11. Berkemah

116 18 0
                                    


Malam yang cukup dingin kini menjadi teman Sekala serta Haidan menikmati bagaimana para rasi bintang terhampar di nabastala gelap sana.

Sedari tadi Haidan tetap bersama Sekala, pulang sebentar hanya untuk mengganti baju lalu kembali lagi ke minimarket.

Alasannya apalagi, karena Boba milik Sekala yang berada di bengkel jadi tidak tega Haidan membiarkan sahabat barunya ini naik kendaraan umum.

Setelah jam kerja selesai kini keduanya duduk di sekitaran taman yang tidak jauh dari minimarket.

Duduk yang hanya hening menjadi pengisi topik pembicaraan.

Hela nafas gusar selalu keluar dari Haidan, raut wajah yang kentara sekali sedang memikirkan sesuatu itu jadi pusat lirikan Sekala singgah.

"Kenapa, Dan?"

Haidan menoleh, menatap tepat pada nayanika yang entah kenapa semakin ditatap semakin membuatnya teringat dengan Mama.

Menghembuskan nafas sekali lagi. Lalu mulai menggeser badan agar duduk lebih tegak guna menyamankan posisi.

"Takut aja Ka, nilai gue nanti turun." Ucapan itu lantas memutus tatapan keduanya, apalagi Haidan. Menatap binar Sekala seakan kembali menabur luka.

Tersenyum penuh Sekala tepuk sekali pundak Haidan.

"Yakin dong, coba ingat berapa prestasi yang udah lo dapat dari waktu ke waktu." Ujar Sekala, masih dengan nada yang jadi candu bagi semua orang yang telah mengenal sosoknya.

Mendengar kalimat yang terlontar mampu membuat Haidan terenyuh.

"Banyak sih."

"Nah kan, terus kenapa khawatir kalau nilai lo bakalan turun?"

"Gue juga nggak tau, setelah Mama nggak ada semua makin runyam."

Sekala yang mendengar perkataan tersebut hanya bisa mengerjap pelan lalu senyum kembali terpatri.

"Dan, coba denger gue. Setiap kita kangen ataupun tiba-tiba kepikiran sama mereka yang udah nggak ada, berarti mereka minta doa."

"Tampa diminta pun, selalu gue doain, Ka."

"Tapi lukanya masih baru ya?" tanya Sekala yang membuat Haidan semakin menunduk.

"Kita sama-sama pejuang kasih sayang Ayah, jadi soal kekurangan kasih sayang dari laki-laki yang kita banggakan itu udah jadi makanan harian."

"Tapi, kalau soal Ibu yang bahkan jadi pengganti hilangnya kasih sayang Ayah itu udah nggak ada, lo bisa panggil Ibu gue dengan sebutan Mama." Sambung Sekala, mampu membuat binar yang telah lama redup itu kembali mendongak.

"Kenapa lo mau berbagi?"

"Tampa alasan."

"Kala." Panggil Haidan.

"Hmm?"

"Makasih ya, udah mau jadi tempat gue sembuh."

Tersenyum penuh, lalu Sekala ikut bersandar pada sandaran kursi taman.

"Gue bukan penyembuh Dan, karena luka gue sendiri aja gue nggak bisa sembuhin. Tapi, kalau soal jadi tempat sembuh bagi orang lain, gue bakalan berusaha."

SENJA TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang