Bab 9 - Perempuan Bertato Bunga

80 13 1
                                    

#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day9(Senin)
#1.012Kata

"Pagi tadi, aku ketemu sama teman Mas Dewa?" kataku ketika kami sedang menikmati makan malam. Sederhana, hanya ayam mentega dan sayur bening, tetapi aku bersyukur melihat lahapnya Mas Dewa dengan makanan sederhana ini.

Aku ingat sekali bagaimana rasanya memasak dengan cinta, melahirkan debaran dan rasa bahagia.

"Siapa?" tanya Mas Dewa sembari menyeruput sayur itu.

"Namanya Mas Bayu, katanya."

Lelaki itu mengangguk tanpa menjeda makanannya.

"Katanya teman dekat Mas Dewa?"

"He-em," jawabnya singkat membuat aku berdecak, kesal. Adakah jawaban lain yang membuatku merasa lebih lega?

"Iya!" ucapnya, mungkin lelaki di sampingku memahami istrinya yang merasa kesal.

"Teman kuliah. Dulu sering nginep di kostan dia juga, setelah menikah aja, jadi jarang."

Kali ini aku yang mengangguk.

"Oh iya, Mas. Kata Mas Bayu ...." Aku menghentikan kalimat. Ingin bertanya tentang pilihan orang tua Mas Dewa yang sempat Mas Bayu ceritakan tadi pagi, tetapi apa tidak akan mengundang pertengkaran, ya?

Namun, sungguh ada rasa penasaran. Seiring berjalannya rumah tangga yang kami  jajaki, hal-hal yang mungkin Mas Dewa tutupi  sedikit demi sedikit mulai menjadi pertanyaan. Tentang foto perempuan itu dan tentang perjodohan?

Semuanya ingin kujawab satu persatu, tetapi harus dengan cara yang cantik dan elegan agar tidak mengundang pertengkaran. Aku yakin, kalau pun kenyataannya pahit, aku harus mampu melewati ujian ini, karena Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Mas Dewa meletakan sendok dan garpunya, lelaki itu kemudian menatapku, mungkin menunggu kalimat apa yang ingin kutanyakan padanya.

"Mas Bayu baik, ya?" Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku yakin, tidak mungkin bertanya perihal perjodohan itu, kenapa? Kami baru saja saling mengenal, belum tahu bagaimana sifat dan karakter Mas Bayu. Aku tidak bisa semena-mena percaya begitu saja.

"Baik. Sering bantu Mas Dewa juga kalau lagi kesusahan." Mas Dewa kembali menyantap makannya, menghabiskan sisa nasi dan lauk yang tinggal beberapa suap lagi.

Lelaki itu meletakan kedua alat makan di atas piring setelah menyelesaikan makannnya, kemudian meneguk segelas air putih yang sudah tersaji.

"Bisa bikin spageti?" tanya Mas Dewa, aku menoleh menatap kedua bola mata itu.

"Enggak tau, deh. Aku cek youtube mungkin, yah."

"Kalau bisa, besok bikin spageti, ya!" Bibirnya mengembang menambah kesan tampan dan gagah di wajahnya. Aku membalas senyum itu, kemudian mengangguk.

Senang rasanya jika Mas Dewa puas dengan masakanku, meski masih banyak makana  favorite Mas Dewa yang harus kupelajari dark internet, tidak membuatku putus asa, justru membuatku semangat agar Mas Dewa semakin betah di rumah.

Aku merapikan meja dan mencuci piring. Waktu sudah semakin malam, Mas Dewa sudah masuk ke kamar, lelaki itu kembali sibuk dengan alat elektroniknya, merapikan berkas-berkas kantor yang katanya untuk miting besok.

Wahai suamiku, sebenarnya ada rahasia apa yang kamu sembunyikan, sehingga membuat hatiku merasa tidak tenang. Suamiku, apakah aku belum pantas untuk menjadi tempatmu pulang? Sehingga tidak ada sedikit pun sesuatu hal penting yang ingin kamu ceritakan. Padahal, aku ingin sekali saling berbagi kisah yang mungkin dapat membuat rumah tangga ini semakin harmonis, membahas masa depan kita, misalnya? Membahas buah hati? Namun, aku tidak bisa apa-apa, aku harus terus berhati-hati agar tidak ada kesalahpahaman yang membuat hubungan kami menjadi fatal.

Mas Dewa menyimpan laptonya, lelaki itu merebahkan diri dalam pembaringan di sebelahku. Matanya memejam, mungkin rasa lelah membuatnya segera terlelap.

Pelan kucium keningnya, mengusap pipinya dan menepuk-nepuk lengannya agar merasa lebih nyaman.

Mas Dewa, aku mencintaimu, entah perasaan itu tumbuh sejak kapan, tetapi cinta saja tidak cukup jika setiap hari disakiti. Aku harap Mas Dewa mau memperjuangkanku dalam keadaan apapun.

***

Mas Dewa sudah berangkat kerja, aku seperti biasa, membersihkan dan merapikan rumah, setelah itu berjalan-jalan sembari mencari kebutuhan untuk dimasak malam nanti.

Menjaga keharmonisan itu tidak cukup hanya dengan hidup berdua dalam satu atap saja, tetapi menurutku harus bisa memberikan sesuatu hal yang pasangan kita inginkan, salah satunya memasak makanan kesukaan.

Perubahan yang kurasakan setelah itu adalah, Mas Dewa lebih sering pulang tepat waktu, menemaniku dan menikmati makan malam berdua di rumah, menjadikanku semakin bersemangat dalam menyajikan makanan di meja. Bukankah yang setia akan kalah dengan yang selalu ada? Eh, begitu bukan, ya, kata-katanya? Yang pasti, aku ingin selalu ada untuk Mas Dewa, mendampinginya dan mendukungnya.

Saus sambal, saus tomat, saus bolognese,  tomat, kecap manis, sosis dan mie spageti sudah kudapatkan di mini market. Ini pesanan Mas Dewa untuk makan malam nanti, dan aku harus membuatkannya dengan penuh rasa cinta, agar menghasilkan rasa yang istimewa. 

Setelah semua sudah kudapatkan aku kembali ke apartemen, tetapi baru sampai lobi tanpa sengaja aku menabrak seorang perempuan dan membuat belanjaan ini jatuh berantakan.

"Maaf-maaf, Mbak," ucapku segera menunduk dan merapikan barang belanjaan. Namun, jemari ini berhenti begitu saja, ketika kedua bola mataku menatap tato bunga di lengan perempuan itu.

Tato yang sama persis dengan tato perempuan yang ada di foto itu. Perlahan aku mengangkat tubuh, mencoba melihat siapa wahai perempuan yang kini ada di depanku.

"Maaf ya, Mbak. Ini belanjaannya. Maaf saya buru-buru," ucapnya yang membuat tubuhku ikut bergerak kemana perginya wanita itu.

Perempuan berambut panjang yang hanya dapat kupandang punggungnya itu berlalu dari hadapanku.

"Apa dia tinggal di apartemen ini juga?" Aku bermonolog, merasa semakin khawatir dengan ... Mas Dewa!

Iya ... ada sesuatu yang mengganjal ketika Mas Dewa mengatakan bahwa perempuan itu mantan kekasih teman kantornya, dan aku tidak percaya. Aku merasa bahwa Mas Dewa berbohong, merasa jika perempuan itu ada hubungannya dengan Mas Dewa, entah di masa lalu, atau bahkan di masa yang baru kami jalin ini.

"Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Pak Satpam membuatku terperangah, tersadar jika aku masih berdiri di tengah pintu lobi, tempat keluar-masuk para tamu.

"Maaf-maaf, Pak." Aku berlalu meninggalkan lelaki berseragam itu, berjalan menuju lift dan masih dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Siapa sebenarnya perempuan itu?

Sampai rumah, kusimpan barang belanjaan di dalam kulkas, kemudian beristirahat di sofa. Bayangan tato bunga itu kembali terlintas dalam ingatan. Aku yakin, tato itu sama dengan tato perempuan yang ada di foto itu.

Tempat sampah yang terletak di sisi pintu menjadi tujuanku. Namun, ketika kubuka dan berharap masih menemukan sobekan foto tersebut, ternyata Mas Dewa sudah membuangnya, sehingga aku tidak dapat menemukan bukti apapun.

"Aku harus tahu, harus menemukan bukti siapa sebenarnya perempuan itu!"

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang