Bab 13 - Aku Ingin Pulang
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day13(Rabu)
#1.000Kata🎀🎀🎀
Malam semakin larut, aku terkantuk-kantuk. Demam Mas Dewa belum juga turun, tidurnya merintih mungkin karena panasnya tinggi. Kasihan sekali lelaki ini, tidurnya gelisah tidak nyaman.
"Ada obat penurun demam gak, Mas?" tanyaku, mungkin saja ada P3K yang Mas Dewa simpan sebagai obat pertolongan pertama.
Lelaki itu bergumam, mungkin ingin menjawab tetapi demam tinggi membuat kepalanya pusing, sehingga sulit untuk mencerna ucapanku.
"Aku buatkan teh hangat, ya?" kataku, kemudian bangkit meninggalkan Mas Dewa di kamar. Mungkin dengan teh hangat dapat membuat suhu tubuhnya membaik.
Segelas teh kusajikan di meja, kemudian menuntunnya untuk duduk. Mas Dewa menyandarkan punggung pada sandaran tepat tidur, Matanya masih terpejam, mungkin demam dan pusing membuatnya benar-benar tersiksa. Aku menyuapi teh dengan sendok, kemudian memijat keningnya sekedar mencoba meredakan sakit di kepalanya.
"Udah, Ra," katanya dengan rintihan. Mas Dewa kembali merebahkan tubuh, berselimut tebal sembari meringkuk.
"Gak ada obat demam, Mas?"
"Gak ada."
Aku menggeliat, sudah jam 12 malam. Apotek mana yang masih buka?
Lagi-lagi kudengar rintihan Mas Dewa, membuatku segera mengusap kepalanya, berharap sentuhan ini dapat sedikit menenangkan gelisahnya.
"Besok aku beli obat penurun panas. Sekarang Mas Dewa istirahat, ya. Aku jagain Mas Dewa di sini."
Mas Dewa hanya diam tidak menanggapi, entah sudah tidur atau memang malas mendengarkan celotehku.
Lelaki dalam pembaringan itu masih merintih, aku merasa sedih sehingga membuatku susah untuk tidur karena tidak tega meninggalkannya.
Sampai jam tiga pagi, mataku masih terjaga, sedang Mas Dewa sepertinya sudah tertidur pulas. Mas Dewa sudah tidak lagi merintih, tidak lagi meringkuki selimut tebalnya. Namun, aku masih belum tega meninggalkan kamar ini, takut jika Mas Dewa membutuhkan sesuatu sedang aku tidak ada di sampingnya.
Bahkan, aku masih seperduli ini pada lelaki yang sudah menyakiti perasaanku, sudah menyia-nyiakan semua pengorbananku. Haruskah kali ini aku tega? Meminta izin pada Mas Dewa untuk mengistirahatkan hati yang rapuh dan hancur berkeping-keping?
Meski aku sendiri tidak tahu akan sembuh atau justru luka itu akan semakin dalam.***
Suara alarm dari ponsel Mas Dewa terdengar di saat azan subuh berkumandang. Rupanya aku tidak sadar tertidur di kursi kerja Mas Dewa.
Segera kumatikan alarm itu agar tidak mengganggu istirahat Mas Dewa, tetapi tidak sengaja kulihat ada sebuah notifikasi masuk dengan nama Maria di layar ponselnya. Dadaku berdebar-debar, bergejolak menahan sedih dan marah.
Semalaman aku menjaga Mas Dewa, semalaman juga aku rela tidak tidur nyenyak hanya agar Mas Dewa nyaman dalam pembaringan. Namun, apalah dayaku jika perasaan lelaki di depanku ini memang tidak bisa sedikit saja memilihku, meski entah dari segi mana. Setidaknya Mas Dewa sadar bahwa akulah perempuan yang halal baginya, bukan perempuan itu, apalagi perempuan lain.
Aku tergugu dalam diam sembari menatap layar ponsel dan wajah suamiku bergantian. Perempuan ini yang sedang berusaha kusingkirkan dengan sikap perhatianku pada Mas Dewa, tetapi ternyata percuma, lagi-lagi perempuan itu menang dengan segala yang dia miliki. Tidak kuat rasanya jika harus terus menerus berusaha tetapi tidak ada hasil. Sepertinya menenangkan diri adalah jalan satu-satunya untuk memikirkan kelanjutan rumah tangga kami.
Aku bangkit dan meninggalkan kamar, meninggalkan harapan untuk terus mengejar Mas Dewa agar tetap dalam pelukan. Namun, kali ini, aku benar-benar sudah tidak tahan, lelah dan patah rasanya.
Jam tujuh pagi aku menyiapkan bubur, kemudian membangunkan Mas Dewa untuk sarapan, sebelum itu membeli obat di apotek terdekat.
Aku menyuapinya dengan suasana hati yang hancur lebur, meski begitu aku menahannya agar tidak meletup-letup dan membuat kondisi kami malah semakin saling diam dan dingin.
"Mas, aku mau pulang," kataku setelah Mas Dewa selesai sarapan dan minum obat. Tidak ada respon, lelaki itu hanya memejamkan mata.
Entahlah, ini waktu yang tepat atau bukan, tetapi, sungguh aku sudah tidak sanggup jika harus hidup satu atap dengan lelaki yang mencintai perempuan lain.
"Maaf, tadi tanpa sengaja aku lihat notifikasi dari perempuan itu. Mas, kalau memang Mas Dewa masih mau memperjuangkan dia, sebaiknya aku yang mundur. Untuk urusan orang tua kita, biar kita cari alasan yang tepat." Berat memang mengatakannya, bahkan aku menahan air mata agar tidak jatuh.
Sebentar Mas Dewa menggeliat setelah itu kembali memejamkan mata.
"Aku izin pulang ya, Mas. Mungkin besok pagi. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri. Jangan takut aku mengatakan sesuatu hal yang tidak-tidak pada orang tua kita, aku janji akan menutupinya sebelum Mas Dewa siap untuk jujur pada mereka." Suaraku bergetar, beberapa detik kemudian tangisku pecah. Mau bagaimanapun tiga bulan adalah waktu perjuanganku untuk membuat Mas Dewa jatuh cinta, meski tidak ada hasil apa-apa.
Aku sesenggukan, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sakit sekali rasanya. Bermenit-menit tangis itu pecah, tetapi tidak ada respon apapun dari Mas Dewa sampai aku lelah.
Meninggalkan Mas Dewa mungkin akan lebih baik. Aku masuk ke kamar sebelah, lagi menangis dan menangis sejadi-jadinya sendirian, tanpa pelukan dari orang tersayang.
***
Aku bangun, kepalaku pusing. Mungkin akibat terlalu lama menangis sampai ketiduran. Sejenak menggeliat pada jam dinding yang sudah menunjukan jam 2 siang.
Aku segera bangkit untuk melaksanakan salat zuhur. Saat melintasi kamar Mas Dewa, sepertinya lelaki itu masih di dalam sana. Pasti belum makan dan minum obat. Aku menghiraukan, harus belajar untuk tidak perduli padanya.
Seusai salat perasaanku masih tidak tenang, memikirkan Mas Dewa sedang apa di dalam kamar. Akhirnya kuputuskan untuk menjenguk Mas Dewa, rupanya lelaki itu masih terlelap. Kusentuh keningnya, demamnya sudah turun. Mas Dewa menggeliat kemudian mengubah posisi memunggungi.
"Aku siapin makan siang ya, Mas."
"Nanti aja," jawab Mas Dewa.
"Aku sipain di kamar."
"Nanti aja," katanya lagi. Aku diam kemudian meninggalkan Mas Dewa.
Sebaiknya aku merapikan pakaian, apa yang perlu dibawa pulang, meski akhirnya hampir semua kumasukkan ke dalam tas. Masih ada rasa berat? Pasti! Hanya saja, aku sudah tidak punya pilihan selain sama-sama menenangkan diri. Mungkin cara ini lebih ampuh dari cara apapun.
Sebuah kotak berisikan satu set perhiasan emas, kado ulang tahun dari Mas Dewa beberapa hari yang lalu. Kupandangi, bahkan belum satu pun kupakai dalam tubuh ini. Kalung yang cantik, cincin yang manis, gelang yang lucu. Mungkin, aku merasa amat sangat bahagia jika hadiah ini diberikan dari orang yang menyayangiku, tetapi melihatnya saja justru membuatku teramat sakit.
Kuletakan kembali benda itu pada lemari, mungkin satu set perhiasan inilah satu-satunya benda yang tidak akan kubawa pulang. Meski sudah menjadi hakku, tetapi ada yang menolak dari dasar hati ini.
Biar kenangannya saja yang kubawa, jangan barang-barangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDERELLA DESA
RomantizmAra, seorang wanita salihah yang berharap bahagia dalam pernikahanya, tetapi cinta masa lalu sang suami menjadi bumerang dalam rumah tangganya.