Bab 23 - Adaptasi Seumur Hidup

152 16 0
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day24(Senin)
#1.000Kata

***

Berlalu ... meski kedepannya aku tidak tahu akan bagaimana perjalanan rumah tangga kami. Setelah satu ujian selesai, maka Allah akan uji dengan ujian-ujian lainnya. Aku hanya berharap, meski menyerah sering kali melanda, semoga saja aku tetap mampu untuk berdiri dalam mahligai cinta ini.

Bukankah masa depan karena adanya masa lalu? Maka dari itu, aku mencoba untuk melupakan masa lalu Mas Dewa, apalagi tentang Maria. Mungkin, sekarang memang sudah seharunya aku merasa yakin jika Mas Dewa sedang belajar untuk tidak terjerumus kembali pada mantan kekasihnya.

Perhiasan yang pernah Mas Dewa berikan untuk menjadi kado ulang tahunku waktu itu, kini sudah berada di tanganku lagi. Mas Dewa memohon-mohon agar aku kembali menerimanya, kembali memulai rumah tangga yang hampir sirna.

"Sayang." Suara Mas Dewa membuatku terkejut. Lelaki itu datang dari balik pintu, mendekatiku yang duduk di tepi tempat tidur.

Semenjak masalah Maria berlalu, Mas Dewa sering sekali memanggilku dengan sebutan 'Sayang', dan itu membuatku merasa tersanjung dan dihargai.

"Iya, Mas." Aku menatapnya.

"Keluar, yuk? Jalan-jalan, mumpung hari Minggu," ajak Mas Dewa. Lelaki itu duduk di sebelahku.

"Pengen sih. Tapi males, Mas. Kayaknya enak di rumah, deh."

Padahal dulu, aku berharap sekali bisa sering menghabiskan waktu bersama Mas Dewa. Namun, beberapa hari ini rasanya malas untuk sekedar haha-hihi di tempat tongkrongan atau tempat yang terlalu ramai.

"Mumpung hari Minggu. Udah lama juga, 'kan kita gak jalan-jalan."

"Mas Dewa sendirian aja, ya? Aku males banget, Mas. Capek. Subuh udah bangun, nyuci baju, masak, beresin rumah. Rasanya, capek banget," keluhku mengingat pekerjaan rumah yang setiap hari tidak ada habisnya.

"Kasian. Maafin Mas Dewa ya, gak bantu apa-apa." Mas Dewa mengusap kepalaku.

"Atau mau Spa?" usul Mas Dewa. Aku menggeleng. Rasanya rebahan di atas tempat tidur lebih menggiurkan dari pada menghabiskan waktu di luar.

Mas Dewa berdecak. "Terus maunya apa?"

"Rebahan aja di rumah aja, Mas. Kalau Mas Dewa ada perlu, gak apa-apa, keluar aja."

Mas Dewa memang tipikal laki-laki yang tidak betah di rumah, sering kali keluar hanya karena bosan dan ingin menghilangkan penat.

Jika dulu, aku marah karena sering ditinggal-tinggal, kini ... aku harus lebih memahami karakter dan kepribadiannya.

"Yakin? Gak apa-apa Mas Dewa tinggal?"

Aku mengangguk, kemudian menyusun bantal untuk merebahkan tubuh. Ah, rasanya nyaman sekali.

"Pulangnya malem, loh."

"Kayak pernah pulang cepet aja," sindirku, Mas Dewa tertawa.

"Gak apa-apa nih Mas Dewa tinggal?"

"Iya, Mas! Tapi jangan kemaleman juga pulangnya."

"Iya. Insya Allah, Mas Dewa usahakan."

Lelaki berkaus hitam itu pergi meninggalkan kamar, melahirkan suara pintu apartemen. Aku yakin, Mas Dewa akan pulang malam. Lelaki itu jarang sekali menepati janji, maka dari itu, aku harus lebih berlapang hati.

Pikiranku beralih pada sekeranjang jemuran kemarin yang belum kusetrika. Mungkin, mengerjakannya sekarang akan membuat semuanya lebih rapi, tetapi rasa malas semakin hari semakin melanda. Aku jadi sering mengulur waktu mengerjakan sesuatu. Meski begitu, Mas Dewa tidak pernah marah, meski seharian aku rebahan, tidak mengerjakan apa-apa. Justru akulah yang masih sering menyalahkan Mas Dewa. Padahal aku sadar, Mas Dewa bekerja untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhan rumah. Pulang malam sekedar untuk menghilangkan penat.

Setelah amarah terlampiaskan, barulah aku merasa bersalah, meminta maaf pada Mas Dewa. Lelaki itu selalu tidak masalah, tidak membesar-besarkannya agar aku terpojokkan.

"Maafin Ara, Mas," kataku setiap kali rasa bersalah itu datang.

"Gak apa-apa," jawabnya sembari memainkan ponsel. Aku tahu Mas Dewa kecewa akan sikapku yang menyebalkan, tetapi dia tidak pernah memperlihatkannya.

***

Malam semakin larut, dan benar saja Mas Dewa belum juga pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Ingin mengiriminya pesan, sekadar menanyakan keberadaannya, tetapi takut mengganggu waktu Mas Dewa. Akhirnya kubiarkan saja sampai jam berapa Mas Dewa akan pulang.

Sebenarnya simpel, jika ingin dihargai, maka harus belajar menghargai, itu tips menjauhkan diri dari pertengkaran. Jika ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan, maka kejujuran adalah kucinya, meski menyakitkan, tetapi dari kejujuran semuanya akan lebih tahu, mana yang harus didahulukan, mana yang harus diprioritaskan, mana juga yang tidak perlu dilakukan.

Hidup berdua dalam satu atap itu adalah pekerjaan rumah mengenal karakter pasangan seumur hidup, tidak ada batasnya. Karena dari mengenal karakter itulah, menjadikan rumah tangga lebih harmonis.

Sudahlah, jangan terlalu banyak curiga. Percaya saja, bahwa Mas Dewa memang laki-laki yang tepat untuk mendampingiku seumur hidup.

"Assalamu'alaikum." Suara Mas Dewa membuatku bangkit, bersegera menghampirinya. Lelaki itu membawa beberapa kantung plastik yang diletakan ya di atas meja.

"Wa'alaikum salam. Bawa apaan, Mas?" Aku mencium punggung tangan kanannya.

"Belanja sedikit. Kulkas kosong deh, kayaknya." Mas Dewa tersenyum.

Ah, iya. Beberapa hari ini perutku sering kalo merasa lapar, alhasil isi kulkas menjadi penyelamatnya.

"Iya. Maaf ya, Mas. Akhir-akhir ini Ara suka mudah lapar. Malas turun. Jadi apa yang ada di kulkas Ara ambil."

"Gak apa-apa. Nanti besok kamu rapiin ya. Sekarang Mas Dewa mau salat, terus istirahat."

Mas Dewa mencium keningku, kemudian berlalu ke kamar mandi. Aku menyiapkan baju ganti, setelah itu membuka kantung plastik dan merapikan isi kulkas.

Toh, sejak pagi aku hanya menghabiskan waktu di tempat tidur, jadi ... untuk merapikan isi kulkas yang tidak seberapa ini tidak akan membuatku kelelahan.

Ada roti, bisuit, cemilan-cemilan pedas, mie instan, minuman berasa, dan beberapa kaleng kopi untuk dikonsumsi Mas Dewa. Bahkan, suamiku membelikan banyak makanan ringan untuk cemilanki setiap hari.

"Sayang."

"Iya, Mas." Aku menghampiri Mas Dewa.

"Mas Dewa kan bilang besok pagi aja."

"Gak apa-apa. Lagian gak banyak, kok."

"Ya sudah. Sekarang istirahat, kamu pasti capek."

"Capek apa sih, Mas. Dari pagi sampe malam, aku cuman di rumah, rebahan, tiduran, nonton tivi sambil ngemil, sambil main hape. Gak ada kerjaan berat."

Mas Dewa tertawa. "Iya ... iya."

Kini, kami sama-sama menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Bercerita tentang masa kecil kami. Bercerita tentang ... cinta monyet kami yang justru membuat kami tertawa.

Melalui proses ujian yang tidak sebentar, membuat kami semakin saling mengenal satu sama lain, belajar saling menghargai dan membuat kami lebih dekat.

Matanya hitam legam, hidungnya tinggi, bibirnya tipis kemerahan. Kusentuh pipinya, dan sekilas kucium bibirnya, sayang, rengkuhannya justru membuatku tidak bisa menolak ajakan berikutnya.

Mas Dewa dengan lembut membimbingku meraih pahala, meraih kenikmatan dan keindahan syurga dunia.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang