Bab 19 - Hati yang Masih Patah

146 18 0
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day19 (Rabu)
#1.000Kata

Sesampainya di apartemen, Mas Bayu membukakan pintu, kemudian memintaku masuk untuk beristirahat. Tadinya Mas Bayu meminta sang kekasih untuk menemani, tetapi, aku rasa sudah cukup banyak merepotkan mereka.

Keduanya pamit, entah pulang atau kembali ke rumah sakit, yang pasti, saat ini, aku hanya butuh menenangkan diri. Tas besar yang kubawa dari rumah kuletakan di ruang tengah, kemudian aku duduk di sofa, menatap langit-langit ruangan yang berwana putih.

Sebenarnya aku sudah lelah atau belum? Masih mau bertahan atau tidak? Kenapa bisa-bisanya aku masih peduli pada lelaki itu, yang nyatanya di depan mata dia menyiksa hati dan raga ini.

Air mata yang belum lama berhenti, kian kembali berderai-derai, meratapi nasib menjadi istri tetapi, seolah hanya seratus belaka.

Katanya menikah adalah ibadah terpanjang di dunia? Namun, kenapa rasanya semenyiksa ini? Kenapa bukan kebahagiaan yang kudapat, melainkan sakit hati dan batin yang merayap.  Lalu, pernikahan seperti apa yang dua insan harapkan, agar mendapat kebahagiaan?

Air mata ini terus saja mengalir, meratapi nasib rumah tangga yang tidak ada habisnya.

Perutku berbunyi, sejak pagi belum kuisi, wajar jika merasa lapar. Kubuka kulkas, tidak ada sesuatu yang bisa kumakan. Bahkan, Mas Dewa tidak mengisi apapun sejak kutinggal.

Aku menghela napas, mengusap sisa air mata yang hampir mengering. Lelah rasanya menangis seharian. Aku mencuci muka sembari berwudu, kemudian masuk ke kamar untuk melaksanakan salat zuhur. Namun, isi ruangan itu membuatku terkejut. Baju Mas Dewa berserakan di mana-mana, bungkus bekas roti juga minuman berkaleng menjadi sumber rumah semut. Mas Dewa tidak bisa menjaga dirinya sendiri, lelaki itu memang harus ada yang menemani.

Tubuh yang terasa lelah kupakai untuk membersihkan rumah, merapikan sesuatu yang berserakan, setelah itu melaksanakan salat zuhur dan merebahkan tubuh dalam pembaringan.

Kamar ini, kamar kami. Ruangan yang pertama kali menjadi saksi bisu akan cinta kami pada malam itu, tetapi, semua hanya masalalu, setelah bayang-bayang perempuan itu masuk dalam rumah tangga kami, tidak sekalipun kuijinjan Mas Dewa untuk menyuntuhku.

Dosa? Jahat?! Memang, tetapi, rasa takut akan memiliki si kecil dalam rahim ini lebih dominan dibanding rasa bahagianya. Aku takut, ketika hamil Allah menguji rumah tangga kami lebih berat lagi, takut jika Mas Dewa akan benar-benar berpaling dan meninggalkanku dalam keadaan hamil.

Aku tahu, ini pikiran yang tidak pantas. tetapi, sungguh aku sangat takut jika buah hati kami akan menjadi korban perpisahan atau pertengkaran dari kedua orang tuanya.

***

Suara ketukan pintu membuatku terbangun, jam dinding menunjukkan jam 9 malam. Astaghfirullah, bahkan aku tertidur di atas sajadah susai salah magrib tadi.

Mataku terasa kebas, mungkin karena terlalu lama menangis. Aku bangun untuk membukakan pintu. Perempuan berambut ikal yang seharian ini bersama Mas Bayu berdiri di depanku.

"Mba Ara pasti belum makan. Ini, saya bawakan makanan," Perempuan itu memberikan sekotak bekal makanan beserta minumannya.

"Jadi merepotkan, Mba."

"Enggak."

Kupersilahkan perempuan cantik itu masuk. Kami duduk di sofa sembari menonton televisi. Dia memperkenalkan diri dengan nama Bunga, cantik seperti orangnya.

Meski bunga tidak berhijab, tetapi, dari pribadi yang kukenal, Bunga adalah perempuan yang sopan dan ramah.

"Mas Bayu gak ikut, Mba?" tanyaku disela-sela makan bersama.

"Di rumah sakit, jagain Dewa."

Aku mengangguk, kemudian bayangan siang tadi kembali melimpir dalam ingatan. Sebenarnya hubungan Mas Dewa dengan perempuan itu apa? Masih berstatus sebagai kekasih atau sudah menjadi mantan?

"Maaf kalau saya lancang, Mba. Siang tadi, Mba Ara lihat Maria, ya, di ruangan Dewa?"

Aku menoleh, menatap wajah Bunga dengan senyum getir, kemudian kembali menyantap makanan yang sudah tidak selera, tetapi harus kuhabiskan karena sejak pagi belum kuisi perut ini.

"Mba Bunga tau perempuan itu?"

"Hanya sebatas tau, tidak mendalam."

Lagi-lagi aku mengangguk, meski hatiku hancur lebur.

"Aku memang bukan teman dekat Dewa, tapi aku rasa, Dewa tipikal orang yang setia. kalau sudah nyaman dengan satu orang, dia tidak akan mudah berpaling."

Benar, karena itu Mas Dewa tidak bisa melupakan Maria, perempuan nomor satu di hatinya. Sehingga, membuat Mas Dewa lupa, bahwa ada perempuan yang paling halal untuk dia cintai, dia kasihi dan sayangi, yaitu aku, istrinya.

Ingin sekali berbagi cerita pada Bunga, sekedar melepaskan sesak yang selama ini kutahan, tetapi, bukankah pasangan adalah sebuah baju, untuk menutupi semua kekurangannya, menutupi hal-hal yang tidak seharunya orang lain tahu?

"Alhamdulillah, kata Mas Bayu, trombosit Dewa sudah naik. Kemungkinan sehari atau dua hari lagi Dewa sudah bisa pulang,"

Ada rasa lega mendengar kabar baik ini, meski mungkin setelah Mas Dewa kembali ke apartemen aku akan kembali ke Cirebon. Aku ... sudah lelah, berjuang.

"Alhamdulillah."

Setelah makan malam selesai, Bunga pamit pulang, sebelum itu, dia menawarkan untuk menginap di rumahnya, aku menolak, meski bagaimana pun, tempat tinggal Mas Dewa masih sah menjadi tempat tinggalku.

Malam semakin larut, susai melaksanakan salat isya, aku kembali merebahkan diri. Lagi-lagi, meratapi rumah tanggaku yang entah akan berakhir bagaimana.

Kata Bapak, segala sesuatu yang dijalani, hadapi dengan rasa ikhlas dan bahagia, tetapi, aku tidak bisa seperti beliau, rasa ikhlas yang mungkin dimiliki Bapak, tidak seikhlas yang aku punya. Aku masih belum mampu berdiri pada titik itu, sehingga sesuatu yang menjadi perjalanan ini selalu dibumbui rasa sedih dan amarah yang membara.

Ponsel yang tersimpan di sisi kanan, sejak tadi tidak membunyikan suara, sekedar kabar dari Mas Dewa pun tidak. Apa Mas Dewa tidak tahu jika aku sudah di Jakarta? Bahkan sudah sempat ke rumah sakit untuk menjenguknya, tetapi justru membuatku sakit hati dengan pemandangan di depan mata. Atau ... Mas Dewa memang tidak peduli akan kedatanganku? Sehingga Mas Dewa santai-santai saja menanggapinya.

***

Pagi ini aku turun untuk sekedar berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tidak ada stock makanan di kulkas membuatku kesulitan.

Mini market yang letaknya tepat di bawah apartemen menjadi tujuanku. Di sana, aku membeli apapun yang kuperlukan untuk mengisi kulkas. Setelah selesai aku tidak langsung ke apartemen, melainkan duduk di meja yang tersedia, memesan kopi untuk menemani pagi.

Menyeruput panasnya kopi hitam yang akhir-akhir ini menjadi teman sehari-hari, mungkin karena kurangnya tidur sehingga fokusku harus diisi.

Sepasang sejoli datang dan memasan kopi, keduanya duduk di kursi belakang yang ada, berbincang sembali bercanda. Seandainya, pasanganku juga seasyik mereka, saling menghargai, menjaga, mencintai dan menyayangi.

Aku terkekeh, kemudian tanpa disadari air mataku jatuh, tetapi, buru-buru kuseka. Malu jika harus menangis di tempat umum, apalagi menangisi sesuatu hal yang nyatanya tidak harus kutanggapi.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang