#Fazawritingmarathon
#eventmenulisfaza
#marriagelife
#Day21(Senin)
#1.100KataMas Dewa terlelap, dia terlihat sangat nyaman dalam pembaringan. Kupandangi wajahnya yang tampan. Lelaki yang menjadi teman kecilku dulu, tetapi, baru kukenal karakternya setelah kami menikah.
Lelaki yang bahkan tidak pernah kubayangkan untuk menjadi seorang suami, secara, kami terpisah jarak dan kota, terpisah antar komunikasi dan circle pertemanan. Namun, siapakah aku? Hanya seorang manusia yang tidak bisa menunjuk seseorang untuk menjadi masa depan. Itu urusan Tuhan, meski berdoa dengan harapan memiliki suami pengertian.
Lantas, aku harus sabar sampai batas mana? Melihat suamiku masih memiliki hubungan dengan perempuan lain? Bahkan, Mas Dewa sudah berani membawanya sampai ke apartemen.
Ponsel Mas Dewa yang tergeletak di meja rias kuraih. Lelaki itu tidak menggunakan pola untuk membuka kunci, sehingga memudahkanku untuk menindaklanjuti pesan-pesan apa saja yang sempat Mas Dewa kirimkan pada perempuan itu.
Tidak ada nama Maria di jendela aplikasi berwarna hijau tersebut, sehingga membuatku kesulitan untuk menyelidiki pesan-pesan mereka. Namun, ada satu kontak dengan nama Si Cantik di sana, membuatku curiga dan tanpa pikir panjang membuka pesan tersebut.
Jantungku berdetak cepat, takut jika Mas Dewa terbangun dan mendapati aku sedang menyidak ponselnya. Ini memang kali pertama aku berani membuka-buka benda pribadinya, tetapi, mungkin inilah cara satu-satunya agar aku dapat memilih jalan mana yang harus kuambil dalam pernikah ini.
Sepertinya hubungan mereka sudah terjalin sejak tiga tahun lalu, terdata dari pesan-pesan yang masih Mas Dewa simpan di ponselnya. Banyak sekali kata-kata manis, kalimat romantis dan untaian cinta dari keduanya. Mereka saling memiliki rasa, sehingga mungkin sulit untuk dipisahkan.
Ada nyeri di dada ini, tetapi, lagi-lagi aku hanya ingin tahu seberapa dalam perasaan Mas Dewa untuk perempuan itu sampai saat ini, sampai di mana kami sudah menjalani bahtera rumah tangga hampir enam bulan lamanya.
Banyak sekali foto-foto yang mereka abadikan, meski samar karena sudah terhapus dari memory ponsel Mas Dewa, terapi, masih bisa kucrena dengan mata. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, dari satu tempat makan ke tempat wisata lainnya. Sedang aku? Belum sekali pun Mas Dewa mengajakku berkeliling kota, atau sekedar membawaku ke tempat wisata yang indah.
Napas kuhela, sesak semakin melanda. Masih setia kubaca pesan-pesan mereka, meski menyiksa, tetapi masih membuatku ingin tahu apa yang mereka suka.
Terakhir kubaca pesan Mas Dewa tepat enam bulan lalu, selebihnya hanya pesan dari Maria yang masih diterima. Dilihat dari tanggal dan bulan, itu masuk di bulan pernikahan kami.
Maria marah karena Mas Dewa tidak pernah membalas pesan-pesannya, ajakannya serta izinnya yang akan menjenguk serta menemaninya di rumah sakit.
Maria masih berharap besar dengan lelaki ini, tetapi, Mas Dewa? Sekarang aku tidak tahu pasti, harus percaya Mas Dewa masih mencintainya atau tidak? Sebab, sudah enam bulan Mas Dewa tidak menggubris pesan dan panggilan masuk dari Maria.
Kusimpan kembali ponsel tersebut di meja rias. Melihat Mas Dewa sudah tertidur pulas, aku meninggalkannya, masuk ke kamar sebelah dan berusaha beristirahat, meski sulit karena pikiranku yang bercabang, tetapi, harus kupaksa agar besok pagi bisa bangun dengan tubuh segar.
***
"Sarapan dulu, Mas," Kuletakan makanan di atas meja, kemudian membangunkan Mas Dewa.
Lelaki itu menggeliat, tetapi kembali memejamkan mata.
"Sarapan dulu, setelah itu minum obat, terus kita jalan-jalan ke bawah, yuk? Cari tempat untuk berjemur supaya Mas Dewa cepet sehat lagi," kataku sembari mengusap-usap lengannya.
Aku membantunya untuk duduk bersandar pada sandaran tempat tidur, kemudian memberikannya segelas air putih.
"Mau aku suapin, atau makanan sendiri?" tanyaku sembari mengambil semangkuk bubur pada meja.
"Makan sendiri aja," jawabnya. Mas Dewa meraih bubur tersebut, membawanya pada pangkuan.
"Pait," ujar Mas Dewa.
"Wajar, Mas Dewa kan masih sakit. Karena itu harus dipaksa makan, supaya keisi perutnya." Aku tersenyum simpul.
Mas Dewa melahapnya, mungkin karena terpaksa ingin segera sehat, sehingga bubur itu habis tidak tersisa.
"Makasih, Ra." Mas Dewa memberikan mangkuk kosong itu, kemudian meminum obat untuk pemilihan.
"Iya, Mas. Kalau begitu aku cuci piring dulu, setelah itu kita keluar ya? Berjemur."
"Kepalaku masih pusing, Ra. Masih lemes. Bisa gak, turunnya besok lagi, mungkin besok Mas Dewa sudah baikan."
Aku mengangguk, setelah itu meninggalkan kamar untuk membersihkan rumah.
***
Satu minggu berlalu, kesehatan Mas Dewa mulai membaik meski masih dalam tahap pemulihan, meski begitu, tubuhnya sudah bisa diajak bekerja.
Sebelum aktivitas dilaksanakan, Mas Dewa lebih dulu berjemur di balkon kecil rumah ini, memang, tidak langsung terkena sinar matahari karena kami tinggal di lantai 18, tetapi, setidaknya Mas Dewa mau berolahraga dan berkeringat. Setelah itu, Mas Dewa membersihkan diri dan berangkat kerja.
Aku cukup senang dengan perubahan aktivitas Mas Dewa. Lelaki itu tidak lagi pulang malam, selalu pulang di waktu yang sudah ditentukan kantor. Sikap Mas Dewa pun semakin hari semakin baik, tidak terlalu cuek dan ... mulai sedikit-sedikit perhatian. Itu menurutku.
Seperti malam ini, Mas Dewa membawakan pesanku meminta mie ayam. Meski sampai rumah harus tetap dihangatkan karena sudah dingin dalam perjalanan.
Kami makan malam bersama, sederhana, tetapi, cukup membuatku puas dan bahagia. Aku harap, sikapnya akan terus berubah semakin baik, juga ... perhatiannya untuk mengutamakan keluarga.
"Ra," panggil Mas Dewa disela-sela makan malam.
"Iya, Mas?" jawabku, sebentar menatap wajahnya, setelah itu kembali menikmati memakan mie ayam.
"Emmm ... Mas Dewa bingung sih, mau mulai dari aman ngobrolnya." Lelaki itu terlihat gugup.
"Ada apa, Mas?" Aku mengentikan menyuap mie ayam. Mataku berlatih pada lelaki itu, lelaki yang masih terlihat kebingungan.
Mas Dewa tersenyum simpul. "Em ... kamu, udah siap punya anak?" tanya Mas Dewa, tetapi, sukses membuatku terkejut.
Aku ingat, aku sempat ingin menunda memiliki momongan, alasannya karena sikap Mas Dewa. Aku takut jika nanti anak kami akan menjadi korban pertengkaran kedua orangtuanya.
Siap-siap saja, tetapi ... jika saja sebuah ibadah bisa ditolak, mungkin aku akan mengatakan belum siap. Namun, bukankah rezeki tidak hanya sebuah uang? Anak pun adalah anugrah rezeki terindah dari Allah.
"Mas Dewa rasa, kita udah terlalu menunda, apalagi ... kita jarang melakukan hubungan tersebut."
"Bukannya aku gak siap, Mas. Aku cuma takut, Mas Dewa ... ninggalin aku dalam keadaan aku sedang hamil. Itu akan lebih menyakitkan 'kan?" Aku menunduk, menahan sesak di dada.
Terdengar Mas Dewa menghela napas. "Maaf ya, Ra, kalau selama ini sikap Mas Dewa buat kamu takut."
"Tidak hanya sikap Mas Dewa, tapi ... hati Mas Dewa yang masih terpikat oleh perempuan itu. Aku gak mau, saat aku hamil, Mas Dewa ninggalin aku untuk perempuan itu."
"Ra ... Mas Dewa memang pernah bilang masih memiliki perasaan pada Maria, tapi ... tidak membuat Mas Dewa memiliki hubungan terlarang 'kan? Sikap cuek Mas Dewa terhadap kamu selama ini, mungkin, itu murni adalah sikap untuk saling beradaptasi. Mas Dewa masih butuh penyesuaian dengan orang baru. Mungkin sampai sekarang dan selamanya, Mas Dewa harus tetap belajar untuk beradaptasi dengan kehidupan kita." Mas Dewa meraih tanganku, mengusapnya seolah kami adalah pasangan kekasih.
"Sedikasihnya Allah aja ya, Mas."
"Ya ... tetep harus dengan usaha kan, Ra? Selebihnya kita serahin ke Allah."
Aku tersenyum, kemudian mengangguk kecil. Ada debar di dada ini, ada bahagia yang kurasakan. Ingin rasanya menghambur dalam pelukan, menangis haru pada dada Mas Dewa, tetapi malu untuk kuperlihatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDERELLA DESA
RomanceAra, seorang wanita salihah yang berharap bahagia dalam pernikahanya, tetapi cinta masa lalu sang suami menjadi bumerang dalam rumah tangganya.