20. Pergi Menuju Bahagia [END]

235 14 0
                                    


Duduk di kursi taman rumah sakit seorang diri kini Prima menatap ke arah malam di atas nabastala yang kian meredup.

Semakin larut di sini semakin rumit hatinya bersuara.

Kejadian pada Sekala terlalu tiba-tiba, tapi tetap tidak ada yang akan tau tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang bukan? Kita hanya dipaksa siap untuk sebuah kejadian tiba-tiba yang tidak kita inginkan.

Dengan baju lusuh terkena bercak darah Sekala, Prima tatap tangannya yang memerah. Kini darah itu mengering bersama jejak basah di pelupuknya.

Rasa ingin menangis seperti sudah teredam, air mata Prima sudah habis.

"Kenapa harus lo, Ka?" monolognya.

Pandangan kosong menatap ke depan itu kini terhalang oleh tubuh bongsor Bima.

"Kenapa di sini, hmm? Nggak mau masuk, Kala udah dipindahin." Ujar Bima. Ikutan duduk di dekat Prima.

"Gue nggak kuat, Bim. Masih nggak percaya gue ke sini untuk Kala." Ujar Prima.

Mendengar itu Bima pun merasakan hal yang sama, masih tidak menyangka kalau yang kakaknya bawa ke mobil itu Sekala.

Bagaimana Azka menggendong tubuh yang penuh dengan darah itu terekam jelas olehnya.

"Kita doain aja ya, Prim. Kala kan kuat." Ucap Bima, mengambil alih tubuh Prima bersandar di bahunya.

"Gue takut kalau Kala... nyerah."

"Shuttt, nggak boleh bilang gitu. Kita harus yakin, Kala pasti bisa bertahan."

"Kalau Tuhan tidak bisa mempertahankan?"


Kelu hanya sekedar berucap Bima hanya membiarkan Prima kembali menangis. Sampai pada ingin menutup muka yang basah dengan tangan penuh darah. Lantas dihentikan oleh Bima melalui dekapan yang tidak akan pernah Prima lupakan nyamannya.

Memeluk daksa Prima seerat mungkin, menggumamkan sebait kata penenang guna tangis itu terhenti.

"Kita harus yakin Prim, nggak boleh pesimis." Ujar Bima, setelah pelukan itu terlepas.

"G—gue cuman takut, Bim."

"Takut apa?"

"Takut kehilangan Kala."

Ada perasaan yang berbeda saat Prima mengatakan itu bagi Bima.

"Lo suka sama, Kala?"

Mendengar ucapan itu Prima balas dengan anggukan.

"Tidak ada persahabatan antara laki-laki dengan perempuan tampa perasaan, Bim."

"Lantas gue?"

"Maksud lo?" tanya Prima balik.

"Gue juga suka sama lo."

.

Bersama nabastala di atas sana yang semakin membuat waktu berpacu, di sinilah sekarang Haidan, Azka dan Ibu.

SENJA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang