Bab 15 - Tetang Perempuan Itu (Maria)

131 15 0
                                    

#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day15(Senin)
#1.150Kata

Rumah mewah berpagar hijau muda menjadi tempat berhentinya mobil kami. Jika dihitung sejak berangkatnya kami dari apartemen sampai sekarang, jarak tempuh yang kami lalui ternyata sangat panjang, yaitu 7 jam.

Awalnya shock memang, ketika tahu Mas Dewa membawaku pada rumah kedua orang tuanya. Namun, mau bagaimana lagi, kami sudah sampai pada tujuan, oh ralat. Sampai pada tujuan Mas Dewa, bukan tujuanku.

Kami turun, masuk ke rumah mewah yang mungkin ini kali kedua aku menginjakkan kaki di sini. Pertama, ketika akan pamit berangkat ke Jakarta, kedua, saat ini.

Tante Widiya, atau yang sekarang kupanggil Mamah terkejut dengan kedatangan kami. Wajar! Secara kami tidak mengabari akan datang bertamu ke rumah beliau.

Mamah memelukku, mencium kedua pipiku. Bahkan, Mamah secinta ini padaku, tetapi sang putra? Mungkin benar kata Mas Bayu, jika pernikahan ini hanya disetujui oleh orang tuanya saja, itu sebab Mamah mertua sangat menyayangiku.

"Kok gak ngabarin Mamah, Dewa?" Mamah menuntunku duduk di sofa, wanita berhijab itu lalu masuk ke sebuah ruangan sebentar dan keluar lagi.

"Istirahat di kamar Dewa, ya?" kata Mamah. Aku tersenyum.

"Mendadak Mah. Baru bisa ambil cuti. Itu pun cuman bebberapa hari." Kali ini Mas Dewa yang menjawab. Lelaki itu duduk di sofa tunggal, mengangkat satu kaki kiri dan bertupu pada kaki kanannya.

"Mungkin lusa Dewa sudah berangkat ke Jakarta lagi, tapi Ara pulang ke rumahnya." Alasan Mas Dewa. Aku tahu, lelaki itu tidak ingin membuat orang tuanya sedih atas perselisihan yang kami alami. Mau bagaimanapun Mas Dewa adalah seorang anak yang harus mendapatkan restu dan rida dari orang tuanya.

"Iya, Mah. Ara kangen sama Ibu, Bapak." Bayangan perempuan itu kembali melimpir dalam ingatan, kemudian satu persatu bayangan lainnya muncul begitu saja. Bayangan dimana Mas Dewa mengatakan bahwa dia masih memikirkannya.

Dadaku kembali sesak, membuat kedua mataku bergerak agar tidak menjatuhkan air dari sana. Aku tidak ingin Mamah sedih, tidak ingin permasalahan ini menjadi pertengkaran antara Mamah dan Mas Dewa. Setidaknya, kami selesaikan lebih dulu, kedepannya kami atur apa yang menjadi jawaban terakhir kami.

"Gak apa-apa, Mamah ngerti. Wajar kalau kangen sama orang tua. Nanti Mamah bawakan rendang ya, untuk orang rumah," kata Mamah sembari mengusap lenganku.

Mamah terlihat begitu menyayangiku, memberikan perhatian kepada keluargaku, membuatku tidak tega jika harus membuat Mamah dan Papah sedih.

***

Malam ini, kami menginap di rumah Mamah. Dalam sebuah ruangan bernuansa abu muda, aku dan Mas Dewa berada. Lelaki itu berbaring di sebelahku, lagi-lagi mata dan jemarinya fokus pada layar ponsel.

"Kenapa Mas Dewa mengantarku ke sini?" tanyaku sembari sejenak memandangnya, kemudian kembali menghadap langit-langit kamar.

"Ini rumah orang tuamu juga."

"Aku hanya menantu, kalau pun nanti kita berpisah, aku hanya akan menjadi seorang mantan, mantan istri." Suaraku melemah.

Mas Dewa tidak menanggapi, lelaki di sampingku masih sibuk dengan ponselnya. Kesal memang, tetapi, aku bisa apa dengan responnya yang selalu seperti itu.

Aku mengubah posisi memunggungi Mas Dewa, membiarkan diam menjadi teman sepi dalam kamar ini.

Suara deru napasku terdengar kencang di telinga, rasanya sesak di dada membuatku berusaha keras menahan agar aku tidak menangis.

Ini bukan list dari impianku, menikah dan setelah itu berpisah, apalagi permasalahan yang kami lalui adalah karena orang ketiga. Tidak sama sekali. Harapku, pernikahan yang aku jalani adalah pernikahan sekali seumur hidup, meski diterpa ombak lautan, setidaknya aku dan pasanganku bisa sama-sama berusaha untuk saling mengokohkan, bukan malah berjuang sendirian.

Sudah jam 9, tetapi, mata masih juga belum terlelap. Aku memutuskan untuk keluar kamar, mungkin mencari angin malam di teras rumah dapat membuat suhu tubuhku lebih baik.

Langit memang cerah, bintang dan bulan juga terlihat indah di atas sana, meski begitu hatiku tidak seindah mereka. Hatiku terlalu hancur lebur karena Mas Dewa.

"Udah malem kok di luar, Ra." Suara Mamah membuatku terkesiap. Perempuan berdaster itu ikut duduk di sampingku.

"Di apartemen mana bisa begini, Mah." Aku tertawa kecil.

Mamah terdiam sejenak, kemudian jemarinya mengusap jemariku pelan.

"Kamu yang sabar ya, ngadepin Dewa. Mamah yakin, insya Allah sangat yakin, kalau kamu adalah perempuan yang tepat untuk hidup Dewa."

Aku tersenyum simpul. Sepertinya pembahasan ini menjurus pada permasalahan Mas Dewa dan perempuan itu. Perempuan yang katanya hubungannya tidak direstui oleh Mamah dan Papah. Perempuan bertato bunga.

"Sudah sejak dulu, Mamah dan Papah mencoba mengenalkan Dewa dengan perempuan. Lulusan pesantren lah, lulusan Agama, tapi Dewa selalu nolak."

"Memangnya Mamah kenapa gak merestui hubungan Mas Dewa dengan ... Maria," tanyaku hati-hati, aku takut Mamah tersinggung atau bahkan sedih dengan pertanyaan ini.

"Ra, kamu tahu kalau Dewa anak kami satu-satunya? Bayangkan, jika Dewa menikah dengan orang yang tidak tepat untuk kehidupan dia, bagaimana nasib Dewa kedepannya? Mamah hanya ingin yang terbaik untuk Dewa, dan Mamah insya Allah yakin, kamu orang yang tepat yang bisa merubah kebiasaan buruk Dewa."

Mamah menatap kedua mataku penuh dengan rasa berharap. Aku tidak tega, tetapi, hatiku sakit jika harus terus menerus hidup bersama Mas Dewa.

"Maria masih suka pergi ke club-club, masih suka minum-minum, dan Mamah takut Dewa gak bisa jaga Maria, tapi justru Dewa yang ikut kebiasaan Maria." Suara Mamah bergetar, sepertinya Mamah menahan tangis.

"Bukan maksud Mamah Maria gak baik, tapi setidaknya berjaga lebih baik kan, Ra? Meski Mamah bukan orang baik, tapi Mamah ingin anak cucu Mamah dari keturunan orang-orang yang baik." Mamah menyeka ujung mata, kemudian pandangannya beralih pada hamparan taman di depan kami.

Aku rasa setiap orang tua pasti ingin anaknya bahagia, apalagi untuk menunjang hidup kedepannya. Betul kata Mamah, bagaimana jika Mas Dewa malah ikut terhanyut dalam dunia Maria? Yang masih suka ke clubing dan minum-minum, apa tidak bahaya?

"Ra, Mamah mohon dan berharap kamu untuk selalu sabar dengan Dewa, Mamah yakin dengan kesabaran kamu Dewa pasti bisa luluh, bis menjadi suami yang baik."

Aku diam. Apakah setelah Mamah merayu, keinginanku untuk berpisah dengan Mas Dewa tidak akan terjadi? 

Berat ya Allah. Aku bingung. Aku sayang dengan Mamah dan Papah, sayang juga dengan Mas Dewa, tetapi, apakah aku akan tetap baik-baik saja jika hidup dengan Mas Dewa? Sedangkan setiap hari aku berusaha agar Mas Dewa jatuh cinta, tetapi, laki-laki itu justru mencintai perempuan lain.

Mendengar cerita Mamah, nada suara Mamah, kelembutan Mamah, sepetinya perempuan berdaster ini sering kali menangis sendirian karena putra semata wayangnya. Namun, Mas Dewa tidak kunjung sadar atas apa yang Mas Dewa gores di hati Mamah dan Papahnya.

"Besok kita masak rendang untuk Ibu dan Bapak kamu," kata Mamah dengan sumringah, tetapi, aku tahu, itu hanya sebuah kedok untuk menutupi rasa sedihnya.

"Sekarang istirahat. Besok biar Dewa antar kita ke pasar, belanja," imbuh Mamah. Beliau bangkit dan meninggalkanku sendirian.

Aku menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Sepertinya Mamah menaruh harapan besar padaku untuk keberlangsungan hidup Mas Dewa.

Ya Allah, apakah aku adalah orang yang tepat untuk hidup Mas Dewa? Apa aku mampu menjadi perempuan yang diharapkan Mas Dewa?

Malam semakin larut, aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Dalam pembaringan Mas Dewa masih terlelap. Dulu, aku begitu suka mencium pipinya, kengusap lengannya sampai aku bermanja dalam pelukannya, tetapi, kali ini, aku bahkan tidak berani untuk sekedar menyentuhnya, takut jika Mas Dewa memang tidak mengharapkan apapun yang ada dalam diriku.

CINDERELLA DESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang