkan seutas luka dalam pelukan.
"Kenapa Paman jahat, Jay? Atau memang orang bodoh tidak pantas hidup?" tanya Shanju seraya terisak tangis.
"Jangan berpikir seperti itu, Shanju. Jika kamu menjadi orang baik, maka hidupmu akan berakhir baik. Tak peduli seberapa kejam prosesnya. Kamu harus selalu berpikir positif untuk melangkah, agar selalu bahagia," tutur Jayden. Tangannya mengusap lembut surai legam Shanju.
"Hidupmu akan bahagia jika kamu berpikir semua akan baik-baik saja." Itu yang selalu Shanju ingat hingga detik ini.
Hari ini adalah titik lemah Shanju. Sekaligus hari terakhir Shanju menangis. Selepas itu, tak pernah ada lagi air mata menghiasi wajah cantiknya.
Mengingat waktu berduka kala itu, membuahkan hasil kesedihan di hati Jayden.
"Shanju dan Shaka, apa mungkin mereka masih bertahan di sini?" gumam Jayden.
Saat Geladis mendengar nama Shaka dia menegakkan tubuhnya. Kenapa otaknya baru bisa bekerja sekarang? Geladis merasa menjadi orang paling bodoh sedunia karena lupa tentang Shaka.
"Jay! Shaka itu hantu!" kejut Geladis. Segeralah dia membuka ponselnya. Banyak sekali notifikasi dari Bunda yang Geladis abaikan. Kini Geladis hanya fokus pada username instagram milik Shaka.
Geladis menunjukkan postingan tiga tahun lalu. Dimana hari kematian Shaka, ibunya memposting kabar duka. Tentu saja Jayden ikut terkejut bukan main.
"Maksudnya?!" cetus Jayden karena terkejut. Ini hal mustahil bukan? Bagaimana bisa sosok Shaka yang seharusnya sudah pergi membawa Shanju liburan?
"Kata Shanju, Shaka itu punya kekuatan super. Dia bisa mematikan semua lilin ruangan hanya dalam satu detik. Juga, aku kurang yakin tentang hal ini," cerca Geladis.
Jayden meletakkan kedua tangannya di pundak Geladis.
"Tentang apa, Dis?" tanya Jayden meminta jawaban.
"Shanju bilang, Shaka berasal dari semesta lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Of Universe
FantasyParallel Universe. ----- Seharusnya dari dulu Shanju tahu bahwa ada yang tidak benar tentang kemunculan Shaka secara tiba-tiba. Setelah 3 tahun tak pernah bertemu, Shaka berubah 180° dari sifat, penampilan, dan pembawaan diri. Awalnya Shanju menga...