Chapter 8: Dimension

31 10 15
                                    

Kecerdasan memegang peran penting guna berjalan dalam tatanan semesta

-o0o-

Kini berganti Shanju yang diam mengamati pergerakan Shaka. Ingin sekali bibirnya bertanya tentang banyak hal yang bersarang di kepalanya. Tapi, sepertinya penjelasan Shaka tak akan pernah mengobati rasa penasaran Shanju. Bahasa Shaka terlalu formal dan sistematis. Shanju tidak paham.

"Aku masih bingung dengan kehadiranmu disini," ujar Shanju. Sedangkan Shaka hanya terkekeh pelan. Dia menyelesaikan makan siangnya, diakhiri dengan mengusap area bibirnya dengan tisu.

Dari cara berpakaian, tingkah laku, dan ucapan, Shanju percaya bahwa Shaka adalah orang penting di semestanya.

Drttt ... drttt ....

Ponsel Shanju berdering. Menampilkan sosok yang sejak kemarin dinanti Shanju. Segeralah dia mengangkat telepon dengan penuh semangat.

"Halo, Paman?"

"Kamu dapat nilai D di mata kuliah akuntansi, Shanju?"

Shanju terkekeh pura-pura malu. Padahal aslinya dia tak peduli. "Iya, Paman. Akuntansi itu susah!"

"Anak bodoh! Apa kata publik jika paman mengangkat anak bodoh seperti kamu?! Benar-benar manusia tidak berguna!"

Seharusnya Shanju menunjukkan ekspresi sedih, bukan? Tapi nampaknya, kata bodoh sudah menjadi makanan sehari-hari hingga dia tak terkejut dengan cacian itu.

"Paman jangan bahas nilai terus! Udah tahu Shanju bodoh. Gak usah diungkit lagi, aku bosen dengarnya. Mending kita bahas, kapan Paman kasih aku uang?" Hanya beberapa detik kemudian panggilan terputus.

Shanju berdecak pelan. Kenapa Pamannya semakin hari semakin pelit? Tidak bisakah dia menyisihkan sebagain harta melimpah ruah itu untuk Shanju yang kelaparan ini?

"Pamanku udah miskin!" kesal Shanju karena tak mendapat haknya sebagai anak angkat.

"Kamu nggak sakit hati dikatain bodoh sama Pamanmu?" tanya Shaka, yang tidak sengaja mendengar percakapan Shanju dan Pamannya.

Jika sebagian orang akan merasa tersakiti karena ucapan pedas itu, maka Shanju tidak. Dia hanya kesal karena tidak mendapat uang. Bagi Shanju, uang adalah segalanya.

"Aku juga bingung sama diri sendiri. Emang sejak SMA aku nggak pernah ngerasa sakit hati atau perasaan sedih terlalu dalam. Kalo sedih ya sedih aja, palingan 1 menit cukup. Kalo marah, seingatku terakhir kali marah besar saat SMP. Sisanya cuman ada rasa bahagia. Kalo kata Jayden, hatiku sudah beku karena kelamaan disakiti. Jadi cuman menyimpan rasa bahagia," ujar Shanju. Mata Shanju coba menerawang masa lalu, dimana emosinya tak sama seperti sekarang. Rasanya, dahulu Shanju adalah gadis cengeng. Sangat berbeda sejak Shanju menginjak SMA.

Shaka mengeluarkan kartu dalam dompetnya. Kartu berwarna hitam yang diyakini adalah black card.

"Kamu bisa pakai ini kalau mau," tawar Shaka. Dengan secepat kilat jemari lentik Shanju menyambar kartu mahal milik Shaka. Siapa bilang Shanju tak memiliki sisa keberuntungan?

"Dengan kayak gini, tandanya kamu kasih aku keberuntungan. Tuh 'kan! Aku masih punya sisa keberuntungan," ujar Shanju penuh kebanggaan. Dia yakin seribu persen bahwa keberuntungannya tidak akan habis.

Respons Shaka hanya tersenyum tipis, sambil menggeleng pelan karena kelakuan unik Shanju.

Drttt ... drttt ....

Shanju berdecak malas. Dia yakin ini pasti pamannya. Tapi, saat matanya melirik kearah ponselnya, ternyata si pintar Jayden yang meneleponnya.

"Halo, kenapa Jayden?"

"Hari Rabu anak BEM ada acara ke villa nih,"

"Kamu mau ajak aku?"

"Iya! Geladis juga aku ajak. Mau ikut nggak?"

"Mau! Tapi Jayden yang bayar semua ya,"

"Iya, boleh. Udah dulu ya, dadah Shanju,"

"Dadah Jayden!"

Seperti biasa, Jayden selalu berbagi kebahagiaan pada Shanju dan Geladis.

"Mau kemana?" tanya Shaka penasaran.

"Mau ke villa, tapi gak tahu villa mana. Mau ikut?" tawar Shanju penuh antusias.

"Memang boleh?" tanya Shaka memastikan.

"Pasti boleh, 'kan kita punya Jayden," jawab Shanju dengan bangga. Meski sering dianggap tak tahu diri oleh Jayden, tapi si pintar itu selalu menuruti Shanju.

Kepintaran Jayden membuat semua orang segan padanya. Perintahnya selalu dituruti oleh anggota BEM meski dia bukan ketua.

-o0o-

Di semesta lain, dalam ruangan berisikan 23 manusia yang bekerja dalam penelitian astronomi. Grafik tatanan semesta sedang tidak stabil. Garis yang seharusnya berada selaras di tempatnya, kini berubah total hingga memberi bunyi nyaring tanda peringatan.

Beberapa menit kemudian terjadi gempa hingga membuat semua orang dikecam rasa resah berlebihan.

Beberapa bangunan roboh, banyak serpihan kaca berserakan dimana-mana.

Seorang dengan jas putih bername-tag Prof. Devita Angelina menjadi ketua pelaksana penelitian ini. Sudah 3 tahun lamanya mereka menjelajahi ruang, waktu, dan dimensi, anehnya hanya hari ini grafik semesta tak berjalan sesuai tatanan awalnya.

Banyak bencana alam yang tak seharusnya terjadi. Memberikan tatanan baru untuk grafik besar yang dipresentasikan pada tembok berukuran 5m × 10m.

Alarm tak henti berbunyi, menyebabkan semua orang panik.

"Prof!" panggil seseorang dari belakang. Dia berlari kearah Prof. Devita.

"Coba lihat ini!" tunjuknya ada tablet berukuran 30cm × 30cm. Di sana nampak struktur bumi yang tak sesuai dengan koordinat lintang dan bujur awal.

"Terjadi banyak pergeseran lempeng!" ujar Zen dengan penuh keresahan.

Bukan pertanda baik jika terjadi banyak pergeseran lempeng. Devita mengamati setiap gerakan laut dan tanah. Jika betul-betul diamati, memang letaknya sudah tak sesuai dengan titik koordinat semula.

"Apa yang harus kita lakukan, Prof?" tanya Zen.

Devita maju mendekat kearah monitor lain. Fokusnya mengarah pada rasi bintang angkasa.

Lama sekali sejak Devita mendiami Zen. Akhirnya dia menghentikan saluran kabel yang membuat alarm terus berbunyi.

"Selama rasi bintang Gatra masih utuh, maka semesta akan baik-baik saja."

The Secret Of Universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang