Bab 2 - Status Baru Sebagai Istri

148 15 4
                                    

#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day2(Jumat)
#1.134kata

Menikmati status baru sebagai seorang istri, menikmati melayani kebutuhan suami, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Meski pada hakikatnya itu adalah tugas suami, tetapi ... akan ada cinta yang Allah kirimkan untuk istri ketika membantu pekerjaan rumah tangga.

Setelah satu minggu tinggal di rumahku, kini tibalah hari di mana aku harus meninggalkan Ibu dan Bapak. Iya ... sejak kami memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, Mas Dewa sudah meminta agar aku mengikutinya tinggal di Jakarta, menemani hari-harinya di sana.

Kulihat kedua orang tuaku seolah tidak ada luka di wajahnya, atau mungkin mereka tutupi agar aku merasa lega saat meninggalkannya? Akan tetapi ... tidak bisa kupungkiri, meninggalkan Ibu dan Bapak adalah hal terberat dalam hidup. Sejak Mas Danu, kakak lelakiku menikah dan memilih untuk hidup mandiri, akulah orang yang selalu ada dalam hari-hari Ibu dan Bapak, bahkan setelah aku tamat sekolah, aku usahakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Aku ingin membahagiakannya tanpa terkecuali.

Napas kuhela penuh berat, kemudian menyeka ujung mata yang sudah berkali-kali menjatuhkan air dari sana. Aku tak kuasa meninggalkan Ibu dan Bapak, meski keduanya selalu mengatakan tidak apa-apa.

Mas Dewa mengusap punggungku, menenangkan, tetapi air mata ini tak juga mau berhenti. Kurengkuh kedua tubuh orang tercinta, berbisik meminta doa untuk keharmonisan dan keberkahan rumah tanggaku dengan Mas Dewa.

"Ibu sama Bapak sehat-sehat, ya. Jangan lupa kalau ada apa-apa langsung telepon Ara," ucapku sembari sesenggukan. Dikecupnya kedua pipi ini bergantian.

"Insya Allah Ibu sama Bapak sehat terus. Kamu juga harus sehat di sana, jadi istri yang baik untuk Dewa. Begitu juga Dewa, harus tahu caranya memuliakan istri, sama-sama harus sabar dan menurunkan ego," kata Ibu masih dalam pelukanku.

"Insya Allah Ibu. Doakan Ara dan Mas Dewa ya, Bu."

Aku melepas pelukan, kembali menyeka air mata yang tak kunjung reda. Kucium punggung tangan Ibu dan Bapak bergantian, tetapi serasa enggan melepaskan. Tangan ini yang selalu menengadah dan meminta cinta pada Allah untukku, tangan ini yang selalu menjadi obat kala aku sakit, kini ... sudah harus digantikan oleh orang lain, orang yang akan menggantikan tanggung jawab Bapak, yaitu Mas Dewa.

"Kami pamit ya, Bu," ucap Mas Dewa sembari mencium tangan Ibu dan Bapak.

"Titip Ara, ya. Ara orangnya perasa, mudah menangis dan tidak bisa dikerasi." Nasihat Bapak pada Mas Dewa semakin membuatku tergugu.

Lelaki itu ... lelaki yang tidak pernah meninggikan suaranya, tidak pernah kasar atau pun melukai hati. Bapak adalah laki-laki yang paling mengerti anak perempuannya. Setiap aku lelah, beliau mengusap kepala ini sembari memberi wejangan dengan suara lembutnya. Setiap kali mempunyai masalah, beliau pula yang siap mendengarkan keluh kesahku sampai aku menangis dalam pelukannya.

Bapak ... kuharap, Mas Dewa mampu mengemban amahnya menjadi seorang suami, membimbingku dan mencintaiku seperti Bapak dan Ibu memahami karakterku.

"Insya Allah, Pak," jawab Mas Dewa.

Lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku meraih jemari ini, menuntunku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku duduk di kursi penumpang di depan, sedang mas Dewa di kursi kemudi.

"Assalamu'alaikum," ucap Mas Dewa sembari menjalankan mobil, menyamarkan suara salam dari Ibu dan Bapak yang melambaikan tangannya.

Aku membalas lambaian itu dengan dibumbui rasa tidak rela meninggalkan, tetapi, memang sudah seharusnya mengikuti suami, menemani dan melangkah saling melengkapi.

Perjalan dari Cirebon ke Jakarta cukup panjang, aku hanya dapat menikmati pemandangan diselingi lelap yang berkepanjangan, sedang Mas Dewa tak ada suara, dia fokus mengemudi sembari menikmati iringan musik dari radio.

Mataku terjaga, pada saat itu pula mobil ini sudah berhenti tepat di samping sebuah plang bertulisan Sakura. Kupandangi sekeliling area tersebut. Bangunan tinggi saling berjejer di seluruh area ini. Tempat apa ini? Kantor Mas Dewa, kah?

"Sudah bangun?" Suara Mas Dewa membuatku terkejut.

"Maaf, aku memang selalu tidur setiap dalam perjalanan jauh," ucapku. Entah mengapa kebiasaan itu tak juga sirna sampa aku dewasa. Kantuk selalu menyerang setiap kali mobil berjalan.

"Ya sudah, turun, yuk!" ajak Mas Dewa sembari membuka pintu kemudian membuka bagasi belakang. Aku ikut serta membantu menurunkan koper-koper.

"Kita di mana, Mas?" tanyaku menghilangkan rasa penasaran.

"Apartemen. Tower Sakura lantai 18."

Mataku membelalak mendengar tempat tinggalku kini di tempat mewah, ah ... ini terlalu mewah.

Aku menghela napas, kemudian menarik koper dan mengekori Mas Dewa yang berjalan di depan. Lelaki itu masuk ke lobbi, berjalan sebentar dan berdiri di sebuah pintu cukup besar, lift. Bukan ... bukan maksud aku tidak mengerti menggunakan benda ini, aku juga pernah beberapa kali menggunakannya di sebuah mall, tetapi tidak tahu pasti apakah cara penggunaan lift di apartemen dengan mall sama?

Mas Dewa menekan tombol, dia juga mengangkat kepala, kemudian beralih pada pintu lift satunya.

Suara khas pintu terdengar, terbuka. Kami masuk dan berdiri sesuai arahan yang ada. Kali ini Mas Dewa menempelkan sebuah kartu pada tombol-tombol itu, kemudian menekan angka 18 barulah lift berjalan.

Kartu apa itu? Kenapa Mas Dewa menempelkannya di sana?

"Ini kartu akses masuk, Ra. Nanti aku kasih ke kamu satu, ya."

"Kartu akses?" Aku mengulang tidak mengerti maksud dari ucapannya.

"Kalau kamu mau masuk ke sini, harus pakai kartu akses," terangnya sembari memperlihatkan kartu itu. Aku hanya mengangguk bohong, masih tetap belum mengerti.

Kami telah sampai pada lantai 18, menyusuri lorong kosong yang hanya dipenuhi oleh pintu-pintu yang entah berpenghuni atau tidak di dalamnya .

Apartemen sederhana tetapi cukup nyaman untuk kami tempati. Tidak besar memang, hanya ada dua ruang tidur dan satu ruang tivi yang bergabung dengan dapur mini di sebelahnya.

Mas Dewa masuk ke kamar, dia segera merebahkan tubuh pada tempat tidur, mungkin perjalanan panjang membuatnya kelelahan.

Kubuka almari, kemudian merapikan pakaian-pakaian dalam koper untuk dipindahkan di sana.

"Kalau nyuci baju di mana, Mas?" tanyaku mengingat kediamannya ini sangat mungil. Kulihat dengan seksama pun tidak ada mesin cuci atau tempat untuk membersihkannya.

"Loundry."

"Kalau peralatan masak di mana?"

"Aku gak pernah masak, kalau lapar ya, turun ke bawah. Banyak kok tempat-tempat makanan enak di bawah apartemen."

Aku menatapnya yang masih memejamkan mata. Hidupnya sangat simpel, tidak dibuat susah, padahal sejak kecil aku harus berhemat bahkan menabung untuk membeli sesuatu atau bahkan untuk membayar uang sekolah.

Diri ini bangkit meninggalkan lelaki itu, mencari tahu isi apartemen, mungkin saja ada yang kulakukan saat Mas Dewa berangkat kerja nanti, menyiapkan makanan mungkin?

Di dapur kecil ini terdapat kabinet, di sana tersimpan beberapa alat masak, hanya saja tidak kumplit, mungkin karena Mas Dewa tidak biasa memasak sehingga dia malas untuk melengkapi alat dapur.

Sudah pukul 2 siang perutku lapar, tetapi aku tidak tahu harus memasak apa. Tidak ada beras, tidak ada sayuran atau pun makanan siap saji yang bisa kusantap.

"Mas, aku lapar, kita makan, yuk," ajakku pada Mas Dewa, lelaki itu hanya bergumam.

"Tapi kita salat dulu, habis itu turun cari makan." Kali ini aku masuk ke kamar, duduk di tepi tempat tidur sembari mengusap lengannya yang kekar.

"Iya, sayang."

"Ayo, Mas!"

Lelaki tampan itu bangkit, kemudian kami mengambil air wudhu bergantian, salat berjamaah di ruang tivi yang sekaligus menjadi ruang keluarga, setelah itu mencari makan untuk mengisi kekosongan perut ini.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang