#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day11(Jumat)
#1000KataLagi-lagi aku hanya dapat menghela napas, menahan gejolak di dada, menahan air mata agar tidak tumpah ruah.
Mendengar pengakuan Mas Dewa membuatku teramat sedih, seolah perjalanan selama tiga bulan ini tidak ada hasil apa-apa. Aku kira hatinya telah tumbuh hanya untukku, tetapi semua itu salah, mungkin sikap manisnya adalah sikap persembunyian dari rasa masa lalu.
"Dia cantik, pengertian, perhatian," ungkapnya lagi yang membuatku semakin merasa bahwa aku bukanlah siapa-siapa, tidak penting baginya.
Seorang perempuan yang sudah sah menjadi tulang rusuknya, kemudian sang suami malah lebih memuja perempuan lain, perempuan yang pernah singgah di hatinya, bukan! Masih singgah di hatinya, sampai yang halal dikalahkan.
Aku mengangguk, masih mendengarkan kabar indah apa yang perempuan bernama Maria itu miliki. Selain cantik, perhatian, pengertian, apa lagi yang membuat Mas Dewa memujanya?
Namun, lima menit berlalu, lelaki itu tak lllidak bersuara. Mas Dewa memejamkam mata, mungkin sedang membayangkan Memon romantis yang pernah mereka lalui.
"Mas Dewa masih mau memperjuangkan dia?" tanyaku, matanya terbuka kemudian kedua sudut bibirnya terangkat.
"Kalau masih, lepaskan saja aku. Toh, belum ada yang harus Mas Dewa tanggung." Satu minggu yang lalu aku baru saja suci dari haid, belum ada tanda-tanda bahwa aku berbadan dua, mungkin berpisah lebih membuatku merasa lega karena aku tidak perlu lagi mencintai laki-laki yang tidak mencintaiku.
"Mas, untuk apa aku bertahan, berjuang, jika laki-laki yang aku doakan tidak pernah mau mengharapkan kehadiranku." Nada suara ini kupelankan, berharap tidak ada pertengkaran yang berlebihan di antara kami.
Bukankah bertengkar hanya akan menghabiskan energi? Terlebih menasehati orang yang sedang jatuh cinta, aku yakin tidak akan ada benarnya.
Mas Dewa diam, matanya menatap langit-langit kamar, sedang aku masih menahan gejolak di dada. Tiga bulan ini aku berusaha menjadi istri yang baik untuknya, kukira ada cinta di hatinya, ternyata hanya kiasan belaka.
"Lalu, kenapa Mas Dewa mau menikah denganku, jika hati dan perasaan Mas Dewa masih untuk perempuan itu?" Entahlah, untuk menyebut nama Maria saja rasanya aku tidak sudi.
"Keinginan mamah," ucapnya. Dadaku berdebar-debar, semakin menahan air mata, semakin aku tersiksa. Berarti benar kata Mas Bayu, kalau pernikahan ini atas dasar perjodohan, tetapi kenapa Ibu dan Bapak tidak membicarakannya lebih dulu padaku, jika iya ini adalah perjodohan antara kedua orang tua kami.
Ibj Widiya, ibunda dari Mas Dewa. Wanita paruh baya yang aku tidak cukup kenal dengan beliau. Kami hanya sekedar saling mengenal, tetapi tidak cukup akrab untuk gambaran seorang anak muda dan ibu paruh baya. Dengan Ibu? Sama, kurasa mereka tidak cukup akrab.
"Kenapa gak ditolak?"
"Mamah yang meminta aku menikahimu, mamah yang meminta aku agar bisa mengenal kamu lebih jauh."
"Dengan alasan apa? Sehingga Mas Dewa luluh mau mengikuti keinginan Mamah Widiya?"
"Mas Dewa sudah berjanji, kalau perempuan yang mamah pilihkan jauh lebih baik dari Maria, Mas Dewa bersedia untuk menikahinya."
"Apa menurut Mas Dewa aku cukup baik dari perempuan itu?"
Mas mengangkat kedua bahunya sembari tersenyum.
"Kalau begitu, lepaskan saja aku, Mas. Biarkan kita hidup masing-masing tanpa ada paksaan dalam urusan jatuh cinta." Sadar atau tidak aku memutuskan ingin mengakhiri pernikahan ini, tetapi mendengar pengakuan Mas Dewa rasanya jiwa ini hancur lebur, membuatku seolah percuma memperjuangkannya.
Aku bangkit, pamit ke kamar mandi. Di sana, di ruangan kecil ini aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan sakit hati yang sudah kutahan berjam-jam lamanya.
Mulut ini kututupi dengan telapak tangan, menahan suara agar tidak terdengar oleh Mas Dewa. Lama ... lama aku meratapi peliknya rumah tangga yang baru seumur jagung ini. Sesaknya dada membuatku tergugu, terbelenggu, ragu untuk melanjutkan status yang seharusnya menjadi pahala, tetapi membuatku tersiksa.
Isak tangis yang semakin menjadi-jadi, membuat napasku hampir habis. Aku beristighfar berulang-ulang, semoga dapat membuatku merasa lebih tenang.
"Laailaaha illallah ...." Aku mengatur napas.
"Laa haula walaa quwwata illaa billahil 'aliyyil adzim," Mata ini memejam sembari terus mengatur napas yang masih terasa sesak.
Diri ini masih belum merasa lebih baik, tetapi aku takut Mas Dewa berpikir macam-macam karena aku terlalu lama di kamar mandi. Setelah merasa sedikit lebih lega, aku mencuci muka, Meksi tidak menghilangkan bekas tangis, setidaknya aku sudah mau menampakkan diri di hadapannya.
"Aku tidur di kamar sebelah ya, Mas," kataku tanpa menatapnya lebih dulu. Aku hanya berusaha sekuat hati mengambil sesuatu yang penting untuk kubawa di kamar sebelah .
"Hem," balas Mas Dewa. Bahkan lelaki itu tidak sedikit pun ada niatan untuk bertanya aku kenapa? Atau ... berusaha menenangkan hati dan pikiranku yang berkecamuk.
Aku meninggalkan kamar ini, kamar kami berdua. Kemudian masuk ke dalam ruangan yang lebih kecil, merebahkan tubuh di kasur yang ukurannya tidak seberapa. Iya ... kamar ini memang sengaja di design untuk usia remaja, sehingga ukuran dan kapasitasnya terbatas.
Aku pikir ruangan ini akan menjadi ruangan buah hati kami nanti, tetapi sepertinya tidak akan ada lagi harapan itu, hanya sebuah bayangan yang kini harus segera kusirnahkan.
Aku kembali menangis, meski kuseka berulang-ulang tidak dapat membuat air mata ini berhenti, dia terus mengalir menyesakkan dada dan harapanku untuk beribadah seumur hidup bersama Mas Dewa.
Ibu ... Bapak, maafkan aku jika keputusanku akan menyakiti perasaanmu, tetapi ... sungguh, mencintai seseorang yang tidak mencintaiku rasanya lebih sakit.
Aku tidak yakin akan sanggup jika terus hidup bersama Mas Dewa, laki-laki yang sudah menikah tetapi masih mengharapkan perempuan lain.
Berjam-jam aku menangis dalam rasa sakit, memikirkan pernikahan ini, sedang Mas Dewa? Kurasa Mas Dewa bisa saja, atau mungkin Mas Dewa merasa lebih bahagia karena nantinya Mas Dewa bisa kembali lagi bersama perempuan itu.
Sudah pukul dua pagi, tetapi aku masih tergugu, membasahi bantal, kasur bahkan selimut yang menjadi tempat hangatku dari ketidak baik-baikanku.
***
Suara alarm dari ponsel membuatku menggeliat, sudah pulang lima pagi, azan subuh juga sudah berkumandang. Namun, kepala ini terasa pusing, mungkin karena semalaman kelelahan. Kumatikan alarm itu, kemudian Kembali memejamkan mata, berharap nanti setelah bangun rasa pusingku sudah hilang.
Aku membuka pintu, entah sudah tidur berapa lama, yang pasti ketika membuka jendela, terik matahari sudah berdiri di atas langit.
"Yaa Allah, belum solat subuh," ucapku kemudian bersegera mengambil air wudu dan mendirikan kewajiban.
Aku menatap pintu kamar yang terbuka, sepertinya Mas Dewa sudah berangkat kerja.
Maafkan aku, Mas, pagi ini aku bahkan tidak sama sekali melayanimu. Menyiapkan sarapan, menyiapkan baju kerja bahkan mencium punggung tanganmu. Rasa sakit malam tadi masih terasa di dada, sehingga membuatku buta untuk berbakti padamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDERELLA DESA
RomantizmAra, seorang wanita salihah yang berharap bahagia dalam pernikahanya, tetapi cinta masa lalu sang suami menjadi bumerang dalam rumah tangganya.