Naufal menunduk menatap kepala Zara yang kini berada di atas pahanya. Gadis itu terlelap setelah menangis. Naufal tidak bersuara sedikit pun sejak menarik Zara keluar dari rumah orangtunya. Ia tahu pasti Zara terpukul setelah mendengar kalimat jahat kedua orang itu.
"Sudah sampai, Tuan," ujar sopir.
Naufal meletakkan kepala Zara dengan pelan ke atas kursi, lalu ia keluar dan melangkah lebar menuju pintu di sebelah Zara. Naufal tidak berniat untuk membangunkan gadis itu. Ia mengangkat tubuh Zara yang tetap terlelap meski sedikit terguncang karena pergerakan Naufal.
Sopir berlalu menuju pintu rumah lebih dulu, lalu membukanya untuk membantu Naufal lebih mudah masuk ke dalam dengan Zara di gendongannya. Di ruang tamu Naufal berpapasan dengan pelayan rumah yang bekerja. Naufal berlalu saja menuju lantai 2 di mana kamarnya dan Zara berada. Tanpa ia ketahui, pelayan rumah itu menatapnya dengan senyuman.
"Akhirnya Tuan bisa perhatian juga," gumamnya.
Naufal memasuki kamar meski sempat kesulitan untuk membuka pintunya. Lelaki itu merebahkan Zara yang menggeliat pelan dalam tidurnya. Naufal mengusap rambut Zara dengan lembut sebelum menarik selimut untuk menutupi tubuh sang istri sebatas dada.
Usai mengganti pakaiannya, Naufal ikut naik ke atas tempat tidur. Ia meraih ponselnya, lalu mengecek panggilan masuk dari orangtua Zara. Naufal sengaja mengabaikan panggilan itu. Ia masih belum bisa menerima fakta kalau kedua orang itu sama jahatnya dengan orangtuanya sendiri.
Naufal menghela napas sambil ikut merebahkan diri di sebelah Zara. Ia memejamkan mata dan berharap semuanya bisa membaik keesokan harinya.
Pagi menjelang, Naufal terbangun karena ponselnya tidak berhenti bergetar. Ia sengaja mengaktifkan mode getar saja untuk panggilan masuk. Naufal tidak suka bend aitu berdering saat ia beristirahat.
"Halo, Yah?"
Naufal berjalan menuju balkon setelah memastikan Zara masih terlelap nyenyak. Ia menghela napas mendengar kalimat ayahnya yang masih menanyakan perkara keturunan.
"Aku yang gak mau punya anak dulu untuk sekarang. Aku belum siap dan aku larang Zara untuk hamil," Naufal menjelaskan.
"Tapi ini demi kebaikan kita semua, Naufal. Kamu gak bisa menahan Zara untuk tidak hamil. Kamu tahu kan sejak dulu peraturan di keluarga kita seperti apa? Anak pertama harus hadir lebih cepat agar bisnis keluarga tetap lancar."
"Kalau pun Zara nanti hamil, aku gak akan kasih anak itu."
"Maksud kamu apa? Kamu mau usaha kita bangkrut? Anak itu udah takdirnya buat jadi tumbal," Suara ayah Naufal mulai meninggi.
"Aku tetap gak akan kasih anakku untuk jadi tumbal kalian," tolak Naufal dengan tegas.
"Jangan keras kepala kamu. Kenapa? Kamu udah mulai jatuh cinta sama gadis itu? Bukannya dia cuma gadis yang kamu pilih secara mendadak dan kamu nikahi dengan paksa?"
"Ya, aku mencintai Zara dan aku akan melindunginya dari rencana jahat kalian. Ayah tahu aku sekeras apa, kan? Jangan paksa aku untuk berbuat hal yang gak kalian duga," kata Naufal mulai mengeraskan rahangnya.
"Jangan bodoh kamu, Naufal. Zara tetap harus melahirkan anak pertama dan memberikannya kepada kami. Atau kamu bisa menikah dengan gadis lain untuk hal itu jika memang kamu tidak ingin Zara yang menjalaninya."
"Aku gak akan menikah dengan siapa pun lagi dan Zara gak akan mengandung sebelum aku benar-benar siap," Naufal menggertakkan giginya.
Naufal ingat, tumbal yang dimintai oleh orangtuanya untuk makhluk yang mereka sembah itu harus hadir di dalam rahim Zara setidaknya 3 bulan setelah ia menikah. Jika Naufal bisa mencegah Zara hamil sampai waktu yang telah ditentukan, maka tumbalnya akan berganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...