Bab 16 - Berpisah Berat, Bersama Sakit

139 15 0
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day16 (Rabu)
#1.000Kata

🎀🎀🎀

Mobil Mas Dewa berhenti di depan rumahku, rumah sederhana yang kutinggali sejak lahir. Jauh berbeda memang degan tempat tinggal Mas Dewa yang mewah, tetapi, meski begitu, aku sangat nyaman berada di rumah ini.

Mamah dan Papah tidak ikut serta, beliau hanya meminta menyampaikan salam untuk kedua orang tuaku dan memberikan rendang buatannya.

Ibu dan Bapak cukup terkejut akan kedatangan kami, pasalnya, kami tidak memberikan kabar apapun pada mereka.

"Gak berkabar Dewa, Ara?" kata Ibu. Wanita paruh baya itu sibuk menyiapkan sajian, teh hangat beserta kue kering buatannya.

"Suprise, Bu," kata Mas Dewa sembari tertawa kecil. Lelaki di sampingku ini pandai sekali menutupi rasa kecewanya. Iya, katakan saja begitu, Mas Dewa menutupi rasa tidak cintanya padaku di depan kedua orang tua kami. Lelaki ini berusaha keras untuk membuat kedua orang tua kami tetap tersenyum.

Namun, Mas Dewa tidak pernah bisa menutupinya dariku, Mas Dewa selalu jujur akan perasaannya padaku, pada perempuan itu.

"Dari Jakarta langsung ke sini?" tanya Bapak yang duduk di kursi depan kami.

"Maaf Ibu, Bapak. Kami menginap semalam di rumah Mamah," jawab Mas Dewa sopan.

"Oh. Ya gak apa-apa. Terima kasih Dewa sudah mau direpotkan Ara pulang ke Cirebon, jenguk Ibu dan Bapak juga." Bapak membuka tutup toples kue, menyuguhkannya pada kami.

"Rencananya sih, Ara mau di rumah dulu, Bu," kataku.

"Maaf Ibu. Dewa ada kerjaan di luar kota. Kasian kalau Ara di Jakarta sendirian," tutur Mas Dewa, tetapi, Aku tidak tahu jika Mas Dewa ada pekerjaan di luar kota, entah malas memberitahu atau memang ... ah, sudahlah.

Pikiranku tentang perempuan itu tidak juga pergi. Takut sekali rasanya jika Mas Dewa akan tetap berpaling dan membuat rumah tangga kami berhenti sampai sini, membuat kedua orang tua kami bersedih.

Ah, bahkan aku masih merasa takut kehilangan Mas Dewa, tetapi, masih juga bersi keras ingin berpisah.

"Dewa juga gak bisa nginep. Sore ini harus sudah balik ke Jakarta. Besok sudah harus berangkat ke luar kota."

"Lah. Capek di jalan Dewa. Ke sini cuman nganterin Ara saja."

"Ga apa-apa, Pak, Bu. Kasihan juga kalau Ara harus pulang sendiri naik kereta."

Ibu tersenyum, pun dengan Bapak. Kedua orang tercintaku itu terlihat bahagia dan mungkin merasa aman dengan kondisiku di dalam hidup Mas Dewa. Menantu yang baik, mapan dan perhatian terhadap putrinya.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 siang. Seusai salat Zuhur, Mas Dewa pamit pulang ke Jakarta. Mas Dewa juga bilang padaku bahwa minggu depan akan kembali menjemput, padahal aku tidak ingin kembali ke Jakarta, tidak ingin hidup dipenuhi bayang-bagang perempuan itu.

Sakit sekali rasanya jika mengingat bagaimana Mas Dewa merusak hari ulangtahunku, hari di mana seharusnya menjadi hari paling bahagia, tetapi, justru menggores luka.

Pandangan mataku terus tertuju pada mobil hitam milik Mas Dewa yang mulai meninggalkan rumah. Dulu, beberapa bulan yang lalu, mobil itu pula yang membawaku pergi dari rumah ini, dibumbui rasa haru karena saat itu adalah hari di mana aku akan mengabdi menjadi seorang istri.

Aku menghela napas, menahan sesak di dada. Tidak ingin rasanya membuat luka pada Ibu dan Bapak. Aku masuk ke kamar, merebahkan tubuh sembari memikirkan bagaimana kelanjutan rumah tangga ini.

Ingin berpisah, tetapi, Mamah seolah ingin agar aku tetap bertahan dalam mendampingi Mas Dewa, membantu hari-harinya agar Mas Dewa bisa melupakan perempuan itu. Ingin bertahan? Namun, rasanya berat sekali harus menjadi bagian hidup dari Mas Dewa dan dibayang-bayangi oleh perempuan lain.

Tidak terasa, aku menangis sendiri, meratapi nasib rumah tanggaku. Oh tidak! Meratapi nasibku sendiri, di mana aku yang berjuang, tetapi sang belahan jiwa tidak ikut berjuang.

***

Sudah jam 10 malam. Apakah Mas Dewa sudah sampai Jakarta? Sudah istirahat setelah mengemudi berjam-jam di jalanan? Atau ... justru Mas Dewa pergi ke kafe untuk menenangkan diri?

Bahkan pikiranku masih mengkhawatirkan kondisi Mas Dewa, apalagi beberapa hari lalu Mas Dewa sakit merintih karena demam.

Ingin sekali mengirimkan pesan padanya, sekedar menanyakan sudah sampai atau belum, sudah makan atau belum. Namun, lagi-lagi aku terlalu sakit hati setiap kali bayangan Perempuan itu kembali melimpir dalam ingatan.

Mas ... akankah rumah tangga kita berakhir sampai di sini? Hanya karena perempuan yang belum tentu menjadi masa depanmu.

Foto pernikahan yang mungkin dipajang oleh Ibu sewaktu aku sudah di Jakarta, terpampang di dinding kamar. Di sana tampak aku dan Mas Dewa sedang berpose saling berpelukan.

Seandainya rumah tanggaku seindah foto itu, foto yang jika dipandang akan menaburkan rasa bahagia.

Angin sepoi dari jendela kamar yang terbuka membuatku sedikit kedinginan. Aku bangkit dari pembaringan, berniat menutup jendela. Namun, ketika kulihat langit tidak ada bintang yang bekelap-kelip, bulan pun tertutup awan. Sepertinya malam ini cuaca mendung, semendung hatiku yang kelabu.

"Astaghfirullah hal'adzim," ucapku lirih. Aku terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga membuatku banyak kehilangan waktu berharga.

"Laa haula walaa quwwata illa billah."

Aku menutup jendela, kemudian kembali merebahkan tubuh dalam pembaringan.

Yaa Allah, Engkau Sang Maha pembolak-balik hati. Aku yakin, ini hanyalah sebuah ujian untuk rumah tangga kami. Aku yakin, Engkau memilihku karena aku mampu melewati ujian ini, 'kan? Engkau tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hanba-Nya.

***

Azan subuh berkumandang berbarengan dengan suara alarm ponsel yang segera kumatikan. Di luar kamar, terdengar suara merdu Ibu yang sedang mengaji. Ibu dan Bapak memang selalu bangun di sepertiga malam sampai azan subuh berkumandang. Keduanya kemudian salat berjamaah dan dilanjut aktivitas pagi lainnya.

Aku bangkit, membersihkan diri setelah itu bermunajat kepada Sang Pencipta, mengadu segala yang kurasa, meminta rida atas ibadah terlama dunia ini. Semoga Allah mudahkan untuk melalui ujian-ujian-Nya.

"Ra, sarapan dulu." Suara Ibu membuatku bangkit, membuka mukenah dan menghampirinya.

Kami duduk di meja makan sederhana. Di atas meja itu sudah tersedia nasi bungkus yang Ibu beli di tetangga.

Suasa seperti ini yang kurindukan. Bangun subuh, salat, sarapan bersama diselingi cerita-cerita Bapak sembari memberikan wejangan hidup.

"Hidup itu dijalani dengan sabar dan ikhlas, biar gak ngedumel. Kalau ikhlas segala sesuatunya mudah. Jika dijalani dengan marah-marah, gerutu, ngedumel jatuhnya capek, mbatin," kata Bapak di sela-sela sarapan kami

"Nikmati saja segala proses hidupnya. Sembari mencari jalan keluar, jangan lupa tetap ikhtiar, minta sama Allah," imbuhnya lagi. Aku manggut-manggut.

Aku suka dengan nasihat-nasihat Bapak, beliau belajar untuk tidak menyalahkan orang lain, tetapi, justru meminta agar diri sendiri lebih mendekatkan diri pada Sang Ilahi.

Bapak juga selalu mengingatkan untuk tetap mendoakan orang-orang yang tidak menyukai diri kita, sebab, doa-lah satu-satunya cara untuk membalas.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang