Bagian 30

6 1 0
                                    

Burung yang berkicau terdengar seperti teriakan, angin berhembus ke hamparan rumput seakan memberiku petunjuk jalan pulang, suara gesekan dedaunan seperti berbicara, "selamat tinggal, Anneth."

Telapak tanganku mengepal erat, emosi yang menyambar masuk ke dalam dadaku meneriaki, "apakah aku harus kembali?"

Andreas yang berada di sampingku menoleh, seperti ikut merasakan kegelisahan yang aku alami saat ini.

"Apakah kita akan bersama di masa depan? Apakah setelah kecelakaan ini, aku akan bertemu denganmu?"

"Kita akan kembali bersama, bagaimanapun caranya," Andreas menenggelamkanku dalam rangkulannya, aku yang tidak bisa menolak hanya mengikuti Andreas.

"Bagaimana dengan Caroline?" tanyaku.

"Jangan pernah mengingat dia lagi, bagaimanapun keadaannya."

Aku tertawa sinis. "Teman yang buruk."

Andreas hanya diam.

"Walaupun kita berpisah, akhirnya kita akan menikah. Apakah kamu percaya itu? Caroline bersaksi di masa depan." Tanyaku.

"Semua jawaban ada di halaman terakhir buku harianku."

Aku membelalakan mata, "jadi kamu sudah tahu kita akan kembali bersama?"

Aku bisa merasakan Andreas menggedikan bahunya. "Aku tidak yakin."

"Lalu kenapa saat hari pertama aku datang kamu seperti yang sangat membenciku?"

"Karena kamu datang dengan versi yang berbeda."

"Bagaimana kamu bisa tahu bahwa kita akan menikah suatu hari nanti?"

"Ku bilang, kamu harus membaca halaman terakhir buku harianku, maka kamu akan paham."

Aku mendengus kesal, tetapi bahu Andreas terlalu nyaman untuk dijadikan tempat ku mengeluarkan emosi yang membawa pengaruh buruk.

"Apa aku benar-benar akan pulang sekarang?" tanyaku.

Andreas membalasnya dengan dehaman.

"Lalu, kenapa kamu membawaku ke sini?"

"Katamu, kamu membutuhkan banyak nafas, sepertinya ini tempat yang cocok."

Wajahku terasa hangat saat Andreas menyinggung insiden beberapa jam yang lalu. Aku merasa malu sendiri.

"Aku sudah tidak membutuhkan lebih banyak oksigen lagi sekarang, pernafasanku sudah normal."

"Kamu harus berterima kasih padaku."

Aku menatap sinis padanya, tetapi maksudku adalah untuk bercandaan. Kemudian kami tertawa.

Dehaman seseorang menginterupsi percakapan kami, sontak, jari-jari kami yang saling bertaut langsung terurai.

"Sebelum mrs. Cintia datang, Dad sudah siapkan makan malam." Setelah mengucapkan kata kata-kata itu, diapun pergi.

"Dia tidak apa-apa," ucap Andreas menenangkanku.

Aku berjalan menuju meja makan, tata letak tempat ini seakan-akan membuatku bernostalgia pada masa lalu. Padahalku mungkin baru beberapa jam saja meninggalkan tempat ini.

Hanya suara dentingan alat makan yang saling beradu mengisi kesunyian, dengan kecanggungan ini, aku seperti merasa berada di tempat yang baru aku kunjungi.

Jam dinding yang berdetak, gudang kenangan, gaun peninggalan ibunya Andreas, taman mawar dan ilalang yang mengampar di belakang rumah seakan memberikan sensasi bahwa aku kini sudah berada di rumah.

Meditasi ✔ [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang