Bab 24 - Mengenang Mas Kecil

246 17 1
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day26 (Jumat)
#1.000Kata

"Ara berangkat ya, Bu?" Aku mencium punggung tangan ibu. Bapak sudah menunggu di depan rumah bersama sepeda ontel yang menjadi kebanggaannya.

Aku duduk di boncengan, memegang erat kedua pinggang Bapak. Lelaki yang kini mengemudi sepeda itu selalu banyak bercerita setiap kali mengantarku sekolah, atau bercanda mengolengkan setir sepeda untuk membuat kerenyahan perjalanan kami.

Sesampainya di sekolah, Bapak tidak langsung pulang. Lelaki terhebatku itu melanjutkan perjalanan menuju kebun. Bukan milik kami, tetapi milik tetangga yang dikelola Bapak untuk menanam sayur-sayuran. Sebagian hasilnya dibagi untuk pemilik kebun tersebut sebagai tanda sewa.

Hasil sayur-sayuran yang Bapak tanam akan dijual di pasar, sebagian kecil untuk kebutuhan sehari-hari di rumah. Tidak jarang aku ikut andil membantu Ibu dan Bapak berdagang, sehingga orang-orang banyak yang mengenalku.

Aku bukan termasuk murid yang sangat berprestasi, tetapi bukan juga murid yang malas. Meski begitu setiap tahun aku selalu masuk dalam jajaran sepuluh besar di kelas. Sedang Mas Dewa kecil? Lelaki itu justru memiliki kemampuan belajar yang luar biasa, selalu mendapatkan peringkat satu. Dengar-dengar setiap pulang sekolah Mas Dewa diharuskan untuk mengikuti les privat beberapa mata pelajaran tertentu, seperti matamatika, bahasa inggris, biologi, ekonomi dan ilmu pengetahuan sosial.

Di kelas aku menjadi anak pendiam, hanya berteman dekat dengan beberapa orang saja. Jika teman-teman yang lain bercanda saat jam kosong, aku hanya memandanginya saja, tidak ikut andil. Berbeda dengan Mas Dewa, lelaki itu bisa bermain dengan teman laki-laki lainnya, seperti bermain robot-robotan atau mobil-mobilan yang dia bawa dari rumah.

Ekonomi keluarga yang berkecukupan membuat Mas Dewa mampu membeli mainan-mainan bagus dan mahal, membuat teman-teman lainnya iri, karena hanya Mas Dewa yang memiliki mainan bagus seperti itu. Namun, meski begitu, Mas Dewa tidak pelit, dia selalu mau bermain dengan teman-teman lainnya, meminjamkan mainan dengan syarat harus dikembalikan.

Setelah tamat sekolah dasar, aku melanjutkan sekolah menengah pertama di Arjawinangun sampai sekolah Menengah atas bersama beberapa teman lainnya. Sedang Mas Dewa melanjutkannya di Jakarta,  sampai melanjutkan sekolah tinggi hingga akhirnya mampu bekerja di perusahan ternama, sedang aku? Sampai SMA saja sudah sangat bersyukur, setelah itu melanjutkan bekerja di industri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena setelah kebun milik tetangga dijual, tidak ada lagi penghasilan dari kedua orang tua.

Aku bahagia, meski harus menghabiskan masa mudaku untuk bekerja, setidaknya aku mampu memenuhi semua kebutuhanku sendiri, ditambah mampu menucukupi kebutuhan keluarga.

Lama ... sekitar lima tahun aku menjadi buruh pabrik, menghabiskan setiap hariku di tempat tersebut. Meski begitu, aku tetap merasa bahagia karena teman-teman kerjaku yang menyenangkan.

Sedang Mas Dewa? Aku tidak tahu, bagaimana dia menghabiskan masa mudanya. Sejak berpindah kota dari Cirebon ke Jakarta, aku tidak tahu kabarnya, sehingga ketika pertama kali bertemu kembali, aku sempat tidak mengenalnya.

Tinggi, putih, bersih dan rapi. Dia juga gagah dengan style kemeja khas orang kantoran, berbeda denganku yang setiap hari memakai baju seragam biru dengan logo perusahaan. Pagi terlihat cantik, pulang kerja sudah bau keringat, kucel pula.

Semua berlalu begitu cepat, sampai akhirnya Allah mempersatukan kami dalam mahligai rumah tangga, dalam belajar memahami karakter dan berusaha berlapang dada menerima masa lalu kami masing-masing.

Aku yang beberapa kali dikecewakan laki-laki, dan Mas Dewa yang pernah tidak bisa melupakan masa lalunya. Semua memang butuh perjalanan, sedikit demi sedikit untuk beradaptasi dan memahami, sehingga akhirnya semua menjadi lebih baik.

Sebuah buku kenangan tersimpan di lemari buku Mas Dewa. Di sana, kami, teman-teman SD menuliskan biodata lengkap, mulai dari nama, hobbi, hingga pesan dan kesan selama kami belajar di sekolah tersebut. Tidak terasa 14 tahun berlalu begitu cepat,  kenangan itu kini menjadi memori dalam ingatan.

"Kangen, ya?" Kehadiran Mas Dewa membuatku terkejut. Senyum ini mengembang.

"Gak kerasa ya, Mas, sudah 14 tahun berlalu."

"Kangen masa kecil. Setiap pulang sekolah masih bisa main meski setelah itu Mamah mewajibkan Mas Dewa harus les privat." Lelaki itu tertawa renyah.

"Tau deh, yang selalu juara kelas."

"Mau juara kelas, atau tidak, yang penting punya niatan dan usaha untuk terus belajar, 'kan? Kalau cuman les-les tapi gak serius, ya mana tau hasilnya bagaimana. Sama kaya kamu. Punya semangat buat belajar, sehingga selalu masuk 10 besar. Itu sudah hebat, Sayang." Mas Dewa mengusap kepalaku.

Tubuh kusandarkan pada dada bidangnya, memberi kenyamanan dan kehangatan. Kubuka kembali lembar demi lembar buku kenangan itu, beberapa foto dengan gaya kami masing-masing tersimpan juga di sana. Lucu sekali. Ada yang memamerkan dua jari, pose sakit gigi, pose sakit kepala, pose sakit perut dan pose model lainnya.

"Pose Mas Dewa selalu cool, kenapa sih?" tanyaku melihat posenya selalu saja tidak pernah gagal. Mas Dewa mengangkat kedua bahunya.

"Jangan-jangan, itu yang membuat Mas Dewa banyak disukai perempuan? Termasuk ...." Aku menggantung kalimat. Nama perempuan itu tiba-tiba saja hadir dalam ingatan.

"Termasuk kamu?" Dia mencolek hidungku penuh manja.

"Ish ... enggak ya! Dulu aku mana suka sama Mas Dewa. Temenannya kan cuman sama anak laki-laki."

"Terus sekarang temenannya sama kamu. Teman seumur hidup, lagi."

Ucapan Mas Dewa membuat dadaku berdebar. Aku menyembunyikan wajah pada dadanya.

"Kenap, sih?"

"Malu, ih."

"Malu-malu. Kalo begituan gak pernah malu deh, kayaknya."

"Mas Dewa, ih!" Kupukul dadanya, lembut. Kenapa juga Mas Dewa jadi membahas ke hal-hal intim sih! Kan makin malu.

***

Benda kecil yang kubeli di apatek tadi masih kugenggam, masih kupandangi bungkusnya yang berwarna biru.

Sejak pertama kali menikah, belum sekalipun aku mengecek kehamilan melalui tespek, selain karena aku merasa jarang melakukan hubungan dengan Mas Dewa, juga karena aku belum siap untuk memiliki buah hati.

Namun, sekarang aku benar-benar berharap di dalam rahim ini memiliki kehidupan malaikat kecil kami. Belum telat memang, hanya saja bukankah proses pembuahan terjadi dalam waktu 24 jam, dan bisa dicek setelah 7-14 hari setelahnya.

Aku masih duduk di kloset, membuka pembungkus dan menatap benda kecil panjang ini. Kata orang benda ini 99 persen ampun untuk membuktikan kehamilan, meski yang lebih ampuh adalah kontrol ke dokter kandungan. Tidak ada salahnya bukan untuk mencoba lebih dulu.

Setelah eksreksi yang kusimpan pada wadah kecil, dan mencelupkan tespek pada cairan itu, ada debar di dada ini, takut  sekali merasa kecewa dengan hasilnya.

"Tunggu aja sampai lima menit," Begitu saran dari teman yang sudah pernah melakukan tes kehamilan melalui tespek.

"Bahkan dulu aku pernah telat dua minggu, tapi hasil tespek garis satu. Besoknya aku tespek lagi, aku tinggal beberapa saat, Alhamdulillah hasilnya garis dua. Tespek itu hanya benda, tidak 100 persen konkrit, hanya 99 persen. Nah, mungkin yang 1 persen itu pernah aku alami," tuturnya lagi memberikan sebuah pengalaman agar aku tidak terlalu berharap pada benda panjang kecil ini.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang