Bagian 19

4 1 0
                                    

Menurut surat yang ditinggalkannya, ia pergi menjemput Dad. Mereka berdua pada akhirnya menginginkan aku selamat. Jika tidak ingin membuat mereka merasa gagal, sebenarnya aku tidak ingin kembali ke dimensi ku saja. Aku ingin mati dan tidak pernah ada yang menemukan ku lagi.

Pandanganku mengarah ke depan, mengamati tanaman bunga yang mulai tumbuh. Mataku sudah berkaca-kaca lagi, padahal sudah seharian ini aku menangis, Anneth, perempuan yang terlihat polos ini ternyata memiliki catatan kriminal. Diumur tiga tahun.

"Anna," ucapku parau.

"Apabila kamu masih hidup, kamu pasti lebih cantik dan lebih pintar dari ku kan? Aku pasti sangat iri padamu, saat itu pun, saat aku membunuh kamu pun, pasti saat itu aku iri padamu, hingga tidak mau mengalah persoalan jepit rambut sekalipun."

Aku berucap seakan-akan Anna ada di depanku, menjelma menjadi kupu-kupu yang hinggap di dahan tanaman bunga yang masih pendek.

"Bahkan kamu tetap bersinar walaupun di malam hari." Aku tersenyum. Masih memeluk kedua kaki yang ditekuk.

Tubuhku kucai dan perutku keroncongan, tetapi aku terlalu malas untuk melakukan hal apapun.

Semakin aku mengingat betapa aku mendapatkan banyak kasih sayang, aku mendapatkan cinta, aku memiliki Mama, Papa, Dad, Andreas, dan Caroline, semakin membuat aku merasa, bahwa aku orang yang paling jahat di dunia.

Aku masih termenung, membiarkan pikiranku berkelana ke antah berantah.

"Anna, maafkan aku," ucapku lagi entah untuk yang ke berapa ratus kali.

Apabila ada Anna, Mama dan Papa pasti tidak akan merasa kesepian, mereka masih bisa mengharapkan satu lagi putrinya.

Aku menengadah, memandang rembulan yang putih, sayangnya aku tidak sedang berada di pantai. Aku menjadi ingat kejadian yang ada di buku harian Andreas.

Pasti Andreas mempunyai daya tarik yang sangat kuat, bahkan membuatku menciumnya lebih dulu. Mengingat itu, aku menjadi merasa malu sendiri.

Seseorang membuka pintu pagar, aku berdiri dan memeriksa siapa yang muncul.

"Andreas," ucapku spontan.

"Andreas?" Suara Caroline terdengar bingung.

Aku melekatkan pandangan ke arah suara, orang tinggi dengan hoodie hitam itu ternyata Caroline. Dia berjalan kearahku sambil menenteng kotak beraroma wangi, ku tebak isinya adalah pizza.

"Apakah kamu terlalu merindukannya?" tanya Caroline padaku, ia ikut duduk di kursi sampingku.

"Dia pergi beberapa waktu, dan tidak akan pulang, aku hanya sedikit tidak terbiasa," jawabku lalu tertawa kecil.

Caroline menatap wajahku, lalu semburat kecut keluar dari raut wajahnya. "Kamu pasti belum mandi, rambutmu berantakan sekali! Apa kamu sedang sakit?"

"Bagaimana apabila kita berbicara di dalam saja, aku akan mandi air hangat lima menit," Anneth berdiri dari duduknya dan pergi ke dalam rumah.

"Anneth!" panggil Caroline.
Akupun membalikan tubuh melihat Caroline, diam menunggu kalimat berikutnya yang akan diucapkan.

"Kamu masih ingat kan, janjimu padaku?" tanya Caroline.

"Tentang aku akan bersamamu selamanya?" Aku balik bertanya.

Caroline melihat lantai, lalu beralih pada pizza, membawanya masuk.

"Ya, termasuk itu."

"Apakah ada lagi?" tanyaku memastikan, kiranya aku melupakan sesuatu lagi.

Caroline menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada, pergilah mandi cepat, bau tubuhmu menyengat!"

Aku mengangguk, kembali melaju ke dalam kamar mandi. Walaupun aku jahat, aku masih memiliki teman yang baik, setidaknya itu yang aku syukuri sekarang.

•••

Sambil menunggu Anneth menyelesaikan mandinya, Caroline melihat-lihat ke seluruh penjuru rumah. Bagaikan baru memasuki tempat ini.

Semenjak kedatangan Anneth, semua sudut tempat ini begitu asing.

Caroline menyentuh pas foto, memasuki studio melukis, dan pergi ingin mengetahui lebih dalam isi kamar Anneth.

Aku berjanji, akan membuat Andreas jatuh cinta padamu.

Otak udang yang terikat di kepalanya malah mempercayai kata-kata itu, lalu Caroline merasa sangat bodoh saat mengharapkan kata-kata itu benar.

Nyatanya. Bahkan Anneth melupakan kata-kata itu.

Caroline melihat hal menarik terdampar diantara sprei yang berantakan. Caroline mengambilnya lalu tertawa kecil, suara tertawa miris.

"Andreas kekanak-kanakan."

Caroline hendak membuka halaman pertama buku harian Andreas yang berdebu itu, tapi tangan kecil dan basah menyambarnya dengan cepat, matanya memelotot kaget.

Sudah lima menit ternyata.

•••

Aku sangat terkejut saat melihat Caroline ada di dalam kamarku, jantungku rasanya ingin melarikan diri saat melihat Caroline membawa dan hampir membaca buku harian Andreas.

"Andreas sangat manis bukan?" tanya Caroline sambil menuangkan teh ke dalam gelas.

Aku menahan napas sekejap, lalu menghembuskannya. "Itu tak semanis yang kamu kira, dia menuliskan hal yang tidak penting di sana."

Caroline tertawa.

"Omong-omong, apa kegiatanmu hari ini?" tanya Caroline berbasa-basi.

"Hanya memikirkan, apakah di dunia ini ada seseorang yang menginginkanku mati?" jawabku.

Caroline terlihat heran. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Aku mengambil sepotong pizza yang sudah dingin, lalu menyomot sosisnya.

"Tidak, hanya berpikir saja."

"Apa kamu sedang ada masalah? Ceritalah, Anneth," ucap Caroline dengan senyumnya yang tulus.

Aku kembali merenung, nafsu makan kembali hilang, walaupun perut sangat lapar. Caroline mengelus punggungku, itu memang menenangkanku. Tapi tidak menghilangkan rasa bersalahku pada Anna.

"Semua orang pasti memiliki kisah kelamnya masing-masing, tidak apa-apa apabila kamu tidak mau menceritakannya sekarang, kamu boleh berbicara kapan saja, aku akan bersamamu, kapanpun dan di manapun kamu mau."

Aku benar-benar mengeluarkan air mata kalau ini, Caroline mendekapku. Memberiku kekuatan dan membelai rambutku penuh ketulusan.

"Terima kasih, Caroline, aku tidak tahu harus bagaimana lagi kali ini."

Apabila saat itu, di ruangan hitam itu, aku memilih untuk ke masa lalu, apakah aku akan kembali ke masa itu? Saat aku berumur tiga tahun itu?

Apakah apabila aku kembali ke sana, aku bisa menyelamatkan Anna?

Anna, sekali lagi, kumohon, maafkan aku.

•••



Meditasi ✔ [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang