Bab 14 - Berpisah atau Bersama

153 15 2
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day13(Rabu)
#1.000Kata

🎀🎀🎀

Sebenarnya aku tidak tahu jalan pulang. Harus naik bus apa atau kereta dari mana. Aku mengatakan hal kemarin pada Mas Dewa hanya agar Mas Dewa luluh dan kasihan. Namun, melihat dari responya, sepertinya Mas Dewa tidak peduli.

Pagi ini, bahkan aku sudah siap untuk meninggalkan rumah, rumah yang setiap hari menjadi temanku. Mungkin, setelah ini Mas Dewa akan mengurus dirinya sendiri. Makan masakan luar juga menggunakan jasa pembersih lainnya lagi.

Aku keluar kamar dengan menjinjing tas besar. Di depan ada Mas Dewa yang tengah menonton televisi. Lelaki itu tidak sedikit pun menoleh, matanya hanya fokus pada layar di depan sana.

"Aku pamit pulang ya, Mas. Maaf kalau selama tiga bulan ini aku belum bisa jadi istri yang Mas Dewa harapkan, belum bisa memenuhi semua apa yang Mas Dewa inginkan. Semoga, dengan jalan ini kita bisa sama-sama lebih menghargai hubunga untuk kedepannya, mau dengan siapapun kita nantinya." Aku menarik napas, sesak di dada rasanya mau pecah. Mas Dewa masih saja diam. Sebentar kudekati lelaki itu, lelaki yang sudah kucintai, yang sudah kudoakan setiap hari. Sekedar menjabat tangan yang masih berstatus halal, besok? Entah, kita masih bisa bersentehun atau tidak.

Ingin rasanya menangis dalam pelukan, tetapi apa tidak akan memberatkan Mas Dewa jika aku meminjam tubuhnya untuk menajdi sandaran?

Kutatap langit-langit ruangan ini, menahan gejolak yang hampir menjatuhkan air mata.

Tangan kuulurkan, tetapi, Mas Dewa tidak kunjung membalas. Lelaki itu masih saja sibuk dengan televisinya.

"Mas! Aku mau pamit!" Sungguh, kali ini gejolak itu tidak bisa kutahan lagi setelah beberapa hari menahan diri. Air mata itu jatuh berlinang membasahi pipi dan kerudung abu muda yang kupakai.

Aku rasa, aku sudah sabar menghadapi Mas Dewa. Menahan sakit hati dan cemburu. Bagaimana tidak? Seorang suami yang seharusnya menjadi pelindung bagi istri, mengatakan bahwa dia lebih mencintai perempuan lain. Terlebih seacuh itu Mas Dewa padaku.

"Tolong bicara! Jika ingin berpisah ya sudah, mari kita berpisah!" Suaraku semakin naik, apalagi setiap mengingat kejujuran Mas Dewa tentang perempuan itu, perempuan yang sudah merebut takdir cinta kami.

Tangisku semakin pecah, kemudian aku luruh jatuh ke lantai, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Rasanya tangguhku sudah tidak sekuat dulu, semakin hari aku semakin melemah, semakin tidak berdaya.

"Mari kita berpisah, Mas," ucapku lagi dalam tangis yang sesenggukan. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan itu, aku lebih ingin mengatakan, mari kita perbaiki rumah tangga ini, melupakan semua kenangan masa lalu yang memang bukan untuk menjadi takdir dalam hidup kita berdua.

Namun, rasanya aku seperti memaksa jika pada kenyataannya Mas Dewa memang tidak pernah sedikit pun mengharapkan kehadiranku.

Tidak ada respon apapun dari Mas Dewa, membuatku lelah berharap. Masih dalam tangis pilu, aku menghapus air mata ini, kemudian bangkit membiarkan diri ini meninggalkan Mas Dewa.

Tas kujinjing kembali, kemudian berjalan melewati Mas Dewa. Handle pintu kuraih, tetapi, sebuah suara membuat jemariku berhenti untuk membuka.

"Mari kita perbaiki rumah tangga ini." Suara itu membuat tangisku kembali pecah, meluruhkan jemari yang hampir saja membawaku pada koridor apartemen sakura.

Namun, kenapa ada rasa ragu, padahal tadi aku sangat berharap Mas Dewa mengatakannya, tetapi, kini kenapa justru enggan. Yaa Allah ... apa yang harus kulakukan. Tetap bertahan atau harus memberi pelajaran?

Hatiku sudah hancur lebur, berhari-hari menahan segala gejolak. Aku juga ingin mempertahankan pernikahan ini, tetapi, ada rasa lelah dan ingin beristirahat untuk sekedar menenangkan diri.

"Bisa antar aku ke stasiun? Atau ke terminal?" jawabku akhirnya. Mungkin menenangkan diri adalah jalan yang tepat. Setelah sama-sama tenang, mungkin rumah tangga kami berjalan lebih baik, lebih harmonis dan menyenangkan.

Tidak ada tanda-tanda Mas Dewa akan menjawab, akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu, meninggalkan segala  kenangan dalam rumah ini.

"Mas Dewa antar, Ra." Suara itu lagi-lagi membuat jemariku luruh.

Kami berjalan beriringan, melewati lorong apartemen yang sepi dan sunyi. Meski masih pagi, kondisi apartemen ini memang selalu sepi.

Kami memasuki lift. Tidak ada perbincangan apapun di antara kami sampai lift berhenti di lantai dasar. Kami seperti orang asing, diam dan hanya fokus pada diri sendiri.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku memutuskan untuk duduk di kursi belakang, tidak etis memang, tetapi, jika harus duduk berdampingan dengan Mas Dewa, aku takut, takut jika pada akhirnya aku kembali luluh dan rasa sakit di hati ini tidak juga sembuh.

Gedung-gedung tinggi di kanan-kiri menjadi pemandanganku selama di perjalanan. Entah Mas Dewa akan mengantarkanku ke stasiun atau ke terminal, aku membiarkannya membawaku pada tempat tersebut.

Satu jam berlalu, Mobil yang kami naiki masih juga belum berhenti pada tempat tujuan. Ingin bertanya, tetapi, aku malas mendengar suaranya. Mungkin saja, tempat tersebut memang jauh dari apartemen, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk sampai sana.

Sayang, kantuk menyerang kedua netraku. Semalaman tidurku tidak nyenyak, sesekali terbangun dan kembali tidur, sampai akhirnya azan subuh berkumandang dan aku segera bersiap-siap meninggalkan apartemen.

Aku rasa Mas Dewa tidak akan tega membiarkanku ketinggalan kendaraan. Mungkin, ketika sampai lokasi, Mas Dewa akan membangunkanku. Tidur sebentar sepetinya tidak masalah.

***

"Ra, bangun." Sebuah sentuhan halus di punggung tangan membuatku terbangun.  Aku menggeliat ke luar kaca mobil.

"Udah sampe, Mas?" tanyaku masih dengan suara serak.

"Istirahat dulu. Mas Dewa butuh kopi.

" Oh iya, Mas."

Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur dalam perjalanan, tetapi, yang pasti, rasanya tidak sebentar dan Mas Dewa bilang kami belum sampai tujuan. Memangnya, stasiun kerata api atau terminal bus jaraknya sejauh mana dari apartemen? Sehingga, ketika kulihat jam tangan sudah menunjukkan jam 11 siang, masih juga belum sampai.

Mas Dewa turun lebih dulu, lelaki itu berjalan menuju sebuah warung. Seorang ibu berambut ikal memberikan kopi yang masih mengepulkan asap,.dan menyajikannya di meja.

Dilihat-lihat sepertinya kami berada di rest area?

Aku turun kemudian menghampiri Mas Dewa dan duduk di kursi. Kami berhadapan. Sejenak Mas Dewa memandangku, kemudian kembali menyeruput kopi hitam yang dia pesan.

"Pesen yang kamu mau," katanya tanpa menatapku. Lelaki itu sibuk dengan ponselnya, jemarinya juga sibuk pada layar. Entah Mas Dewa sedang mengabari siapa. Teman kantor? Atau malah perempuan itu?

Aku tidak peduli, Meksi sebenarnya dalam dasar hati ingin sekali mengatakan bahwa aku cemburu. Hanya saja percuma. Aku yakin tidak akan ada perasaan cinta dari Mas Dewa untukku.

"Bu, pesan mie instan satu, ya."

Aku baru sadar, sejak pagi aku belum makan, sehingga perutku terasa lapar.

"Roti lebih baik."

"Aku bukan Mas Dewa yang harus makan roti setiap hari."

"Oh."

Sejenak kutatap wajah lelaki di depanku, ada rasa kesal ketika Mas Dewa merespon demikan, tetapi, lagi-lagi aku hanya bisa diam, tidak ingin bertengkar.

"Mas Dewa mau bawa aku kemana, sih? Memang sejauh apa jarak stasiun atau terminal dari apartemen?"

"Nanti juga sampai. Kamu cukup duduk di mobil, gak usah ganggu fokus Mas Dewa."

"Tapi Mas. Udah berapa jam kita di perjalanan?"

Mas Dewa tidak menjawab, lelaki itu malah kembali menikmati kopi hitamnya sembari bermain ponsel.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang