#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day4(Rabu)
#1.011kataSepanjang membersihkan tubuh, tak henti- hentinya bibir ini mengembang, mengingat betapa manisnya Mas Dewa memperlakukanku semalam. Lelaki itu bahkan sering sekali bertanya, nyamankah? Sakitkah? Membuatku merasa tersanjung. diingat-ingat ini pertama kalinya Mas Dewa bersikap manis, sangat manis. Kemarin-kemarin, mana ada? Dia sangat cuek.
Mas Dewa masih terlelap, sedang aku sudah rapi dengan rambut yang masih basah. Aku duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambutnya yang tebal.
"Mas bangun, yuk. Sudah subuh dari tadi, loh." Pipinya kusentuh, diusap dengan lembut.
"Bangun, mandi, solat terus siap-siap."
"Emmm ...," gumamnya sembari mengubah posisi memunggungiku, mungkin masih ingin terlelap.
"Kalo bangunnya susah, nanti tambah siang, solat subuhya jadi kesiangan."
"Iya. Lima menit lagi."
"Sayang ...," panggilku sembari menyentuh lengannya, tetapi lelaki yang tidur memunggungiku itu menjauh, merapatkan diri pada dinding kamar.
"Sebentar lagi, Sayang. Masih ngantuk," keluhnya sembari meraih guling dan memeluknya.
Aku menggeleng melihat tingkah Mas Dewa yang manja. Sembari menunggu Mas Dewa bangun, aku menyiapkan sarapan, lagi-lagi roti tawar serta selai yang semalam Mas Dewa bawa bersama barang belanjaanku.
Tidak masalah, yang penting aku sudah berusaha melayani suamiku, meski hanya seadanya saja.
Segelas kopi hitam sudah tersaji bersama roti dan buah apel, sepertinya kedua makanan ini adalah favorit Mas Dewa, mengingat lelaki itu sering sekali membelinya dan menjadikannya sarapan.
Mas Dewa keluar dari kamar, lelaki itu tersenyum sembari mendekati dan mencium kening. "Selamat pagi," ucapnya mengusap kepalaku. Aku jadi salah tingkah. Ah Mas Dewa.
"Mandi, gih. Nanti kopinya keburu dingin."
"Bisa dihangatkan lagi kan, sama kamu, kaya semalam."
Kedua mataku melotot, refleks memukul lengannya. Mas Dewa tertawa kemudian kabur ke kamar mandi.
Mas Dewa, kenapa diingatkan lagi, sih. Aku kan jadi malu.
***
Seharian ini seperti biasa, aku hanya berleha-leha di rumah. Rebahan di kamar, bermain ponsel atau menonton televisi. Meski begitu aku tetap ingat bagaimana sikap Mas Dewa sebelum berangkat kerja. Lelaki itu banyak bertanya, mau dibawakan buah apa? Makanan apa? Atau sesuatu hal lainnya. Sungguh, aku merasa seperti ratu.
Namun, ada sesuatu hal yang membuat pandanganku beralih, sebuah benda kecil berwana cokelat muda. Itu dompet Mas Dewa, ah rupanya ketinggalan. Kok bisa kelupaan, sih? Bagaimana nanti Mas Dewa membeli susuatu.
Iseng aku membukanya, ingin tahu apa isi dari dompet lelaki mapan itu. Ada beberapa kartu ATM, surat izin mengemudi, beberapa lembar uang cash, dan ... dua foto perempuan, satu diantaranya fotoku memakai baju berwarna merah muda beserta kerudung senada, satu lainnya perempuan dengan rambut tergerai, cantik, putih, dia menggunakan kalung berliontin love dan bertato bunga di lengannya.
Ada denyut di dada ini, membuatku merasa tidak nyaman. Siapa wahai perempuan ini yang bahkan tersimpan pada benda penting milik Mas Dewa?
Aku menggeleng kuat, tidak boleh berpikiran macam-macam. Mungkin saja itu foto teman lamanya, atau ... bahkan masalalunya?
Benda berwarna cokelat itu kembali kuletakan pada meja mini bar setelah merapikan foto pada tempat semula, kemudian menghubungi Mas Dewa, mungkin saja Mas Dewa mencarinya.
"Assalamu'alaikum, Ra, kenapa?" salam Mas Dewa.
"Wa'alaikum salam, Mas. Eh, ini, Mas. Dompet Mas Dewa ketinggalan."
"Ya ampun. Pantesan Mas Dewa cari gak ketemu."
"Iya, ada di meja, Mas."
"Pesanan kamu jadi gak bisa Mas Dewa beliin, dong."
"Gak apa-apa, Mas. Bisa lain waktu. Tapi nanti Mas Dewa makan siangnya gimana, kan dompetnya ketinggalan."
"Gak apa-apa. Gak usah khawatir."
"Oh iya, Mas ...." Aku menggantung kalimat, ingin bertanya tentang foto perempuan itu. Hanya penasaran. Ah, tidak! Sebenarnya merasa cemburu jika benar itu foto masalalu Mas Dewa. Namun, apa tidak akan membuat fokus Mas Dewa beralih, dia kan sedang bekerja.
"Begini saja. Nanti pulang kerja kita makan di luar, ya?"
"Yakin? Nanti pulang malem, lagi. Gak tepat waktu."
"Insya Allah. Mas Dewa usahain."
"Ya udah. Assalamu'alaikum." Aku menutup panggilan setelah mendengar salam dari Mas Dewa.
Mata ini kembali menatap dompet itu, ingin membukanya lagi, tetapi takut nyeri di dada malah membuat air mata jatuh tak tertahan.
Aku mengembuskan napas penuh kasar, membuang pikiran buruk jauh-jauh. Tidak mungkin Mas Dewa memiliki hubungan dengan perempuan lain 'kan? Atau tidak mungkin juga Mas Dewa masih memiliki perasaan pada mantan kekasihnya.
Aku yakin, ini hanya sebuah foto saja, tidak ada hal-hal buruk seperti apa yang aku pikirkan.
Aku kembali duduk di sofa, menikmati televisi yang menampilkan drama Korea.
***
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dan suara pintu. Rupanya Mas Dewa sudah pulang.
Kulepas mukenah kemudian melipatnya dan meletakkannya di atas sajadah, kemudian segera menghampiri Mas Dewa yang kini duduk di sofa sembari menyandarkan punggungnya.
Kulihat ada beberapa kotak hitam tersimpan di meja mini bar. Aku mendekatinya.
"Kamu belanja apa, sih? Banyak, berat pula!" kata Mas Dewa dengan mimik wajah masam.
"Alat dapur, tapi elektrik gitu loh, Mas," Aku membuka satu persatu kotak paket itu, membuat kedua sudut bibir ini terangkat.
"Ngapain beli begituan?"
"Aku gak bisa pakai kompor itu, Mas. Jalan satu-satunya masak pakai alat elektrik lah.
"Ya ampun!" Mas Dewa bangkit, meraih jemari ini dan membawaku berdiri di depan kompor. Lelaki itu menekan sebuah kontak, kemudian menyalakan kompor.
"Udah! Beres!" ucap Mas Dewa kembali menekan kontak itu, dan mematikan kompornya.
Aku diam, sedikit kesal. Kenapa kemarin-kemarin Mas Dewa tidak mau mengajariku? Sekarang setelah barang-barang ini datang Mas Dewa malah marah dan baru mau memberitahu caranya.
"Lagian, kalau segala sesuatu harus menggunakan listrik, bayarnya mahal Ara ... Queenara Arraya."
"Ya, maaf. Lagian kemaren Mas Dewa gak mau ngajarin aku. Malah suruh liat youtube."
"Itu supaya kamu bisa belajar sendiri, gak harus bergantung terus sama orang lain. Gimana kalau Mas Dewa ada apa-apa, misalnya ada kerjaan di luar kota dan ninggalin kamu."
"Ya, aku ikut ke luar kota, lah. Masa Mas Dewa tega ninggalin istrinya sendirian di apartemen." Aku melet kemudian tertawa kecil.
"Dasar kamu tuh, bisa aja." Lelaki itu mencolek hidungku penuh manja, aku tidak tinggal diam, langsung memeluk tubuhnya dan mencium pipinya.
"Janji makan di luar 'kan?" ucapku mengingatkan.
"Maunya jadi apa engga?"
"Iiihhh ... aku sengaja gak makan biar bisa makan berdua sama Mas Dewa. Jangan bikin mood aku turun, deh."
"Iya ... iya, Sayang. Ya sudah, Mas Dewa mandi dulu, abis itu kita makan." Lelaki itu melepaskan pelukanku kemudian tanpa diduga Mas Dewa mencium singkat bibirku, membuatku merasa tersanjung. Hari ini sikap Mas Dewa benar-benar sangat manis dan membuatku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDERELLA DESA
RomanceAra, seorang wanita salihah yang berharap bahagia dalam pernikahanya, tetapi cinta masa lalu sang suami menjadi bumerang dalam rumah tangganya.