"Papa, kenapa anak itu tetap bermain piano walaupun tangannya terluka?" tanya Charoline pada ayahnya sambil menunjuk anak laki-laki yang tengah bermain piano di atas panggung. Terlihat kedua tangan anak itu dililit perban.
Ayahnya yang duduk di sampingnya tak bergeming sedikitpun. Pria itu sedari tadi hanya diam menatap ke depan. Charoline mendengus kesal. Sudah berapa kali ia bertanya tetapi ayahnya tak menghiraukan. Seperti itu terus sampai acara pun selesai.
"Papa, aku senang diajak ke sini." ucap Charoline sambil menikmati es krim stroberi yang baru saja dibeli. Tangan kirinya tak lepas dari genggaman tangan besar milik ayahnya.
"Papa, aku gak pernah dibolehin keluar dari rumah, tapi kenapa sekarang Papa bawa Charoline ke sini?" tanya Charoline. Sudah tiga kali ia bertanya seperti itu tetapi ayahnya hanya diam.
"Papa, itu anak yang tadi bermain piano!" tunjuk Charoline, "Kenapa anak itu dipukuli?" tanyanya kemudian.
Ayahnya yang melihat itu sontak menutup mata Charoline, lalu membawanya pergi dari sana.
"Charoline, ada sesuatu yang harus Papa lakukan. Jangan cari Papa sampai Papa jemput kamu lagi," ucap ayah Charoline dengan raut wajah serius. Akhirnya sang ayah membuka suara.
"Papa mau kemana? Jangan tinggalin Charoline sendiri di sini," ucap Charoline memegang ujung kemeja ayahnya, menahan ayahnya agar tidak pergi.
Perlahan ayahnya melepaskan tangan Charoline yang meremas kemejanya. Ia berjongkok guna menyamai tinggi badan putrinya itu."Tunggu Papa ya," ucapnya kemudian mengecup puncak kepala Charoline.
Charoline menganggukkan kepala, ayahnya menuntun Charoline agar duduk di kursi. Kemudian ayahnya melenggang pergi.
Selepas kepergian ayahnya, Charoline hanya duduk diam di sana. Menunggu sang ayah kembali. Kedua kakinya ia tendangkan ke depan dan belakang secara bergantian. Jika saja es krimnya masih ada pasti ia tidak akan celingukan kesana-kemari memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Sampai netranya menangkap anak laki-laki yang sedang menangis di pojokkan. Charoline pun beranjak dan menghampiri anak laki-laki itu.
"Kamu kenapa?" tanya Charoline ketika sudah di depan anak laki-laki itu dan berjongkok.
Laki-laki itu mendongakkan kepala sehingga manik abunya langsung bertemu dengan manik hitam Charoline. Ia tak menjawab pertanyaan Charoline, lebih memilih menatap mata anak perempuan di depannya. Entah kenapa hatinya merasa lebih baik saat menatap mata anak perempuan itu.
"Kamu yang main piano tadi kan?" tanya Charoline dan masih tidak dijawab oleh anak laki-laki itu.
"Kenapa tangan kamu terluka?" tanya Charoline lagi.
"Kenapa pria tadi mukulin kamu?"
Charoline terus bertanya namun anak laki-laki itu sama sekali tak membuka suara. Hingga seorang anak perempuan datang menghampiri mereka. Baik Charoline dan anak laki-laki itu beralih menatapnya."Hai, ayo ikut aku," ucap anak perempuan yang tadi menghampiri mereka. Ia langsung menarik tangan Charoline agar mengikuti langkahnya, meninggalkan anak laki-laki yang tadi. Bahkan Charoline dan anak perempuan itu tak mendengar ketika anak laki-laki itu memanggil Charoline.
Ternyata Charoline dibawa ke parkiran, tepatnya di depan sebuah mobil berwarna putih. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya, membukakkan pintu mobil dan menyuruh Charoline masuk.
"Kalian siapa?" tanya Charoline dengan wajah ketakutan.
"Papa kamu suruh kita jemput kamu. Kenalin, Aku Aluna. Mulai sekarang kamu sahabat aku," ucap Aluna memperkenalkan diri dan mengajak Charoline berjabat tangan lalu melirik wanita di sampingnya. Charoline pun ikut melirik ke arahnya, "Dia Bundaku sekaligus sahabat ibu kamu. Tapi sekarang dia jadi Bunda kita. Kamu akan tinggal di rumah kami." lanjutnya.
Jangan lupa vote and comment <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Prince
Teen FictionPiano Prince, itulah sebutan dari seorang laki-laki bernama Mark Herren. Dia cuek, dingin, dan arogan. Dengan wajah diatas rata-rata dan sebagai putra penerus grup Vitabrata yang merupakan perusahaan kosmetik nomor satu di dunia. Maka ketenarannya t...