Bagian 7

22 9 0
                                    

"Ini lebih dari kehilangan."

•••

Tapi sebenarnya ini nyata, walau aku tadi berteriak.

"Aku seperti sedang bermimpi!"

Dad seperti memperhatikanku dari pinggir, namun aku tetap melihat ke depan.

Rumah-rumah kayu dengan hiasan lampu tumbler di depan nya, ada yang dipasangkan pada tembok, digantungkan pada bagian atap rumah, ada juga yang diliukan mengikuti arah suhunan rumah yang berbentuk segitiga.

"Sekarang sudah masuk musim gugur, biasanya orang-orang sini selalu berkumpul di luar pada malam hari, bersama keluarganya di teras rumah. Saling sapa dengan tetangga, berbagi teh dan kue jahe, ada juga yang saling memuji tanaman hias," Dad mulai bersuara.

"Aku tinggal di perumahan, rumah saling berhadapan, dan juga bertetangga. Tapi aku rasa, aku tidak pernah melihat pemandangan ini dizaman ku."

"Itulah yang dad khawatirkan, ditahun mu saja, sekitar tiga belas tahun lalu manusia-manusia sudah hidup individu, entah terlalu sibuk atau tidak mau hidup bersama karena mungkin dalam pikirannya hidup adalah perlombaan, merasa tidak mau tersaingi. Baik masalah keturunan atau frekuensi pikiran, tapi dad rasa faktor penyebab banyaknya orang yang lebih memilih sendiri adalah, faktor uang," ucap Dad lalu merogoh mantelnya.

"Yah, seperti itulah Dad, dizaman ku, banyak sekali para orang tua yang membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain, orang tua memarahi anaknya apabila anak tetangganya lebih pintar daripada anaknya. Padahal menurutku, kemampuan seseorang pasti berbeda," ucapku masih memandangi rumah-rumah dengan semilir angin malam yang menusuk pori-pori.

"Tapi dad bersyukur, di sini, masih hidup bersama dengan tetangga, Anneth, apakah kamu mau berkenalan dengan salah satu dari mereka? Anggap saja ini adalah hidup baru mu, kamu harus hidup rukun dengan mereka." Dad mengacungkan sepucuk postcard biru kepadaku.

"Aku ingin berkenalan dengan mereka, tapi aku takut, apakah aku akan tinggal selamanya di sini? Aku ingin pulang, Papa dan Mama pasti sangat merindukanku," ucapku menjadi was-was sendiri.

"Dengarkan aku putri kecil." Dad menatapku, memegang kedua pundakku.

"Dad akan mengantarkan mu pulang ke Indonesia."

"Dad tapi aku dari masa lalu!" tukasku sambil menepis lengan dad dari pundakku.

"Benarkah itu?" tanya Dad.

"Dad! Apakah dad tidak percaya? Dad itu satu-satunya harapanku, Dad, seharusnya dad percaya padaku."

"Bukannya dad tidak percaya, dad mencoba berusaha percaya, dad akan mengantarkan mu pulang."

"Dad tahu dimana pintu ke masa lalu?"

"Dad tidak yakin, tapi dad tetap berusaha."

"Dad janji?"

"Ya, Dad akan terus mencari tahu, jikalau tidak ada jalan pulang, percayalah, kamu sudah bertemu dengan orang tepat untuk tinggal bersamamu, Andreas sebenarnya sangat menyayangimu." Dad menyentuh ujung kepalaku, lalu telapak tangannya turun mengikuti jalur rambutku.

Meditasi ✔ [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang