"Hidup itu seperti origami, kau membuat lipatan, mengembalikan seperti semula, lalu melipatnya lagi. Memang terlihat mengulangi hal yang sama. Tapi aku yakin lipatan-lipatan itu, pengalaman itu, akan jadi origami indah yang hanya bisa dibuat olehmu sendiri"—Anatasya Charoline.
***
Charoline melangkahkan kaki jenjangnya menuju kantin. Bila dipikir, ini pertama kali baginya menginjakkan kaki di tempat itu. Padahal ia sudah bersekolah disini selama satu tahun lebih.
Tangan kanan Charoline menenteng paperbag berisi seragam Herren. Kemarin saat Charoline mengeluarkan seragam laki-laki itu dari paperbag, ada sebuah kertas di dalamnya. Kertas itu berisi pesan agar Charoline mengembalikan seragamnya hari ini di kantin saat jam istirahat. Dan Charoline tidak boleh telat semenitpun.
"Telat lima menit," celetuk Herren ketika Charoline baru saja sampai di meja makan perkumpulan enam laki-laki pentolan sekolah. Hanya enam, itu yang Charoline lihat.
"Maaf, guru di kelas aku belum ngebolehin keluar dulu karena belum selesai jelasin materi." jawab Charoline dengan jujur.
Meskipun kemarin Mattheo menyuruhnya agar tidak perlu takut pada Herren, tetapi Charoline tidak bisa. Tubuhnya masih bergetar bila berhadapan dengan laki-laki itu. Ia bahkan tak pernah berani menatap mata Herren. Ia selalu menundukkan kepala jika berbicara dengannya.
"Omong kosong." ketus Herren membuat Charoline semakin menundukkan kepala.
"Mana seragam gue?"
Charoline menaruh paperbag yang ia genggam ke atas meja. Tangannya bergetar hebat usai meletakkan paperbag itu. Hingga tak sengaja ia menyenggol gelas berisi jus alpukat. Gelas itu hampir saja akan jatuh jika orang yang ada di sampingnya tak segera mengangkat gelas tersebut. Charoline menoleh ke samping, mencaritahu siapa yang menolongnya tadi.
"Hati-hati, manis." ucapnya memperingati searaya tersenyum manis ke arah Charoline.
Sebenarnya yang manis itu siapa? Bukankah dia?
"Maaf, aku gak sengaja." ucap Charoline meminta maaf karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sedangkan Mattheo tersenyum menanggapi.
"Lo udah gak pucet kaya kemarin ya." celetuk laki-laki bertindik salib. Ia sampai memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Charoline yang tertunduk.
Charoline tersenyum kikuk menanggapinya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Udah woi melototinnya!" tukas Mattheo sambil menjitak kepala laki-laki bertindik salib. "Gue colok mata lo pake pensil!"
"Galak amat, biasanya aja bagi-bagi sama Malfino," cerocos laki-laki bertindik salib yang tak lagi menatap Charoline. Ia beralih menyesap minumannya.
"Cha, jangan berdiri terus, sini duduk di samping gue." ucap Mattheo sambil menepuk-nepuk bangku di sampingnya. "Lo mau makan apa? Pesen aja jangan malu-malu, ntar Caldera yang bayarin."
"Gue tonjok muka lo sampai gak berbentuk lagi!" ucap laki-laki yang memiliki rahang tegas. Charoline yakin laki-laki itu yang bernama Caldera. Sepertinya laki-laki itu sebelas dua belas menyeramkannya dengan Herren.
"Gak perlu kok, aku ke sini cuma mau kembaliin seragam." tolak Charoline dengan tersenyum tipis.
Charoline merasa tidak enak berada di antara mereka. Selain karena dirinya sedari tadi menjadi pusat perhatian, tatapan tajam Herren-lah yang justru membuat Charoline semakin tak memiliki nyali.
"Gak papa pesen aja, sekali-kali lo makan bareng gue."
"Ekhem... terus kita semua ghaib gitu?" sahut laki-laki bertindik salib tak terima dengan perkataan Mattheo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Prince
Teen FictionPiano Prince, itulah sebutan dari seorang laki-laki bernama Mark Herren. Dia cuek, dingin, dan arogan. Dengan wajah diatas rata-rata dan sebagai putra penerus grup Vitabrata yang merupakan perusahaan kosmetik nomor satu di dunia. Maka ketenarannya t...