Bagian 11

12 1 0
                                    

Rencanaku untuk pergi menemui Caroline gagal total, Andreas yang menyebalkan ini menyuruhku memijat kakinya. Sudah memaksa, tidak berterimakasih pula.

Tidak hanya itu ia memerintahkanku untuk membuat teh, gilanya, dia meminta aku menemaninya meminum teh.

Sedari tadi Andreas terus berbicara tanpa henti, tentang masa lalu saat kami menjalin kasih.

"Kamu percaya? Dulu kita sempat membicarakan tentang pernikahan, kami berangan-angan tentang berapa anak yang akan kita buat, aku menginginkan sepu---"

Sebelum Andreas menyelesaikan ucapannya, aku menutup mulutnya terlebih dahulu.

"Andreas, kamu mau mendengarkan ku? Setidaknya untuk kali ini saja, aku serius."

Andreas mengangkat sebelah alisnya, "Bicara saja."

"Kemana Dad?" tanyaku.

"Entah, yang ku tau dia pergi untuk mencari cara agar kamu bisa pulang ke dimensi mu."

"Apakah sekarang kamu percaya bahwa aku dari dimensi yang berbeda?" tanyaku.

"Ya."

"Satu lagi pertanyaanku? Apakah kamu berteman baik dengan Caroline? Apakah kamu tidak menyadari bahwa Caroline mencintaimu?"

Andreas menggelengkan kepalanya.

"Aish, dasar laki-laki tidak peka."

"Aku hanya menyukai mu, itu saja. Walaupun itu dulu."

Aku menatap Andreas, jujur, aku tidak suka Andreas seperti ini.

"Apakah kamu tidak bisa menghargai perasaan seorang perempuan? Lupakan aku Andreas, anggap saja aku tidak ada di sini!" aku mulai meninggikan nada bicaraku.

"Bagaimana aku akan melupakanmu jika setiap pagi, dan sepulang kerja, wajahmu selalu aku lihat."

"Aku yang akan pergi," aku bangkit dari duduk, setengah berlari aku keluar rumah.

Aku tidak tahu aku akan lari kemana, yang penting aku menjauh dari Andreas.

Bagaimana pun juga akupun seorang perempuan, aku bisa merasakan bagaimana perasaan Caroline, jika aku mencintai seseorang, dan melihat seseorang itu satu rumah dengan perempuan lain, aku pasti akan patah hati.

Aku menundukan kepala, memelankan langkah, kenapa keberadaanku di sini malah semakin memperburuk keadaan?

Dad pergi, Caroline patah hati, dan Andreas? Sudahlah.

Takdir sedang mempermainkanku, tidak hanya di sini, akupun merepotkan semua orang yang ada di dimensiku. Mama, papa, dan mungkin keluarga.

"Jangan kabur Anneth, kembalilah ke rumah," suara seseorang dari belakangku.

Andreas mengejarku, aku memang sudah menduga sebelumnya.

"Temuilah Caroline, jika memang kamu juga tidak menyukainya, bicaralah, jangan membuat Caroline bingung."

Andreas terdiam sesaat, "Aku akan menemuinya."

"Jika kamu tidak menyukai Caroline, lalu siapa yang kamu sukai? Lupakan aku Andreas, aku hanya masa lalu, anggap saja aku pelayan di rumah, tidak lama lagi pasti aku akan pulang, aku berjanji."

Manik biru Andreas menatapku sayu, seperti mengharapkan sesuatu dariku.

"Semoga aku bisa benar-benar melupakanmu, aku hanya kesepian, dan kamu lah pelampiasanku, biasanya aku selalu menceritakan apapun pada Dad."

"Jadi itu alasan mu selalu menceritakan masa lalu kita? Kamu tidak lupa? Kenapa?"

Andreas menarik tanganku, berbalik arah, mengajakku pulang, entah mengapa, aku tidak bisa menolak setuhan Andreas.

"Kamu sudah lihat gudang itu kan? Semua tentang mu masih ada di sana. Hanya kamu yang ada di sana dari beberapa mantan kekasihku yang lainnya," Andreas terlihat senyum.

Semua orang yang ada di depan rumah menatap kami, beberapa dari mereka berbisik-bisik. Bagaimana tidak? Kami benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih yang baru saja baikan.

Jujur, aku merasa risih, aku melepaskan tanganku dari genggaman Andreas. Ia menoleh padaku. Terlihat sedang menuntut pertanyaan.

"Sepertinya kita melakukan kesalahan Andreas."

Andreas kembali tersenyum.

Hening beberapa saat, dan tibalah di depan rumah. Ternyata aku berlari belum terlalu jauh, pantas saja Andreas dengan mudah mengejarku.

"Aku ingin bertemu Caroline," ujarku.

"Besok aku panggilkan dia kesini, sekarang istirahatlah, kamu sudah berkerja keras hari ini. Besok aku pergi kerja lebih awal, aku pastikan Caroline ada di rumah ini saat kamu bangun tidur."

"Aku anggap itu janji."

Setelah semuanya kembali seperti semula, aku masuk ke dalam kamar, menutup pintu rapat, lalu merebahkan diri pada ranjang.

Aku merasakan kenyamanan saat ini.

"Anna! Anakku Anna!!"

"Dia mati!"

"Dia sedang bermain dengan Anneth, tapi dia hilang! Dia ada di kolam renang!"

"Anna putriku! Anna putriku!"

"Anneth mengapa kamu membiarkan adikmu pergi!"

"Tenanglah, Anneth terlalu kecil untuk mengerti Olyv!"

"Anna!"

"Anna mati! Anna mati!"

"Anna putriku! Anna putriku!"

Aku terbangun, melihat ke arah jam. Baru sepuluh menit saja aku terlelap. Suara itu! Suara itu datang padaku lagi.

Suara itu, seperti teka teki yang mendorongku untuk segara mencari jawabannya.

Anna? Salah satu anak yang ada dipoto. Harus mencari tahu kemana? Pada siapa aku harus bertanya?

Bagaimana caranya agar aku bertemu pada Anneth masa lalu di ruangan hitam itu?

Kepalaku terasa berat, seakan ada beban berat yang menimpa punggungku. Tubuhku terhempas jauh dari ruangan ini.

Aku merasakan kembali ditarik oleh sesuatu tak kasat mata.

Bugh

Aku membuka mataku, dan aku terkapar pada lantai putih yang dingin. Bau obat mendominasi ruangan.

Aku berdiri.

"Aws," aku mengerang, kepalaku benar-benar sakit.

Jalan sempoyongan menghampiri ranjang yang ditiduri oleh ragaku.

Mama dan Papa tidak ada di sini, mungkin mereka sedang beristirahat. Banyak bunga, dan juga hampers di sekelilingku, rupanya teman-teman dan sudaraku kunjung menjenguk.

"Aku ingin segera kembali pada ragaku," kataku nanar, mengusap diriku sendiri yang berwajah pucat.

"Seseorang, tolong aku, aku ingin pulang."

•••

Meditasi ✔ [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang