Bab 4 - Membutuhkan Perhatian

88 13 4
                                    

#fcp
#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day4(Rabu)
#1.084kata

Alarm dari ponsel berdering, aku menggeliat, ketika azan sedang berkumandang merdu. Mata ini terbuka sempurna, di sampingku sudah ada Mas Dewa yang masih terlelap, entah lelaki tampan itu pulang jam berapa, tetapi, baju kemeja dan celana hitam yang kemarin dia pakai untuk bekerja tergeletak begitu saja di lantai, mengganti dengan kaus dan celana pendek untuk beristirahat.

Kebiasaan yang baru kutahu setelah kami menikah, padahal tempat baju kotor sudah kusediakan di dekat kamar mandi, tetapi, Mas Dewa selalu saja meletakkannya di dalam kamar, asal pula.

Aku mengusap kepalanya, mencium pipinya dengan hati-hati. Lelaki itu bergumam, mungkin sentuhanku membuatnya terganggu.

"sssttt ...," desisku sembari mengusap-usap lengannya agar Mas Dewa kembali terlelap. Entahlah, mengapa aku suka sekali menyentuhnya, seolah ada yang membuatku merasa lebih nyaman ketika kulit kami saling beradu.

Kurapikan baju dan celana kotor, kemudian membersihkan diri dan bermunajat kepada Sang Maha Kuasa.

Sebuah plastik bermerk tersimpan di atas meja mini bar, aku yakin Mas Dewa telah membeli beberapa makanan untuk sarapan hari ini. Benar saja, sebungkus roti tawar dan beberapa selai rasa buah serta keju batang tersimpan pada plastik bermerk itu.

Napas kuhela. Makanan sehari-hariku kali ini sudah seperti orang luar negri saja, tidak ada nasi dan lauk pauk yang istimewa.  Sudahlah, harusnya aku bersyukur masih bisa makan dan mengisi energi untuk aktivitasku di rumah ini.

Waktu sudah hampir siang, aku membangunkan Mas Dewa, setelah itu menyiapkan sarapan roti selai dan segelas kopi untuk Mas Dewa.

***

"Mas Dewa gak bosen makan begini terus?" tanyaku hati-hati. Lama tidak bertemu dan bertegur sapa selama berpuluh-puluh tahun membuatku canggung untuk meminta sesuatu apapun padanya, meski Mas Dewa teman SD dan kini sudah menjadi suamiku, tetapi, kami tidak seakrab teman lainnya, sehingga membuatku sering merasa kikuk.

"Enggak." jawabnya singkat tanpa memandang perempuan yang duduk di sampingnya. Lelaki berkemeja itu dengan santai memakan roti serta menyesap kopi bergantian.

"Oh." Aku hanya ber'oh' ria.

Beberapa minggu menjadi istrinya, kini semakin tahu  pribadi Mas Dewa yang ternyata cukup cuek, meski begitu Mas Dewa tidak rewel dalam hal mengurus rumah. Misalnya, aku belum membereskan kamar, mencuci piring atau mencuci baju yang sudah menumpuk, Mas Dewa tidak ada komplen apa-apa.

"Aku pengen bisa masak loh, Mas?"

"Belajar, lah. Kompor kan ada," tunjuknya pada benda di ujung sana.

"Maksudku, aku pengen bisa masak pake kompor itu. Mas Dewa bisa ajarin aku, gak?"

"Searching aja sih di internet, youtube, kan banyak tutorialnya." Mas Dewa melahap roti terakhir, meraih gelas berisi air putih dan menghabiskanya.

Aku berdecak pelan, kecewa dengan jawaban Mas Dewa.

Kepala ini mengangguk terpaksa, meski sebenarnya hanya untuk sekedar formalitas menyahuti ucapan Mas Dewa.

"Aku pulang telat, ya. Kalau mau makan tinggal turun aja ke bawah. Cari makanan apa yang kamu suka," katanya sembari memberikan dua lembar uang seratus ribuan di atas meja.

Napasku tertahan menatap dua lembar kertas berwarna merah itu. Bahkan uang yang kemarin-kemarin Mas Dewa berikan pun masih utuh tanpa ada kekurangan sedikit pun.

"Pulang jam berapa?" Semenjak Mas Dewa masuk kerja, lelaki itu belum sekalipun pulang tepat waktu, selalu saja di atas jam 10 malam, entah hal apa yang dia lakukan sepulangnya dari kantor.

"Seperti biasa, kalo gak jam 10, ya ... jam 11 lah, atau bisa lebih dari itu."

"Bisa pulang sebelum isya gak, Mas?"

Lelaki yang kini berdiri menggunakan tas ransel itu menatapku, diam. "Lagian aku gak tidur di luar rumah, kan, Ra. Aku selalu tidur sama kamu, di kamar."

Iya ... memang, tetapi setiap kali Mas Dewa pulang aku sudah terlelap, tidak menyambut kedatangan Mas Dewa, tidak mencium tangan Mas Dewa, atau ... mencium kening ini untuk sekedar melepas rindu karena seharian tidak bertemu. Bukankah pengantin baru sedang hangat-hangatnya bermesraan? Namun, entah mengapa dengan rumah tangga kita yang tidak ada kehangatan di malam hari.

Kembali kepala ini mengangguk dengan terpaksa. Aku tidak ingin ada perdebatan, atau lebih tepatnya aku sadar diri karena setelah menjadi istrinya, kebutuhanku ditanggung penuh oleh Mas Dewa.

"Ya sudah. Hati-hati di jalan." Kuraih tangan kanannya, menciumnya dengan lembut.

"Kamu hati-hati di rumah," ucapnya sembari mengusap kepala dengan rambut basah, basah tanpa ada sesuatu hal yang kami lakukan sebelum ini.

Aku tersenyum, lembut mencium pipi suamiku, meski lagi-lagi tanpa balasan.

"Assalamu'alaikum," Mas Dewa berlalu tanpa membalas ciumanku.

"Wa'alaikum salam," ucapku sedih, lagi-lagi tanpa kehangatan yang lain.

Aku menatap punggung lelaki berkemeja itu, dia hilang di balik tembok tempat lift berada.

Ada yang tersayat di dada, tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya bahwa aku sedih dengan sikap Mas Dewa yang cuek. Mungkin menurut Mas Dewa uang bisa membuat aku bahagia, padahal kehadirannyalah yang aku butuhkan, kehangatannya yang aku harapkan. Aku kesepian. Ingin rasanya menghabiskan waktu berdua, sekedar menceritakan masa-masa sekolah dulu atau membahas masa depan rumah tangga yang sedang kami jalani.

Namun, aku tidak bisa gegabah, aku belum cukup hapal karakter Mas Dewa, maka dari itu harus lebih sabar menghadapinya, harus tahu apa yang aku lakukan padanya, berimbas baik atau bahkan sebaliknya.

Kupandangi setiap pintu-pintu yang berjejer di sisi kanan-kirinya. Di dalam pintu itu ada penghuni, tetapi, tetap membuatku merasa kesepian karena kami tidak saling bertegur sapa.

**

Aku mulai bosan dengan aktivitas di dalam rumah. Akhirnya jatah uang yang setiap hari Mas Dewa berikan padaku, kugunakan untuk belanja kebutuhan melalui toko online. Magicom contohnya, serta beberapa kebutuhan dapur yang dapat berfungsi hanya dengan aliran listrik.

Aku bernapas lega, setidaknya bisa makan nasi setiap hari, sedang untuk kebutuhan sayur-mayur, aku bisa belanja di pasar, meminta antar Mas Dewa.

Lega rasanya, aku tidak akan merasa bosan lagi dengan hanya sarapan roti atau buah-buahan saja, aku akan memasak makanan kesukaan Mas Dewa juga.

***

Setelah Mas Dewa berangkat kerja, aku membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci baju serta merapikan beberapa buku-buku yang semalam Mas Dewa baca hingga berserakan di lantai. Rupanya kisah sejarah sangat digemarinya, terbukti dari rak buku yang isinya kebanyakan tentang kisah-kisah masa lalu negara-negara lainnya.

Lelaki itu memang tampak cerdas setiap diajak berdiskusi, memberikan arahan sesuai logika dan menurutku memang tepat, meski begitu aku suka dengan sikapnya yang tidak rewel, tidak menuntut agar aku bisa melakukan ini dan itu. Mas Dewa berusaha menerima apapun yang ada dalam diri gadis kampung ini.

Hanya saja, lelaki itu tidak cukup perhatian dan tidak romantis, membuatku terkadang merasa iri pada perempuan-perempuan yang diperlakukan bak seorang Cinderella oleh suaminya.

Akan tetapi, aku juga sadar Allah akan memberikan pasangan yang kita butuhkan, bukan? Mungkin kekurangan yang dimiliki Mas Dewa mampu menyempurnakan kekuranganku, pun sebaliknya.

Rumah sudah tapi, perut mulai keroncongam. Roti di atas meja mini bar kuraih, memakannya seperti pagi tadi, menggunakan selai cokelat dan keju parut.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang