#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day1(Rabu)
#1.015kata"Saya terima nikah dan kawinnya Queenara Arraya dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"
Suara ijab-kabul masih terdengar menggema. Bahkan masih belum percaya jika akan melepas masa lajang dalam perkenalan yang cukup singkat dengan Mas Dewa.
Lelaki yang mampu membuatku jatuh cinta dalam kurun waktu satu bulan saja. Kami memang teman kecil, tetapi jarang sekali saling bertukar cerita. Tumbuh dewasa kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku yang berstatus sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan industri, sedang Mas Dewa menjabat sebagai manager di perusahaan ternama di Jakarta.
Jelas! Kami terpisah jarak dan kota, tidak saling bertegur sapa apalagi mencoba untuk menjalin cinta. Akan tetapi, siapa tau tentang jodoh, nyatanya Sang Semesta menyatukan kami dalam mahligai pernikahan.
Berawal dari satu bulan yang lalu, lelaki penyuka warna hitam itu pulang ke kota kelahiran, Cirebon. Tanpa sengaja kami bertemu di persimpangan jalan saat aku sedang menunggu angkutan umum untuk pulang ke rumah.
"Ara, 'kan?" tanya Mas Dewa yang kala itu aku masih samar menerka wajahnya.
"Iya. Emmm ...." Ucapanku menggantung, ingin menyebut nama Dewa, tetapi ada yang berubah dari wajahnya yang semakin rupawan.
"Dewa ... teman SD kamu!" katanya terlihat antusias.
"Oh ... Dewa! si tukang bolos itu 'kan? Ups!" Aku menepuk bibir ini, tidak sopan pertemuan pertama dibumbui kisah tidak indah.
Mas Dewa tertawa. "Ngapain?" tanyanya lagi.
"Nunggu angkot." Aku menatap wajah itu. Kulit yang dulu hitam manis kini berubah putih bersih dan membuat penampilannya terlihat sangat gagah.
Lelaki itu mencondongkan tubuhnya, menengok ke kanan dan ke kiri.
"Saya antar saja, Ra, gimana?" tawarnya sembari memamerkan kunci yang kini mengudara, dan kembali mendarat di telapak tangannya yang lebar.
"Kebetulan aku ambil cuti beberapa hari, mampir sebentar ke kafe buat ngopi. Gak taunya ketemu kamu di sini."
"Aku kerja di situ," ucapku sembari menunjuk gedung bertingkat di sebrang sana.
"Wah. Keren. Udah berapa lama?"
"Lumayan lah, dua tahunan, sebelum itu coba-coba jadi sales mall hehehe."
"Gak papa, Ra, yang penting kan halal."
"Aamiin. Insya Allah."
"Ya udah. Yuk."
Mas Dewa berjalan mendahului, terus aku menatap punggung itu. Punggung yang kini menjadi sandaranku.
Selembut itu dia membelai kepala ini, mengecup kecingku untuk yang pertama kali di mana kami telah sah menjadi sepasang suami-istri.
Kami duduk di kursi pelaminan, menjadi pemandangan terindah oleh para tamu undangan yang hadir. Tak kuasa dada ini berdebar-debar kala Mas Dewa mengusap punggung sembari berbisik.
"Masih kuat 'kan?"
Aku mengangguk, meski sejujurnya sangat lelah dan berat akan siger di kepala. Kemben yang ketat membuat tubuh ini terpaksa menegak. Jarik yang membuat kaki ini susah untuk duduk, serta sepatu hak tinggi yang membuat kakiku terasa sakit.
Aku kembali berdiri ketika para tamu datang, duduk lagi untuk meregakan otot-otot, kembali berdiri ketika para tamu kembali datang, terus begitu sampai aku benar-benar merasa lelah.
Mas Dewa pamit untuk menemui teman-teman SD-nya di sana, lelaki itu meninggalkanku dengan senyum manis yang lagi-lagi membuatku jatuh cinta.
Dia ... tak henti-hentinya memberi warna, memberi kebahagiaan dan kasih sayang setelah kepergian Mas Hisyam, lelaki yang hampir melamarku, tetapi lenyap ditelan waktu.
Aku sudah benar-benar tidak tahu keberadaannya, yang kuingat dia pernah berjanji untuk mempersunting diri ini, tetapi ... waktu tak kunjung bertemu, dia hilang tanpa kabar, pergi entah ke kota mana dengan meninggalkan banyak harapan yang harus kukubur dalam-dalam.
Lelaki berjas hitam itu kembali duduk di sampingku, menggenggam jemari dan menuntunku untuk berdiri kala tamu undangan kembali datang.
"Selamat ya Dew, Ra. Masya Allah ... jodoh memang misterus banget, ya!" Nadia, si gadis modis teman SD kami.
"Alhamdulillah Nad, semoga kamu segera menyusul," ucapku penuh harap.
"Aamiin."
***
Malam semakin larut, aku masih setia di balik pintu kamar mandi, menggenggam erat kimono yang kukenakan. Di luar sana ada Mas Dewa yang sedang merebahkan tubuhnya, aku tahu, karena sebelum membersihkan diri, lelaki itu meminta untuk beristirahat sejenak sampai aku selesai mandi.
Namun, tak ada nyali untuk menampakkan diri di hadapan Mas Dewa. Aku masih malu, benar-benar masih belum berani.
"Ra ...." Suara Mas Dewa. Mungkin dia heran mengapa aku tak kunjung keluar.
"Iya, Mas," jawabku ragu. Sedikit aku membuka pintu, mencondongkan tubuh untuk sekedar mengintip sedang apa wahai lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku itu.
"Kenapa?" Aku tertegun kala Mas Dewa menatapku dari pembaringan. Tangan ini semakin mengeratkan kimono putih yang melekat pada tubuh.
Lemah kepala ini menggeleng. Sungguh ... seperti ini rasanya menjadi pengantin baru, bersama dalam satu ruangan, saling memperlihatkan keistimewaan yang ada dalam diri.
"Belum selesai mandinya?"
"U--udah, Mas."
"Ya sudah, gantian. Mas Dewa capek pengen segera istirahat juga."
"Tapi ... aku lupa bawa baju ganti, Mas. Bisa keluar sebentar ga?"
Mas Dewa terdiam, dia menatapku bingung. Yah ... semoga saja Mas Dewa mengerti jika aku belum terbiasa membuka diri pada lelaki, meski status kami sudah halal dan sah-sah saja memperlihatkannya pada pasangan.
Suara renyah itu terdengar, Mas Dewa tertawa kemudian beranjak dari pembaringan dan mendekatiku. Sontak aku shock dan hampir menutup pintu, hanya saja lengan kekar lelaki itu lebih dulu menahannya.
"Mas Dewa!" Aku teriak sembari mendorong pintu sekuat tenaga, tetapi nihil, kekuatan Mas Dewa lebih luar biasa.
Aku mengalah, membiarkan lelaki itu masuk ke ruangan kecil ini. menahan detak jantung yang mencuat-cuat akibat Mas Dewa yang semakin mendekat.
Mata ini terpejam erat, melangkah mundur sampai tertahan pada dinding kamar mandi. Dan ... sebuah kecupan mendarat di kening memberikan kehangatan yang menjalar pada seluruh tubuh.
"Terima kasih Ra, aku harap rumah tangga kita bahagia dan harmonis," ucapnya sembari mengusap halus rambut yang masih basah ini.
Perlahan kubuka mata, menampakkan wajah lelaki tampan dengan raut kelelahan. Aku menghela napas, tersenyum dan mengangguk.
"Segera mandi, setelah itu istirahat," ucapku penuh dengan rasa bahagia.
Langkah ini kukayuh meninggalkan kamar mandi, mengambil handuk dan memberikannya pada Mas Dewa. Lelaki itu membersihkan diri, sedang aku segera mengganti baju dan menyiapkan makan malam. Teringat bahwa aku dan Mas Dewa belum mengisi perut sejak siang tadi karen tamu undangan yang tak kunjung usai.
Karpet usang yang kupunya menjadi alas makan kami. Malu sebenarnya melihat kepribadian Mas Dewa yang super mewah, tetapi apa daya, aku tak harus membeli yang baru 'kan untuk terlihat setara dengan dia. Toh, lelaki yang kini duduk di depanku juga tidak banyak bicara, dia menikmati masakan kampung yang kusajikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDERELLA DESA
RomanceAra, seorang wanita salihah yang berharap bahagia dalam pernikahanya, tetapi cinta masa lalu sang suami menjadi bumerang dalam rumah tangganya.