19. Akhir Segalanya?

187 13 0
                                    


Malam yang mulai kembali selepas senja Haidan nikmati bersama Sekala biarpun sekejap mata kini harus duduk di depan Papanya dan Tante Arin.

Arinka Dahayu, adalah sahabat yang paling dekat dengan mendiang Mama, bahkan Haidan sendiri bingung sahabat macam apa yang merebut pasangan sahabatnya sendiri?

Berada bersama mereka dengan atmosfer seperti ini rasanya ingin sekali Haidan beranjak. Tapi, obsidian legam yang kini menatap membuatnya tetap duduk.

"Ngapain suruh aku pulang?" tanya Haidan, setelah lama hening menemani. Bayangkan disuruh pulang cepat-cepat tapi dibiarkan duduk diam di meja makan. Di depannya ada perebut suami orang lagi, bagaimana tidak panas hati Haidan.

"Bahkan lebih baik gue nggak usah pulang, tinggal aja sama Kala." Batinnya.

Dan bisa saja kalau Sekala dengar mulut Haidan pasti akan langsung dirobek.

"Kamu kan punya rumah, jadi harus pulang dong." Ucap Bapak Raja, masih santai.

Seakan-akan perasaan donggol anaknya ini tidak ada apa-apanya.

Sedangkan Haidan sekarang hanya terkekeh dengan nada meremehkan, lebih tepatnya cukup muak dengan sandiwara konyol di depannya.

"Rumah? Papa bilang rumah yang mana? Rumahku rusak semua!" mencoba untuk tidak meledak Haidan teguk air yang ada di gelas dekat tangannya.

Arin yang duduk di sebelahnya pun ikut menenangkan dengan mengelus pundak kekar milik Haidan.

"Nggak usah sentuh-sentuh!! Tangan Anda terlalu bersih untuk saya yang kotor." Sangat penuh penekanan kata yang keluar, selepas ia hempas kasar tangan Arin yang bahkan baru mengelus sekali.

"Berusaha sopan sedikit Haidan." Ujar Bapak Raja masih tenang. Memang seperti ini cara Rajaswala berbicara dengan Haidan.

Rasa sayangnya lewat kata yang mampu membungkam, tidak pernah main tangan, berusaha memberi perhatian dalam diam dan tetap dianggap hilang peran sebagai seorang Ayah oleh Haidan.

"Sopan Papa bilang? Cih memuakkan!"

"Idan, Tante di sini cuman mau pamit ke London." Ujar Arin dengan nada lembut khas miliknya.

Arin memang bukan 100% orang Indonesia tapi blasteran London dan Jakarta. Jadi sudah dipastikan lahir dari bibit-bibit unggul.

Mendengar kata yang diucapkan dengan nada lirih Haidan menoleh pada Arin.

"Bagus dong, sadar sekarang suka sama suami siapa?!"

"Haidan!"

"Apa?!"

"Mau belain wanita ini? Silahkan, aku nggak ngelarang, Pa. Terserah kalian mau gimana, aku nggak mau terlalu ikut campur. Yang ada malah tambah sakit hati!" ucap Haidan, setiap kata yang keluar selalu penuh dengan tekanan yang selama ini menemaninya tumbuh.

Dari kecil benar-benar susah mendapat atensi seorang Ayah, mendapat atensi pun harus dengan nilai tinggi. Jadi sepintar apapun Haidan, ia harus tetap belajar menjadi lebih pintar lagi.

SENJA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang